Nuel Lubis dalam pose 'dibuang sayang', yang saat hendak mencoba tongsis. |
Mendadak aku teringat, kalau tak salah, sekitar bulan Agustus 2016, aku tengah main ke kampus Semanggi Atmajaya bersama Almarhum Dias. Di dekat gedung Karol Wotjyla, aku bertemu salah seorang juniorku. Aku lupa namanya siapa. Tapi, si junior masuk ketika aku sudah lulus kuliah. Dia angkatan 2012. Seingatku begitu, yah.
"Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh": kaver depan dan blurb. |
Singkat cerita, si junior menyapaku balik dan berkata seperti ini: "Bang Iman ngapain ke sini? Mau promosiin bukunya, yah?"
Aku hanya mesem-mesem tak jelas. Kujawab saja, " Nggak juga, cuma lagi main aja,"
Lalu, sebulan kemudian, salah seorang guru SMA menghubungiku lewat Whatsap. Aku diminta menjadi pembicara, mengingat bulan Mei aku pernah mengirimkan sampel "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" ke yang bersangkutan. Oleh beliau, novelku dibawa ke sekolah. Fotokopi kavernya dipajang di mading sekolah (katanya, loh). Nah, berhubung aku belum siap, dengan beragam alasan kutolak dahulu.
Hmmm.....
Tiap aku merenung, lalu kupikirkan baik-baik, aku suka menyesal sendiri kenapa tawaran guru SMA itu kutolak. Padahal, itu kan kesempatan langka. Walau public speaking aku pas-pasan, kapan lagi coba dapat kesempatan untuk berbicara ke hadapan publik mengenai karya kita yang go public.
Apalagi, yang aku tak bermaksud narsis maupun pengin tenar, sampai sekarang, tawaran-tawaran seperti itu hampir tak pernah kudapatkan. Hanya satu kali, loh. Di 2016 itu saja. Belum lagi, kok rasanya aku belum pernah mempromosikan "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" dengan selayak-layaknya, seperti penulis buku umumnya. Bahkan, kudengar, ada satu-dua penulis yang begitu niat sekali mempromosikan buku dengan mengadakan event-event menarik, yang sampai mengadakan doorprize segala.
Heh.....
Di tambah lagi, sudah tiga tahun terbit, walau penjualannya tertatih-tatih, novelku itu terjual lumayan banyak (Ada kali terjual hingga setengah ribu 😅). Selain belum ada book-signing, hingga sekarang ini aku belum pernah dikirimkan foto pembaca tengah bersama "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh", baik melalui e-mail, Instagram, maupun media lainnya. Membaca ulasan atau review-nya saja pun belum pernah sama sekali. Padahal aku yakin sekali, "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" itu sungguh memiliki pembaca-pembaca nyata, yang selain dari keluarga, sanak saudara, dan teman-temanku sendiri.
Last but not least, aku memang masih awam tentang dunia perbukuan. Boleh dibilang, aku ini penulis debutan. Aku masih hijau. Tapi, aku merasa itu semua aneh. Entah bagaimana dengan para netizen yang sering singgah di IMMANUEL'S NOTES. Kalian merasa aneh atau biasa saja?
Tambahan lagi, yang malah makin menambah kelucuannya, warga di daerah aku tinggal hampir tak ada yang tahu bahwa Nuel Lubis yang tinggal di sekitar mereka itu seorang penulis buku, yang mana novelnya sudah ada sejak 2016 silam. Padahal, aku mem-follow beberapa tetangga, loh. Haha. Sampai tercengang begitu, si Bram, saat kuceritakan mengenai "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh".
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^