Benar & Baik



"Yang baik, belum tentu benar. Yang benar, belum tentu baik..."








Pernah dengar tentang kata-kata itu barusan? Seperti itulah kondisi di dunia akhir-akhir ini. Bahkan ada yang pernah berkata bahwa untuk menutupi suatu kebenaran (demi kepentingan tertentu juga), mereka menciptakan kebenaran lain. Terus menerus seperti itu, sehingga sulit mendapatkan kebenaran paling sejati. Hal itu sudah berlangsung lama sekali.

Untuk memahami kata-kata di atas tersebut, perhatikan cerita perumpamaan ini:

Ada seorang ayah yang memiliki tiga orang anak. Anak pertama berusia 22 tahun. Yang kedua berusia 15 tahun. Yang bungsu berusia 7 tahun. Tiba saatnya mereka datang bergantian kepada sang ayah. Mulanya, si sulung yang meminta ayahnya untuk dibelikan sepeda motor. Alasannya, supaya dia bisa menghemat ongkos selama pergi-pulang ke kampusnya. Sang ayah langsung mengabulkan permohonan si sulung. Berita tersebut didengar si tengah. Dengan sopan, ayahnya menolak. Alasannya, si tengah masih SMP. Ayahnya berkata, "Kamu masih duduk di bangku SMP, Nak. Nanti saja kalau kamu sudah 17 atau 18 tahun. Beresiko kalau kamu mengendarai sepeda motor sekarang." Awalnya si tengah berat, namun perlahan ia mulai mengerti. Terakhir si bungsu ikut-ikutan minta dibelikan sepeda motor. Jelas sang ayah menolak.

Mengertikah dengan perumpamaan tersebut? Seperti itulah seharusnya saat kita mempraktekan teori benar dan baik. Langka sekali ada sesuatu yang benar dan juga baik. Hanya Sang Pencipta yang bisa seperti itu. 

Jangan mendasarkan sesuatu karena kita merasa benar. Tapi lihat juga efek dari perbuatan kita. Baikkah? 

Dalam menilai seseorang, sebaiknya kita jangan menilainya dari anggapan ini: 'benarkah perbuatannya?'. Karena perbuatan benar, belum tentu baik. Perbuatan baik, belum tentu benar. Sama seperti seorang nenek yang sangat memanjakan cucu satu-satunya setelah sang cucu kehilangan kedua orangtua kandungnya. Maksud si nenek itu baik, namun tidak benar (baca: salah). Karena itu secara tidak sengaja bisa membawa sang cucu semakin dekat ke sekulerisme dan hedonisme. Lambat laun sang cucu jadi malas berjuang. 

Perbuatan (yang kita anggap) benar pun belum tentu baik. Seperti seorang penguasa yang menciptakan banyak aturan. Sang penguasa hanya menciptakan aturan-aturan itu berdasarkan kebenaran semata. Dia merasa ini yang terbaik untuk masyarakatnya; agar tercipta keadilan yang cukup merata. Namun ternyata aturan-aturan tersebut, pada prakteknya, sangat merugikan. Untuk beberapa orang, aturan-aturan itu sangat kejam dan menyiksa. Sehingga muncullah anggapan bahwa sang penguasa adalah penguasa yang kejam nan lalim. Padahal kalau ditelisik baik-baik, tak ada yang salah. Sama sekali tidak melanggar nilai-nilai kemanusiaan, yang malah ke depannya sangat bermanfaat dan begitu bernilai guna. Mungkin mereka beranggapan penguasa itu jahat, hanya karena hatinya belum siap saja. Jadi apapun praktek aturan tersebut, dirasa sangat jahat dan menyiksa. Atau bisa jadi mereka yang berkata jahat itu sebenarnya memiliki sejumlah agenda tertentu,--siapa yang tahu?!

Jadi, pikirkan secara matang-matang saat kita menilai seseorang atau pada saat kita melakukan sesuatu. Sudah benar dan baikkah itu? Lakukanlah itu berdasarkan kata hati kita. Jangan lakukan itu berdasarkan suara-suara di sekitar kita. 



Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~