Dalam kisruh 17+8 ini, kita sering mendengar istilah mens rea. Pasti banyak di antara kita yang bingung apa itu. Istilah ini sebenarnya berasal dari hukum pidana, khususnya dari tradisi hukum Anglo-Saxon yang juga diadopsi dalam banyak teori hukum modern, termasuk Indonesia.
Secara sederhana, mens rea berarti niat jahat atau guilty mind. Dalam hukum pidana, ketika seseorang melakukan tindak pidana, yang dilihat bukan hanya actus reus (perbuatan fisik yang melanggar hukum), tetapi juga mens rea (niat atau sikap batin pelaku). Jadi, tidak cukup hanya membuktikan bahwa seseorang melakukan perbuatan melanggar hukum, tapi juga harus dibuktikan bahwa pelaku melakukannya dengan niat atau kesadaran tertentu.
Misalnya, jika seseorang tanpa sengaja menabrak orang lain karena rem mobilnya blong, maka actus reus-nya jelas ada (yaitu perbuatan menabrak), tetapi mens rea-nya bisa diperdebatkan, karena tidak ada niat jahat untuk mencelakai. Sebaliknya, jika seseorang sengaja menabrakkan mobilnya ke orang lain karena dendam, maka baik actus reus maupun mens rea-nya terpenuhi.
Dalam konteks kasus 17+8, mens rea menjadi bahan perdebatan publik. Apakah para tersangka benar-benar memiliki niat jahat untuk menyebarkan konten yang dianggap melanggar hukum, ataukah mereka hanya terjebak dalam situasi tertentu, misalnya karena tidak paham aturan, sekadar ikut-ikutan tren, atau ada faktor kelalaian? Pertanyaan ini menjadi krusial karena hukum pidana tidak semata-mata menghukum berdasarkan akibat, tetapi juga mempertimbangkan kesalahan batin atau kesengajaan pelaku.
Para ahli hukum menyebut bahwa mens rea bisa dibagi menjadi beberapa tingkatan, misalnya:
1. Dolus (kesengajaan), di mana pelaku memang berniat melakukan perbuatan dan menerima akibatnya.
2. Culpa (kelalaian), di mana pelaku tidak bermaksud, tetapi karena lalai, perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang.
3. Tanpa kesalahan (no fault), di mana pelaku sama sekali tidak menyadari dan tidak bisa diprediksi akibat yang muncul.
Perbedaan tingkatan ini berpengaruh besar terhadap putusan hakim nantinya. Jika terbukti ada dolus, maka hukuman bisa lebih berat. Namun jika hanya culpa, masih mungkin ada keringanan, atau bahkan peluang untuk restorative justice.
Di sinilah publik harus berhati-hati dalam menilai. Jangan buru-buru menghakimi seseorang hanya dari potongan video atau isu yang beredar di media sosial. Proses hukum itu kompleks dan membutuhkan pembuktian yang menyeluruh. Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, punya tugas memastikan bahwa mens rea benar-benar terbukti sebelum memberikan tuntutan.
Bagi masyarakat, memahami konsep mens rea penting agar kita lebih bijak dalam menyikapi kasus-kasus hukum. Dengan begitu, kita bisa mendukung proses hukum berjalan adil, bukan sekadar ikut-ikutan emosi atau opini viral di dunia maya. Pada akhirnya, tujuan hukum adalah bukan hanya menghukum, tetapi juga mencari kebenaran dan keadilan yang sejati.
Jangan lupa, bisa hubungi kantor hukum AVP untuk kalian yang sedang mencari bantuan hukum atau jasa pengacara.
Mari juga sukseskan pemilihan Perluni UAJ 2025-2026.
Aku juga mengucapkan selamat atas kesuksesan Marissa Bertua Pasaribu yang baru saja menerima penghargaan "Best Performing Lawyer Awards 2025". Beliau adalah rekan mahasiswa seangkatan saat masih kuliah dulu.






Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^