[Mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, atau peristiwa. Murni hanya kebetulan belaka. Ini juga hanya fiksi belaka. Jangan terlalu diseriuskan]
Genre: Misteri
Dokumentasi pribadi. |
"Aku kecewa. Selama ini aku memuja-muja dia, ternyata dia seperti itu, seorang penggila wanita juga."
"...iya, buat apa juga dia bertapa di hutan ini?"
"Hu-uh! Bagaimana pun dia seorang pertapa yang manja."
"Ayo, kita pergi saja! Tak usah kita mengikuti pertapa yang bodoh itu."
Satu demi satu pertapa-pertapa yang selama ini membuntuti pria yang merupakan anak seorang bangsawan itu akhirnya meninggalkan dia sendirian. Dia hanya bisa tersenyum kecil. Mereka sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Mereka sama sekali tak tahu perempuan yang mendatanginya itu bukanlah perempuan sungguhan. Perempuan itu hanya ilusi yang dikirimkan iblis dalam menghalangi dirinya untuk mendapatkan kebenaran.
Kebenaran. Yah demi sebuah kebenaran hakiki, pemuda itu rela meninggalkan kehidupan istana yang mewah. Anak dan istrinya yang masih sangat kecil ditinggalkannya. Ayahnya bahkan akan menjanjikan dia apa saja, asalkan dia tak menjadi pertapa. Bagaimanapun kehidupan pertapa itu berat. Sangat berisiko pula membuka kebenaran hakiki. Ayahnya yang seorang raja lebih suka membiarkan segala sesuatu berjalan apa adanya. Yang penting, kata ayahnya, segalanya berjalan penuh damai sejahtera. Meskipun damai sejahtera yang dimaksud, segala ketertiban itu hanyalah semu belaka.
Itulah yang tidak disukai si pemuda itu. Pemuda itu tak suka dengan kemunafikan. Pemuda itu sedari kecil sudah menyukai yang namanya keterbukaan. Baginya, lebih baik hidup jujur daripada mengucapkan satu kata dusta walau maksudnya baik. Demi kebenaran hakiki, demi pula memuaskan rasa ingin tahunya yang amat tinggi terhadap alam semesta ini, ia rela meninggalkan istana, masuk hutan yang kelam, dan menjadi pertapa.
Kini si pemuda berada sendirian saja. Ia terus bermeditasi. Tak ia pedulikan bagaimana rekan-rekan baru itu meninggalkannya hanya karena salah paham. Bukankah seperti itukah manusia, suka menilai segala sesuatu dari tampilan muka. Apakah mereka percaya pula jika ia katakan perempuan yang tadi itu hanya ilusi? Rasa-rasanya tak mungkin.
Satu jam berlalu.
Dua jam pun berlalu.
Sekonyong-konyong ia mulai merasakan kepalanya seperti diterpa cahaya terang. Tadinya, selama dua jam, sekonyong-konyong segala makhluk dari dunia bawah tengah mengganggunya untuk berusaha mendapatkan kebenaran hakiki. Mereka tidak senang jika manusia semakin tahu siapa penciptanya yang sesungguhnya. Konon dewa-dewi itu diciptakan mereka untuk menjauhkan sekelumit masyarakat itu dari Tuhan yang sebenarnya.
Mata si pemuda terbelalak. Perlahan tapi pasti, ia mulai mengerti kebenaran yang hakiki. Ia mulai tahu siklus hidp dan mati. Ia pun mengerti masa lalu, masa kini, dan masa depannya. Segalanya telah tersingkapkan persis di depan matanya. Kini ia mulai mengerti kenapa manusia selalu melakukan kekerasan demi kekerasan, Itu karena manusia tidak tahu apa itu kebenaran yang sejati.
Tak hanya itu saja, pemuda itu pun didatangi oleh dua makhluk bersayap. Salah satunya bersayap dan mengatakan padanya bahwa nun juh di sana, di suatu negeri antah berantah, kelak sang pencipa sendiri akan turun ke dunia. Sang pemuda langsung melonjak hatinya, ingin segera bertemu. Namun kedua makhluk bersayap itu mencegahnya. Katanya, belum saatnya. Tugas pemuda itu hanyalah mempersiapkan masyarakat di sekitarnya agar bersiap menerima kebenaran sejati yang ditawarkan oleh manusia yang sesungguhnya merupakan penjelmaan dari sang pencipta sendiri. Kelak ajaran-Nya itu akan tiba beribu-ribu tahun setelah kematiannya, atau beratus-ratus tahun setelah sang pencipta kembali ke tahta-Nya yang kudus di atas sana.
Sang pemuda sedikit kecewa. Padahal dalam hatinya, selain demi mengejar kebenaran sejati, ia juga ingin bisa bertatap muka dengan sang pencipta sendiri. Tapi apa boleh buat, kalau memang seperti itu rencananya. Sudah bagus kebenaran sejati itu seluruhnya disingkapkan ke hadapannya. Tak baik jika ia berlaku serakah. Sudah selayaknya tugas yang diembankan padanya itu ia laksanakan dengan sebaik-baiknya.
*****
Awalnya pemuda itu dijauhi oleh para pengikut awalnya atas dasar kesalahpahaman. Mereka tidak mengerti mengapa pemuda itu malah mengumbar nafsu keduniawian dengan bermesraan pada seorang perempuan asing, Mereka semua tidak tahu saat si pemuda itu keluar dari tempat bersemedinya dan wajah si pemuda sangat bersinar terang. Mereka curiga ada apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aura pemuda itu tak lagi seperti seorang manusia. Kata mereka, lebih mirip seorang dewa.
"Dewa?" Ia nyaris terbelalak. "Aku bukan dewa. Aku hanyalah manusia biasa. Malah ada satu dewa yang sangat jauh lebih berkuasa daripada dewa-dewi yang kita sembah selama ini. Dia-lah sang pencipta Bumi dan alam semesta. Barusan aku juga sudah bertemu dengan dua utusan sang dewa agung."
Mendengar kata 'sang dewa agung', mereka semua begitu terlihat antusias. Mereka penasaran apakah masih dewa yang berkekuatan lebih hebat lagi. Pemuda itu terus didesaknya agar bercerita soal siapa dewa agung itu. Namun sia-sia, pemuda itu malah bercerita soal bagaimana hidup di jalan penuh kebenaran itu, yang jauh dari segala nafsu duniawi. Sebab itulah, atas dasar sinar terang yang menyelimuti wajah dan raga si pemuda, pun atas dasar segala ajaran penuh kemuliaan yang ditawarkan, mereka semua sepakat dalam hatinya untuk mengangkat si pemuda itu sebagai nabi utama untuk sebuah ajaran baru. Mereka bahkan beranggapan jangan-jangan si pemuda itu dewa agung yang sebenarnya.
Mendengar itu, pemuda itu kecewa. Selayaknya tak seperti itu. Ia hanyalah seseorang yang mempersiapkan jalan untuk masyarakatnya menyambut ajaran sang dewa agung itu--alias sang pencipta alam semesta. Namun dari kejauhan makhluk bersayap itu--tanpa ketahuan siapa pun--berkata biarkan saja seperti itu. Nanti semuanya akan jelas dengan sendirinya, walau butuh ribuan tahun. Tugas si pemuda itulah mempersiapkan jalan, pula membersihkan masyarakatnya dari segala pengaruh jahat si setan yang awalnya malaikat yang jatuh.
*****
Makin lama ajaran si pemuda makin menyebar. Tak hanya dalam radius satu-dua kilometer dari tempatnya bernaung, namun bermil-mil jauhnya ajaran itu menyebar dengan sangat cepat sekali bagaikan sang dewa petir sendiri yang menyebarkannya. Mulai dari pertapa, pedagang, cendekia, pengajar, pemuka agama, bangsawan, hingga raja pun mengikuti ajarannya. Sesungguhnya itu membuatnya semakin tenar saja. Namun ia sadar dirinya tak boleh tinggi hati. Sesungguhnya ajarannya itu hanya untuk mempersiapkan ajaran sang pencipta sendiri yang kelak akan turun dengan mengambil rupa ciptaan-Nya sendiri.
Walau sudah banyak yang bilang ajarannya itu memiliki nilai mulia di dalamnya, masih saja ada yang suka salah paham. Tak henti-hentinya dia mengajar dan mengklarifikasi kesalahpahaman tersebut. Hanya satu yang belum dia lakukan. Pemuda itu ingin sekali agar bisa memberitahukan bahwa ajarannya itu sebetulnya tentang seseorang, bahwa dirinya hanya mempersiapkan jalan saja demi ajaran lain yang kelak masuk ke tanah itu beribu-ribu tahun kemudian.
Sayangnya, dalam suatu meditasi solo, kedua makhluk itu datang lagi dan memintanya agar tidak menyampaikan lebih jauh lagi. "Belum saatnya, belum saatnya," begitu kata si makhluk dengan ketegasan yang sulit dibantah. Pemuda itu hanya bisa patuh dan terus menahan diri agar tidak besar kepala. Ia sadar betul bahwa besar kepala itu tiada gunanya, apalagi berbesar kepala untuk sesuatu yang sebetulnya lebih layak dialamatkan pada-Nya.
Sampai menjelang ajal pun, pemuda itu tetap mengunci bibirnya agar tidak memberitauhukan satu inti penuh kebenaran dari ajarannya. Biarlah itu tetap jadi rahasia ilahi. Suatu saat akan tersingkapkan dengan sendirinya. Kelak, kata dua makhluk itu, manusia akan semakin cerdas. Kecerdasan manusia itulah yang akan membuka banyak pintu kebenaran. Tiap pintu dibukakan. tiap itu pulalah Bumi digoncang huru-hara. Namun jangan takut, semuanya harus terjadi agar manusia kembali pada nirwana yang sesungguhnya.
Dan, tak ada yang pernah tahu di mana makam si pemuda yang sebetulnya merupakan sang pembuka jalan. Konon, ada salah satu pengikutnya yang melihat sendiri bagaimana ada satu-dua makhluk yang mengangkatnya ke atas. Mungkin makhluk-makhluk bersinar terang itu membawanya membumbung tinggi karena segala kebajikan yang sudah pemuda itu tebarkan di dunia semasa hidup.
Yang mereka tahu, si pemuda itu tertidur pulas beralaskan karpet di bawah naungan sebuah pohon yang sangat rindang dan besar. Banyak pengikutnya yang berdatangan demi memperoleh ajaran terakhir dari si pemuda. Sebelum si pemuda pergi, seorang tua pergi mendahuluinya. Tak ada yang tahu ke mana perginya. Bagi si pemuda pun, ke mana seseorang pergi tetaplah menjadi misteri--yang menurutnya disebut sebagai nirwana. Lalu beberapa jam kemudian, di malam yang gelap dan hanya sedikit saksi yang melihat bagaimana raga si pemuda diculik oleh satu-dua makhluk asing.
*****
Tak banyak manusia bisa masuk ke dalamnya. Tak banyak pula yang bisa duduk berdampingan dengan sang pencipta sendiri. Pun tak banyak yang bisa diijinkan masuk ke dunia bawah, suatu dunia yang penuh siksa atas segala hal buruk yang dilakukan oleh manusia semasa hidup. Salah satu dari yang beruntung itu ialah si pemuda itu, yang berhasil membuka jalan demi masuknya ajaran nan kudus yang dibawa oleh seorang rasul, yang malah harus mati karena kebenaran itu.
Si pemuda itu akhirnya diijinkan masuk ke dunia bawah setelah beribu tahun lewat. Untuk ajaran lain, tempat itu disebut neraka. Namun untuk beberapa kasus (atau tepatnya orang), pintu itu dibuka. Hanya sedikit yang mempercayai bahwa tempat itu sungguh ada. Hanya saja tempat itu masih disegel sampai tiba waktunya.
"Kapan waktunya tiba?" tanya si pemuda penasaran.
"Sampai tiba waktunya," begitu terus dua makhluk--yang baru tahulah si pemuda, nama makhluk itu malaikat--menjawab pertanyaannya. Hingga untuk menandasi diskusi itu, salah satu malaikat berujar, "Sampai manusia terlalu cerdas, sehingga ingin terus mencari kebenaran, dan segala pintu kebenaran akan tersingkapkan karena ulah manusia sendiri. Pada waktu itulah, tiap manusia akan diadili oleh Sang Pencipta itu sendiri."
Si pemuda mengangguk-angguk penuh pengertian sekarang. Hingga tak terasa, semakin lorong itu ditelusuri, si pemuda itu semakin melihat banyak manusia yang terpenjara di dalamnya. Umumnya mereka terpenjarakan karena pemikiran-pemikiran gila mereka, yang kelewatan, berusaha melawan Sang Pencipta, berusaha mengungkap tabir yang selayaknya jangan dibuka. Tapi ada pula karena melakukan penyesatan-penyesatan semasa hidup. Seperti salah satunya seorang pria tua berjanggut, yang ditahan khusus di salah satu sel. Hanya ada si pria tua berjanggut, yang dari rona mukanya terpancarkan rasa penyesalan yang begitu dahsyat. Perlahan si pemuda mulai menaruh rasa iba pada di pria tua berjanggut itu.
Tutur salah satu malaikat: " Tak seperti tahanan-tahanan lain, pria tua berjanggut itu sungguh tampak menyesali segala perbuatannya. Benar kata peribahasa itu: sesal pun tiada guna. Ajarannya sungguh menyebabkan kekacauan. Perang yang--walau sudah diramalkan oleh sang putra--seharusnya bisa dihindari, harus terjadi. Memang menghakimi tak baik. Tapi nyatanya seperti itu. Ajaran pria tua berjanggut itu penyebabnya. Tak banyak manusia yang tahu. Sungguh sempurna kebohongan demi kebohongan itu ditutupi hanya demi satu kata: segan. Namun suatu saat akan disingkapkan, yang si pria tua berjanggut itu sendiri yang harus melakukannya."
Dalam hati, si pemuda itu berdoa, semoga pria tua berjanggut itu kuat kalau saatnya tiba.
"Kapan waktunya tiba?" tanya si pemuda penasaran.
"Sampai tiba waktunya," begitu terus dua makhluk--yang baru tahulah si pemuda, nama makhluk itu malaikat--menjawab pertanyaannya. Hingga untuk menandasi diskusi itu, salah satu malaikat berujar, "Sampai manusia terlalu cerdas, sehingga ingin terus mencari kebenaran, dan segala pintu kebenaran akan tersingkapkan karena ulah manusia sendiri. Pada waktu itulah, tiap manusia akan diadili oleh Sang Pencipta itu sendiri."
Si pemuda mengangguk-angguk penuh pengertian sekarang. Hingga tak terasa, semakin lorong itu ditelusuri, si pemuda itu semakin melihat banyak manusia yang terpenjara di dalamnya. Umumnya mereka terpenjarakan karena pemikiran-pemikiran gila mereka, yang kelewatan, berusaha melawan Sang Pencipta, berusaha mengungkap tabir yang selayaknya jangan dibuka. Tapi ada pula karena melakukan penyesatan-penyesatan semasa hidup. Seperti salah satunya seorang pria tua berjanggut, yang ditahan khusus di salah satu sel. Hanya ada si pria tua berjanggut, yang dari rona mukanya terpancarkan rasa penyesalan yang begitu dahsyat. Perlahan si pemuda mulai menaruh rasa iba pada di pria tua berjanggut itu.
Tutur salah satu malaikat: " Tak seperti tahanan-tahanan lain, pria tua berjanggut itu sungguh tampak menyesali segala perbuatannya. Benar kata peribahasa itu: sesal pun tiada guna. Ajarannya sungguh menyebabkan kekacauan. Perang yang--walau sudah diramalkan oleh sang putra--seharusnya bisa dihindari, harus terjadi. Memang menghakimi tak baik. Tapi nyatanya seperti itu. Ajaran pria tua berjanggut itu penyebabnya. Tak banyak manusia yang tahu. Sungguh sempurna kebohongan demi kebohongan itu ditutupi hanya demi satu kata: segan. Namun suatu saat akan disingkapkan, yang si pria tua berjanggut itu sendiri yang harus melakukannya."
Dalam hati, si pemuda itu berdoa, semoga pria tua berjanggut itu kuat kalau saatnya tiba.