ANOTHER FICTION: Forensik Inses






Bau-bauan ini sungguh merusak hari yang indah ini. Keanyiran ini membuatku nyaris bakal muntah berkali-kali. Untung saja aku sudah mulai terbiasa. Aku sudah menggeluti hampir tiga dekade. Keriput saja mulai tumbuh di kedua rahang.

"Jadi bagaimana, Dok?" tanya seorang opsir.

"Sepertinya memang korban merupakan korban pembunuhan," Kuraba bagian leher dari mayat perempuan yang mengenakan kaus oblong ini. "Terasa janggal kalau kasus ini dibilang sebagai bunuh diri. Apalagi sewaktu saya sudah memeriksa foto-foto TKP sebelum saya datang. Cara mengikat talinya terlihat lemah. Seharusnya kalau benar kasus ini kasus bunuh diri, tali diikat dengan menggunakan simpul hidup. Belum lagi di leher korban terdapat luka-luka lecet berbentuk bulan sabit."

"Jadi kasus ini bukan bunuh diri, Dok?"

Aku menggeleng. "Sayangnya bukan. Rasanya mustahil kalau ini dibilang kasus bunuh diri." Aku mendongak. "Lihat! Dari posisi tali tergantungnya saja, korban memerlukan sesuatu agar proses bunuh dirinya berjalan lancar. Bangku misalnya. Namun faktanya malah tak diketemukan bangku, meja, atau sesuatu begitu -- yang bisa digunakan sebagai alat bantu percobaan bunuh diri ini."

Opsir berkepala botak itu mengangguk takzim.

"Tapi untuk lebih pastinya, perlu diteliti lebih lanjut di laboratorium. Saya perlu benar-benar memastikan analisis saya ini. Juga untuk mengetahui apa motifnya jika benar ini kasus pembunuhan."

Ia masih berjengit. Perlahan ia memanggil beberapa anak buahnya untuk hati-hati menurunkan mayat tersebut.
 
*****

Aku -- Bastian Lubis -- seorang dokter forensik yang sudah lama bekerjasama dengan pihak kepolisian Indonesia, tengah memeriksa mayat perempuan bersama tim. Dalam tim ini, aku memang sengaja mengijinkan beberapa mahasiswa-mahasiswi di kelasku untuk terlibat. Biasanya itu juga mahasiswa tingkat lanjut yang kelak bakal bekerja di bidang yang sama.

"Dok, kasus ini sepertinya juga kasus pemerkosaan," ujar Nasrul, seorang mahasiswa yang langganan penerima beasiswa di kampus aku mengajar. "Dugaan saya, korban diperkosa ketika sedang tidur -- yang mungkin dicekoki dengan obat tidur. Dalam lambungnya ditemukan kandungan dari obat tidur jenis hypnotic. Diperkirakan juga, setelah lama disetubuhi pelaku, korban tersadar, berusaha melawan -- yang mengakibatkan mendapatkan serangan balik dari pelaku berupa cekikan. Di gigi korban juga terdapat bercak darah; mungkin bekas dari bite mark. Mungkin korban sempat menggigit tangan pelaku."

Aku mengangguk sembari memerhatikan mayat perempuan tersebut. Kuperhatikan bagian selangkangannya, sepertinya memang ada unsur pemerkosaan. Tampak terdapat luka di dekat kemaluan korban.

"Benar kata Nasrul, Dok," timpal Thea. "Di dalam vagina korban juga ditemukan cairan sperma dalam jumlah banyak. Dari yang saya lihat, korban disetubuhi dalam jangka waktu yang cukup lama; mungkin sekitar dua atau tiga jam.

Thea ini juga mahasiswi yang cukup cerdas. Indeks prestasi semester lalunya saja sekitar tiga koma tujuh puluh lima. Selain Thea -- dan Nasrul sendiri, aku juga beruntung diberkahi sejumlah rekan yang sungguh bisa kuandalkan. Sebelum aku turun tangan, mereka sudah memberikanku hasil penyelidikan yang bisa diandalkan. Ini jadi bisa meringankan kerjaku.

"Tapi untuk dibilang sebagai kasus pemerkosaan juga diragukan. Sebab tak ditemukan bukti-bukti yang mengarah ke situ di TKP. Iya, kan, Jack?" Aku mendelik pada rekan kerjaku yang cukup berharga dan sudah bekerja selama enam tahun, Joko Andriawan. Joko membalas mengangguk.

"Korban memang ditemukan di kamarnya sendiri. Masuk akal kalau kalian bilang ini sebagai kasus pemerkosaan juga. Tapi yang membuat saya ragu, tak ditemukan bercak-bercak darah di seprainya."

"Mungkin bisa jadi pelaku mengganti seprainya." ucap Nasrul kembali.

"Masuk akal," responku, mengangguk. "Selebihnya kita perlu menunggu laporan lebih lanjut seputar TKP dari pihak kepolisian."

Segenap tim nyaris menganggukan kepala.

"Oh iya, sepertinya juga kasus kali ini tergolong sensitif," kata Nasrul lagi.

"Atas dasar apa kamu bilang sensitif?" tanyaku, mengerutkan dahi.

"Saya menduga telah terjadi inses di kasus ini, Dok. Apalagi setelah saya menyelidiki golongan darah korban, serta kandungan sperma yang ada di dalam vaginanya. Golongan darah korban O; Dan golongan darah kemungkinan pelakunya itu O juga. Yang saya simak dari cerita dokter dua hari lalu, TKP-nya merupakan kamar korban; dan kemungkinan waktu kejadiannya adalah malam hari. Korban merupakan anak dari keluarga yang cukup berada, yang mana kedua orangtua korban sering tidak ada di tempat. Korban dalam kesehariannya tinggal bersama kakak laki-lakinya."

"Luar biasa kali mahasiswa kau ini, Bas." Jack berdecak. "Kukira, ia bisa menjadi ahli forensik andal seperti kau."

Aku bersemu merah; Nasrul juga. "Kau ini bisa saja. Kau kan juga ahli forensik yang hebat."

Ia terkekeh. "Tapi tak sehebat kau, Kawan. Namamu kan sering masuk banyak surat kabar. Mulai dari halaman depan, tengah, bagian surat pembaca, halaman belakang, hingga obituari pun menyebutkan kau sebagai ahli forensik terbaik se-Indonesia."

Aku tergelak mendengar selorohannya itu. "Enak saja kau. Aku ini belum meninggal tahu."

Tak hanya aku, yang lainnya juga ikut tertawa. Mungkin di atas surga sana, korban pun tertawa di balik senyum getir penuh dendam kesumat.

*****

Penyelidikan itu sudah terjadi tiga jam lalu. Namun aku tetap saja masih memikirkan hasil sementara di laboratorium itu. Ada sesuatu yang menggelitik. Sesuatu itu seperti menampar keras kedua pipiku. Terutama soal golongan darah si korban: O.

O yah?

Aku terkekeh sembari menjaga fokus mengemudi. Golongan darahku kan O. Istriku juga O. Yah, kami ini pasangan inses. Tapi insesnya juga berlangsung secara tak sengaja. Aku dan istriku baru tahu soal inses tersebut setelah si sulung lahir. Dokter yang memeriksa begitu kaget sewaktu mengetahui kesamaan DNA punyaku dengan punya istriku. Untung saja, Tuhan batal memberikan azab-Nya. Si sulung terlahir sebagai anak normal; malah berprestasi pula.

Sebetulnya bukan salah aku dan istriku juga. Kami hidup terpisah. Setelah dilakukan penyelidikan oleh seseorang yang mengaku sebagai detektif swasta, diketahui sebuah fakta menarik. Ternyata kami berdua terlahir sebagai kakak beradik dari sebuah keluarga yang cukup kaya. Kami harus terpisah karena sebuah insiden kecelakaan pesawat. Saat itu, istriku masih berusia tiga tahun; sementara aku sudah hendak masuk sekolah dasar (Luar  biasa juga istriku itu. Masih bisa selamat dari insiden yang cukup membahayakan nyawa untuk seorang batita).

Setelah insiden itu, entah mengapa kami dikirimkan ke panti asuhan yang berbeda. Tak hanya panti asuhan yang berbeda, pula keluarga yang berbeda serta nasib yang berbeda. Kalau dia wajar tak tahu apa-apa soal keluarga kami dulu. Tapi aku? Seharusnya ada secercah memori masa lalu keluarga terdahulu yang bisa terbayang. Namun nihil. Sepertinya aku terkena benturan, sehingga mengakibatkan amnesia.

Ah, kisah yang unik nan tragis yah. Aku jadi semakin penasaran dengan kasus yang kupegang ini. Ini kali pertamanya aku mendapatkan kasus yang cukup kompleks. Pembunuhan, iya. Pemerkosaan, iya. Inses juga iya. Sebelumnya kasus yang selama ini kutangani, kebanyakan pembunuhan atau bunuh diri.

Mungkin Tuhan sungguh menjaga perasaanku agar tidak terlalu hanyut dalam luka masa lalu yang cukup memedihkan hari. Ia seperti menjauhkan diriku dari kasus-kasus yang bisa membangkitkan tragedi yang tak sengaja tercipta tersebut.  






* Iseng saja membuat cerpen dengan memanfaatkan ilmu yang kudapat dari kelas "Kedokteran Forensik" semasa kuliah di Fakultas Hukum Atmajaya - Jakarta. Cerpen ini murni fiksi juga, lho. Omong-omong, dosenku waktu itu cukup asyik menjelaskannya. Sehingga aku tak kesulitan mencerna mata kuliah "Kedokteran Forensik". 

Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~