Kuncinya Itu Mendengarkan




Namaku Rafael Van Lei. Aku seorang musafir. Juga aku seorang Yiddi (yang juga masih sedikit berdarah Kazhar, yang intinya bermuara ke tanah terjanji, di mana segala bangsa akan berpulang nantinya) yang datang dari kota kecil bernama Zwolle. Aku sudah lama sekali berkelana dari satu tempat ke tempat lain, dari waktu ke waktu, dari satu permasalahan ke permasalahan.




Aku hanya musafir. Aku tidak memiliki gelar apa pun. Latar pendidikanku tidak tinggi-tinggi amat. Ayahku hanya seorang pedagang biasa. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang sering meluangkan waktu bersama Tuhan. Rata-rata kerabat dan kenalanku juga hanya orang biasa. Hidupku jauh dari sorot kamera dan pemberitaan apa pun. Yah walau sesekali beberapa orang memberitakanku secara berlebihan.

Kata mereka, aku sangat berwibawa. Tiap mereka melakukan konseling denganku, mereka selalu mendapatkan solusinya. Kata-kataku menusuk kalbu, juga menggetarkan jiwa. Mereka selalu mendapatkan pencerahan. Hingga mereka bertanya padaku apa resepnya? Apa aku pernah mengenyam pendidikan di suatu institusi atau lembaga profesional kenamaan?

Aku menggeleng mantap. "Tidak!" jawabku tegas. Kuncinya satu. Aku selalu bilang aku hanya mendengarkan apa yang orang keluhkan padaku, lalu membagikan apa yang aku punya. Hanya itu. Mungkin kunci lainnya: pengalaman, kebijaksanaan, serta kepekaan. Terutama yang terakhir itu. Akhir-akhir ini manusia jarang sekali mengasah kepekaan mereka. Ada beberapa yang berkata yang mengandalkan kepekaan (baca: insting) itu hanya binatang. Ada juga yang berkata itu orang hutan.

Padahal tak ada yang salah. Nenek moyangku hidup dari jalan seperti itu, lalu kami bisa hidup dan terus ada. Nama keluarga kami sudah lama dikenal sebagai keturunan saudagar yang sukses (selain karena kejujuran dan integritasnya).

Intinya, aku hanya mendengarkan mereka yang datang padaku dan mencurahkan isi hati mereka, lalu memberikan solusinya yang terbaik dari yang aku punya; juga tidak ada yang aku tutup-tutupi. Kalau memang buruk, kusampaikan buruk. Kalau memang baik, yah itulah yang kusampaikan. Paling hanya di saat menyampaikannya saja. Di saat seperti itulah, permainan mimik dan gestur bermain.

Seperti saat aku meladeni curahan hati seorang perempuan soal cerita sida-sida Etiopia tersebut. Dia bilang aku sangat bijaksana. Padahal aku hanya memberitahukan apa yang Opa Menachem pernah kasih tahu. Ditambah aku rasa aku mengucapkannya dengan penuh keyakinan. Mungkin ia melihatnya dari sorot mataku.

Atau saat seorang pemuda manja yang ibunya disiksa sampai mati oleh orang-orang sekitarnya. Aku hanya memberikan saran, sebab salah satu kerabatku pernah mengalami hal serupa. Pamannya diganggu oleh permainan klenik dari mereka yang sirik dan takut rahasia gelap mereka terkuak.

Atau keluhan seorang pemuda yang mengaku mendapatkan panggilan Tuhan atas segala perbuatannya yang rada nyentrik untuk ukuran dunia (Yah aku percaya sekali. Itu bisa terlihat dari tindak-tanduknya yang tidak tampak dibuat-buat. Segala perkataannya terasa apa adanya. Begitu naif, bahasa kasarnya). Hanya saja ayahnya tidak percaya. Bahkan pemuda itu takut mencurahkan isi hatinya pada seseorang yang mana karena sperma orang itu, dia bisa tercipta. Katanya, "Aku ragu dia bakal percaya segala ceritaku. Bisakah dia percaya jika kukatakan saat tengah memperbaiki atap, mendadak badanku oleng dan ambruk ke bawah, berapa menit kulihat ada satu tetanggaku yang sontak kaget setelah sebelumnya komat-kamit agar aku jatuh tewas; nyatanya aku selamat hanya karena jatuh tepat di atas atap mobil peninggalan almarhumah ibuku? Atau saat seorang kakek ingin menenggelamkanku ke sungai, namun urung karena suara gonggongan anjing-anjing yang seperti serigala yang hendak berkata, 'Jangan kau jatuhkan anak itu jika tidak mau kulumat sampai tinggal tulang!'? Dan masih banyak keanehan lainnya yang aku alami. Yah itu seperti kaki seribu berseliweran di bawah ranjang. Segala bau-bauan aneh nan mistik yang mengganggu kepalaku. Aku takut saat kuceritakan seperti itu, ayahku tak akan percaya. Mungkin dia hanya menganggapku berkelakar saja. Apalagi selama ini dia menganggapku seperti bocah taman kanak-kanak saja."

Aku menyimak dengan cermat. Lama terdiam sebelum akhirnya aku berkata, "Tapi apa kamu belum pernah mencobanya sama sekali?"

"Pernah, Tuan Musafir. Namun jawaban ayahku sangat mengecewakan hatiku. Dia bilang mungkin itu hanya perasaanku. Juga mungkin hanya sebuah ilusi yang tak perlu diperhatikan sedemikian rupa. Itu yang bikin aku jengkel. Sebab itu semuanya benar-benar nyata terjadi dalam hidupku. Aku ragu ayahku mau percaya saat kukatakan aku lumayan sering diserempet kendaraan bermotor atau diikuti aparat yang bersorotkan mata seorang pembunuh bayaran. Saat kukatakan apa aktivitas ayahku selama ini; sebab ada desas-desus ayahku bergaul dengan beberapa orang yang kegiatannya itu serba mencurigakan dan mungkin jauh dari kehendak Sang Pencipta, ia berkata nyalang, "Orang-orang mana yang kau maksud? Jangan ikut campur urusan orang tua! Dan jauhi temanmu itu, sebab orangnya bahaya. Padahal temanku itu malah yang sudah menyelamatkan hidupku berkali-kali."

Aku lalu menjawab, "Bersabarlah. Mungkin benar desas-desus soal ayahmu itu. Ada asap, ada api, bukan? Yang penting kamu doakan ayah kamu itu. Pelan-pelan kamu bicarakan segala yang kamu alami dan rasakan padanya. Perhatikan pula bagaimana cara kamu menceritakannya, juga waktunya. Semuanya itu sangat berpengaruh agar pendapatmu didengar ayah kamu."

Setahun kemudian, saat kembali ke rumah pemuda itu, katanya ayahnya itu mulai mengalami banyak perubahan. Dia pun mulai berani mengutarakan keluh-kesahnya pada sang ayah. Ayahnya juga perlahan percaya seratus persen. Ayah dan anak yang saling memberikan dukungan dan mengingatkan.

Tak hanya itu saja. Ada lagi kasus di mana seorang gadis ditipu mentah-mentah oleh sekelompok orang di daerahnya tinggal. Katanya, "Orang-orang itu bilang ada pemeriksaan kesehatan gratis untuk lansia. Makanya aku bawa kakekku ke sana. Alhasil sebulan kemudian kakekku meninggal. Di tempat yang mereka sarankan untuk didatangi itu ternyata memiliki perangkap. Tak ada pemeriksaan kesehatan selain obrolan ngalor ngidul dan main gaple. Dan kakekku malah ditawarkan ramuan berbahaya yang bikin kesehatannya makin memburuk."

Aku memberikan saran pada si gadis untuk tidak lagi mendengarkan. Kalau kata hatinya berkata ada yang janggal, dengarkan dan ikuti saja. Berikutnya, enam bulan kemudian, dia mendengarkan kata-kataku. Katanya, pernah ada kejadian di mana orang-orang itu mengumumkan soal ajakan ke satu tempat yang mengadakan penimbangan balita. Hampir saja dia terkecoh lagi dengan membawa kakak iparnya yang memiliki bayi perempuan ke sana. Untungnya dia jeli mengamati ada yang tak beres. Aneh saja, ujarnya. Memang betul yang dia ceritakan. Penimbangan balita itu dilakukan tidak setiap bulan, apalagi setiap minggu (Begitu juga dengan pemeriksaan kesehatan yang tak mungkin dilakukan tiap minggu. Memang para dokter dan pekerja medis tidak butuh istirahat apa?). Rata-rata dilakukan tiap enam bulan sekali. Seminggu kemudian, ada lagi. Kali ini dia menyelidikinya diam-diam. Terbukti itu penimbangan balita fiktif. Yang ada, hanya sekumpulan orang sibuk main capsa, dan perlengkapan seadanya. Itu juga alat timbang beras, bukan buat balita. Usut punya usut, mereka sudah lama membenci gadis itu dan keluarganya. Tiada hentinya mereka ingin terus mencelakakan.

Saranku padanya, terus bersabar, berdoa, dan menyelidiki. Jika sudah cukup bukti, sampaikan saja ke yang berwenang. Atau biarkan Sang Pencipta yang membalas. Juga jangan takut, apalagi kalau merasa tak bersalah, juga berdosa. Ampuh, katanya. Padahal itu hanya saran sepele nan klise.  Orang-orang itu satu persatu kena karma, lalu perlahan berhenti mengganggu gadis itu dan keluarganya.

Pun, masih banyak kasus aneh lainnya yang kutangani. Rata-rata saranku selalu sama. Selalu sebuah saran sepele nan klise. Aku juga hanya membagikan yang aku ketahui saja dengan penuh keapa-adaannya, selain mendengarkan seksama dan penuh empati segala cerita mereka. Aku tidak tahu pula, mungkin saat aku menyampaikannya, mereka seolah menyaksikan seorang nabi besar atau malaikat yang berbicara. Mungkin seperti itu. Hahaha, aku jadi tergelak sendirian di tengah trotoar saat melanjutkan perjalananku ke daerah-daerah lainnya. Selalu seperti itulah hidupku, yang mengikuti arah angin berembus.





Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~