"Sumpah pemuda fuck-lah! Orang di warkop masih ngomong sunda, di warteg ngomong jawa, mana bahasa Indonesia-nya??" -@freddybutbut
Bicara soal nasionalisme, jujur saja aku memuja bangsa Jepang. Yah, memuja. Luar biasa salut. Bisa dibilang, mereka benar-benar mencintai negara dan kebudayaannya. Kalau kata 'jepang' terlontar dari pikiran, pasti yang ada di benak 'tokyo', 'kyoto', 'kimono', 'dorayaki', 'Nagasaki', 'kanji'; atau saat mendengar akhiran '-chan' di sebuah nama, kita pasti langsung ingat satu kata: 'jepang'. Dan sudah sepatutnya kita berterimakasih pada manga - komik dalam bahasa Jepang. Iro-iro arigatou, mangaka!
Bicara soal komik Jepang, aku yakin seyakin-yakinnya, orang lebih mengenal kebudayan Jepang itu karena komik. Mungkin karena kulturnya juga, di sana, komik selalu terus menerus dimunculkan. Mau itu shounen kek, harem kek, seinen kek, shoujo kek, ecchi kek, atau hentai sekalipun, produksinya terus tak pernah menemui kata mandek. Kalau diperhatikan baik-baik, tema apa yang diusung - termasuk fantasi sekalipun, selalu saja ada terselip budaya Jepang, atau setidaknya menyebutkan sesuatu yang akrab di sana; biasanya itu soal -chan, -san, -kun, atau otoo-san (ayah), ojii-san (paman), atau okaa-san (ibu). Kebanyakan juga, dan seringnya, para komikus Jepang itu tidak hanya menampilkan yang baik-baiknya saja soal negara dan gaya hidupnya; ada juga yang negatifnya dimunculkan (Berbeda dengan di sini, yang pasti langsung kesal kalau yang jelek-jeleknya ditampilkan). Makanya ada pula komik-komik yang bernuansa kritik seperti Kobo-chan atau Kariage-kun. Bahkan Doraemon pun ada lho kritik sosialnya.
Lalu dari komik, kita beralih ke anime - animasi dalam bahasa Jepang. Kalau komiknya sudah muncul, pasti selalu ada film animasinya. Pembaca juga ingin melihat tokoh-tokoh fiksinya 'hidup'. Terus, dari anime, kita akan semakin mengenal budaya Jepang itu dari lagu. Kebanyakan anime pasti selalu ada soundtrack-nya. Dari sini, (mungkin) muncul-lah sekelompok orang penyuka J-Pop, yang sebetulnya lebih dahulu ada daripada K-Pop. Hanya saja, penyuka J-Pop jadi minoritas, sebab lahirnya karena manga dan anime yang di mata orang Indonesia, orang dewasa yang masih suka baca komik itu kekanak-kanakan. Plus juga masih kalah sama penikmat musik dari negeri Paman Sam.
Mungkin juga, gejala weaboo atau wapanese itu muncul bukan karena dorama - drama dalam lafal Jepang, tapi karena manga dan anime. Jujur saja, Jepang agak payah dalam membuat film-film drama seperti di Meksiko atau Korea. Kebanyakan film drama Jepang itu nyawanya pendek (Kebanyakan hanya 12 episode), sudah begitu juga lebih sering diangkat dari manga atau anime; makanya kurang mengena di hati. Novel pun kadang juga dibuat manga-nya kok. Ada satu novel di Jepang bernama Moshi Kōkō Yakyū no Joshi Manager ga Drucker no "Management" o Yondara - atau yang akrab disebut Moshidora - malah, menurutku, lebih terkenal manga dan anime-nya. Tak heran sih, kaver novelnya juga guratan manga.
Kembali ke soal nasionalisme.
Selain Jepang dengan manga, anime, atau dorama-nya, nasionalisme orang Korea (Selatan) patut diacungi jempol. Berkat drama-drama Korea yang mulai booming gara-gara "Endless Love", pengagum-pengagum budaya Korea semakin banyak di Indonesia. Kata-kata 'kamsahamnida', 'annyeonghaeseyo', 'yeobeoseyo' sering terdengar di kuping kita. Nama-nama seperti Jeju, Nami, Gangnam, Seoul, atau Miryang adalah yang sering terlintas saat bicara soal Korea. Tapi sih, tetap saja masih lebih baik Jepang. Di Indonesia, Jepang lebih dahulu terkenal dari Korea.
Walaupun demikian, Jepang dan Korea Selatan memang luar biasa dalam hal mempromosikan negara dan kebudayaannya. Cara promosi mereka tidak seperti negara Indonesia yang masih cenderung mengandalkan pentas seni yang isinya pameran kebudayaan daerah - yah tariannya, alat musiknya, pakaian tradisionalnya, atau masakannya. Aku yakin, orang luar tahu Indonesia yah karena promosi-promosi seperti itu - yang kata seorang video jockey monoton. Hal seperti itu juga pernah dibahas salah seorang penulis best-seller dalam salah satu novelnya. Ia mengeritik secara halus cara promosi tersebut. Apalagi cara promosi negara dan kebudayaan seperti itu juga tak terlalu mengena di hati. Tak efektif. Pentas seni sifatnya hanya sementara.
Iya, hanya sementara. Pentas seni hanya berlangsung sementara - di waktu itu dan di tempat itu. Selebihnya setelah lewat, orang mungkin lupa. Berbeda kalau promosinya lewat film, lagu, buku, komik, atau animasi. Itu jauh lebih efektif. Kalau dikemasnya secara baik sekali, akan menimbulkan kesan mendalam di diri orang yang menyaksikannya. Buntutnya, mereka pasti tertarik untuk mempelajari budaya dari si pembuatnya. Kalau ada sesuatu yang tak familiar, pasti akan dicari tahu.
Kalau kita memikirkan Indonesia, apa yang terpikir? Hmm.... rendang? Makanan. Serimpi? Tarian. Gadang? Rumah tradisional. Pendet? Tarian. Kuta? Pantai. Sanur? Pantai. Dan itu semua diperkenalkan dengan cara promosi yang kolot, hingga terlihat sekali itu promosi. Tidak efektif. Agak menyulitkan ke orang-orang yang sedang meriset Indonesia untuk keperluan film atau novel. Pemborosan waktu, jika untuk meriset saja harus mengunjungi pameran-pameran seni dan budaya Indonesia. Apalagi budaya Indonesia banyak. Makanya jalan satu-satunya itu, yah kalau nggak di film, yah buku. Lihat betapa suksesnya Laskar Pelangi mempromosikan Belitung yang dulu tidak dikenal. Sekedar info, Doraemon pernah dapat penghargaan dari pemerintah Jepang karena telah mempromosikan Jepang. Lihat, betapa efektifnya promosi lewat buku atau film.
Yah tapi apa mau dikata. Pemerintah sepertinya lebih enak dengan promosi-promosi kolot seperti itu. Kebanyakan film atau buku yang go internasional itu karena usaha sendiri. Sedikit campur tangan pemerintah. Pemerintah itu lebih suka promosi lewat pameran seni dan budaya. Padahal pemerintah Korea pun sudah mulai melirik cara promosi lewat film atau buku. Pernah baca, para pelaku dunia hiburan (showbizz) benar-benar difasilitasi oleh pemerintah Korea. Tak hanya Korea, kudengar Amerika Serikat juga sama. Sementara Indonesia? Hadeuh, sering kudengar banyak sekali hambatan yang harus ditempuh oleh para pelaku showbizz atau industri kreatif tanah air. Salah satunya, birokrasi yang rumit - yang hanya sanggup dikalahkan oleh uang.
Selain kolot, promosi lewat pameran seni, aku rasa tak berguna. Kurang bisa menanamkan citra Indonesia di mata orang luar (WNA, maksudnya). Kukira, setelah mengunjungi pameran seni dan budaya, orang-orang itu pasti mengira kita bangsa yang suka menyanyi atau menari. Eh saat menuliskan ini, mendadak terpikirkan kata-kata seorang video jockey yang kesulitan dalam mencari sesuatu yang identik dengan Indonesia - di luar soal kebudayaan daerah. Kalau menurut kalian, apa sih yang identik dengan Indonesia? Aku kok sulit menyebutkan yang orang luar bisa bilang, "Wuih gila, gaya lu Indonesia banget!" Kalau menyebutkan batik atau keris, kok kurang sreg? Itu kan budaya Jawa, kesannya Indonesia = Jawa. Rendang atau Pendet atau Tor-tor juga sama saja. Semestinya dari awal pemerintah Indonesia mengerucutkan semua budaya di Indonesia menjadi satu, biar tak terjadi kerancuan. Semua budaya dikerucut (Ada beberapa budaya yang dihilangkan) untuk membentuk satu budaya: budaya Indonesia.
Benar-benar susah untuk soal yang satu ini. Dari awal, promosinya hanya lewat pameran seni dan budaya sih. Karena secara keseharian, apa yang sering dipertunjukan itu jarang sekali dilakukan. Plus kecenderungan di sini adalah lebih menyukai segala produk impor. Yah barang, yah film, yah buku, yah komik,.... yah pokoknya segalanya deh. Untuk yang bukan kelas menengah bawah, pasti kesulitan menyebutkan apa saja film atau buku atau lagu Indonesia. Tapi kalau produk negara lain, khatam deh. Beuh, rumput tetangga lebih bagus yah ketimbang rumput sendiri? Agak miris rasanya, saat ada seorang bule yang malah jadi aktif memperkenalkan budaya dan gaya hidup Indonesia.
Yah habis apa mau dikata, produk Indonesia kolot sih. Lihat saja; dangdut, kebaya, batik, konde, keris, peci, blangkon, debus, silat, delman,.... nggak banget deh gue mau bersentuhan sama itu semua. Big no-no. Kelas kampung. Lebih keren Super Junior. Lebih cantik SNSD. Lebih keren One Direction. Apaan tuh Changcuters? Nggak banget D'Massive itu. Norak tahu Wali itu. Ish, lebih bagus juga lihat Sora Aoi main. Lebih puas. Puas apanya? Entahlah, jujur aku belum pernah menonton Sora Aoi main, tapi kalau Maria Ozawa sudah (#Eh). Apalagi Jesse Jane.
Benar-benar yah, nasionalisme di negara ini langka. Mengakunya nasionalis, tapi masih suka minum di Starbuck ketimbang warung kopi. Nasionalis, tapi lebih khatam menyanyikan lagu-lagu bahasa negara lain daripada lagu-lagu bahasa negara sendiri - apalagi lagu wajibnya. Nasionalis yah, kalau berobat di luar negeri masih jadi opsi pertama banget daripada berobat di dalam negeri. Luar biasa nasionalisnya, lihat dari atas ke bawah itu produknya asing. Sangat nasionalis menyaksikan beberapa orang yang kalau bicara, pasti deh campur-campur bahasa negara lain (Umumnya Inggris, padahal dijajah Belanda); padahal di negara sendiri, dia bercakap-cakap. Kadang suka aneh juga mendengar singkatan gladi resik diucapkan secara english. Kalau mau bicara english, sekalian dong bilangnya rehearsal. LoL.
Ah, ah, ah, nasionalisme di negara ini memang mahal, saudara-saudara! Secara praktek, memang mahal. Tapi secara teori, itu segampang menuliskan ini: (http://immanuels-notes.blogspot.com/2010/11/nasionalisme-dari-bawah.html).
Kaver novel Moshidora |
Kembali ke soal nasionalisme.
Selain Jepang dengan manga, anime, atau dorama-nya, nasionalisme orang Korea (Selatan) patut diacungi jempol. Berkat drama-drama Korea yang mulai booming gara-gara "Endless Love", pengagum-pengagum budaya Korea semakin banyak di Indonesia. Kata-kata 'kamsahamnida', 'annyeonghaeseyo', 'yeobeoseyo' sering terdengar di kuping kita. Nama-nama seperti Jeju, Nami, Gangnam, Seoul, atau Miryang adalah yang sering terlintas saat bicara soal Korea. Tapi sih, tetap saja masih lebih baik Jepang. Di Indonesia, Jepang lebih dahulu terkenal dari Korea.
Walaupun demikian, Jepang dan Korea Selatan memang luar biasa dalam hal mempromosikan negara dan kebudayaannya. Cara promosi mereka tidak seperti negara Indonesia yang masih cenderung mengandalkan pentas seni yang isinya pameran kebudayaan daerah - yah tariannya, alat musiknya, pakaian tradisionalnya, atau masakannya. Aku yakin, orang luar tahu Indonesia yah karena promosi-promosi seperti itu - yang kata seorang video jockey monoton. Hal seperti itu juga pernah dibahas salah seorang penulis best-seller dalam salah satu novelnya. Ia mengeritik secara halus cara promosi tersebut. Apalagi cara promosi negara dan kebudayaan seperti itu juga tak terlalu mengena di hati. Tak efektif. Pentas seni sifatnya hanya sementara.
Iya, hanya sementara. Pentas seni hanya berlangsung sementara - di waktu itu dan di tempat itu. Selebihnya setelah lewat, orang mungkin lupa. Berbeda kalau promosinya lewat film, lagu, buku, komik, atau animasi. Itu jauh lebih efektif. Kalau dikemasnya secara baik sekali, akan menimbulkan kesan mendalam di diri orang yang menyaksikannya. Buntutnya, mereka pasti tertarik untuk mempelajari budaya dari si pembuatnya. Kalau ada sesuatu yang tak familiar, pasti akan dicari tahu.
Kalau kita memikirkan Indonesia, apa yang terpikir? Hmm.... rendang? Makanan. Serimpi? Tarian. Gadang? Rumah tradisional. Pendet? Tarian. Kuta? Pantai. Sanur? Pantai. Dan itu semua diperkenalkan dengan cara promosi yang kolot, hingga terlihat sekali itu promosi. Tidak efektif. Agak menyulitkan ke orang-orang yang sedang meriset Indonesia untuk keperluan film atau novel. Pemborosan waktu, jika untuk meriset saja harus mengunjungi pameran-pameran seni dan budaya Indonesia. Apalagi budaya Indonesia banyak. Makanya jalan satu-satunya itu, yah kalau nggak di film, yah buku. Lihat betapa suksesnya Laskar Pelangi mempromosikan Belitung yang dulu tidak dikenal. Sekedar info, Doraemon pernah dapat penghargaan dari pemerintah Jepang karena telah mempromosikan Jepang. Lihat, betapa efektifnya promosi lewat buku atau film.
Yah tapi apa mau dikata. Pemerintah sepertinya lebih enak dengan promosi-promosi kolot seperti itu. Kebanyakan film atau buku yang go internasional itu karena usaha sendiri. Sedikit campur tangan pemerintah. Pemerintah itu lebih suka promosi lewat pameran seni dan budaya. Padahal pemerintah Korea pun sudah mulai melirik cara promosi lewat film atau buku. Pernah baca, para pelaku dunia hiburan (showbizz) benar-benar difasilitasi oleh pemerintah Korea. Tak hanya Korea, kudengar Amerika Serikat juga sama. Sementara Indonesia? Hadeuh, sering kudengar banyak sekali hambatan yang harus ditempuh oleh para pelaku showbizz atau industri kreatif tanah air. Salah satunya, birokrasi yang rumit - yang hanya sanggup dikalahkan oleh uang.
Selain kolot, promosi lewat pameran seni, aku rasa tak berguna. Kurang bisa menanamkan citra Indonesia di mata orang luar (WNA, maksudnya). Kukira, setelah mengunjungi pameran seni dan budaya, orang-orang itu pasti mengira kita bangsa yang suka menyanyi atau menari. Eh saat menuliskan ini, mendadak terpikirkan kata-kata seorang video jockey yang kesulitan dalam mencari sesuatu yang identik dengan Indonesia - di luar soal kebudayaan daerah. Kalau menurut kalian, apa sih yang identik dengan Indonesia? Aku kok sulit menyebutkan yang orang luar bisa bilang, "Wuih gila, gaya lu Indonesia banget!" Kalau menyebutkan batik atau keris, kok kurang sreg? Itu kan budaya Jawa, kesannya Indonesia = Jawa. Rendang atau Pendet atau Tor-tor juga sama saja. Semestinya dari awal pemerintah Indonesia mengerucutkan semua budaya di Indonesia menjadi satu, biar tak terjadi kerancuan. Semua budaya dikerucut (Ada beberapa budaya yang dihilangkan) untuk membentuk satu budaya: budaya Indonesia.
Benar-benar susah untuk soal yang satu ini. Dari awal, promosinya hanya lewat pameran seni dan budaya sih. Karena secara keseharian, apa yang sering dipertunjukan itu jarang sekali dilakukan. Plus kecenderungan di sini adalah lebih menyukai segala produk impor. Yah barang, yah film, yah buku, yah komik,.... yah pokoknya segalanya deh. Untuk yang bukan kelas menengah bawah, pasti kesulitan menyebutkan apa saja film atau buku atau lagu Indonesia. Tapi kalau produk negara lain, khatam deh. Beuh, rumput tetangga lebih bagus yah ketimbang rumput sendiri? Agak miris rasanya, saat ada seorang bule yang malah jadi aktif memperkenalkan budaya dan gaya hidup Indonesia.
Yah habis apa mau dikata, produk Indonesia kolot sih. Lihat saja; dangdut, kebaya, batik, konde, keris, peci, blangkon, debus, silat, delman,.... nggak banget deh gue mau bersentuhan sama itu semua. Big no-no. Kelas kampung. Lebih keren Super Junior. Lebih cantik SNSD. Lebih keren One Direction. Apaan tuh Changcuters? Nggak banget D'Massive itu. Norak tahu Wali itu. Ish, lebih bagus juga lihat Sora Aoi main. Lebih puas. Puas apanya? Entahlah, jujur aku belum pernah menonton Sora Aoi main, tapi kalau Maria Ozawa sudah (#Eh). Apalagi Jesse Jane.
Benar-benar yah, nasionalisme di negara ini langka. Mengakunya nasionalis, tapi masih suka minum di Starbuck ketimbang warung kopi. Nasionalis, tapi lebih khatam menyanyikan lagu-lagu bahasa negara lain daripada lagu-lagu bahasa negara sendiri - apalagi lagu wajibnya. Nasionalis yah, kalau berobat di luar negeri masih jadi opsi pertama banget daripada berobat di dalam negeri. Luar biasa nasionalisnya, lihat dari atas ke bawah itu produknya asing. Sangat nasionalis menyaksikan beberapa orang yang kalau bicara, pasti deh campur-campur bahasa negara lain (Umumnya Inggris, padahal dijajah Belanda); padahal di negara sendiri, dia bercakap-cakap. Kadang suka aneh juga mendengar singkatan gladi resik diucapkan secara english. Kalau mau bicara english, sekalian dong bilangnya rehearsal. LoL.
Ah, ah, ah, nasionalisme di negara ini memang mahal, saudara-saudara! Secara praktek, memang mahal. Tapi secara teori, itu segampang menuliskan ini: (http://immanuels-notes.blogspot.com/2010/11/nasionalisme-dari-bawah.html).
Sebenarnya, kenapa nasionalisme kita masih harus dipertanyakan? Geli dengarnya...
ReplyDeleteToh, kita 'sadar' ada Sumpah Pemuda juga karena momen tertentu aja kan?
Kenapa budaya kita gak seterkenal Jepang dan Korea sana? Jawabannya gw kutip langsung dari artikel ini "Yah habis apa mau dikata, produk Indonesia kolot sih. Lihat saja; dangdut, kebaya, batik, konde, keris, peci, blangkon, debus, silat, delman,.... nggak banget deh gue mau bersentuhan sama itu semua. Big no-no. Kelas kampung." Kekekekekeke
Kita ini sebenarnya munafik bgt loh, menuntut pemerintah ini-itu padahal kita sendiri keseringan bego ama budaya sendiri. Kalo orang sono jelas beda. Mereka melek budaya dan paham tradisi. Ya balik lagi ke kitanya. Itu aja sih kalo menurut gw. :)
Selain melek, mereka juga bangga dan nggak malu sama budaya sendiri... Sampai sekarang, gue masih sering lihat film-film atau drama-drama Jepang, ada unsur budayanya seperti kimono, yukata, tanabata, atau boneka hina. Film-film Korea juga sama. Sementara di Indonesia, jarang banget nemu yang kayak gitu. -_-
DeleteEh eh, baru mau komen masalah nasionalisme, dibagian bawah kotak komentar ini, ada tulisan bahasa Inggrisnya. Apakah lantas saya boleh menyimpulkan kalo yang punya blog kurang nasionalis? Hmmm,.. rasanya terlalu dangkal kalau langsung menyimpulkan seperti itu.
ReplyDeleteMengenai kolot, kelas kampung, dan sebagainya, saya kira tiap negara punya cara masing-masing ya untuk mempromosikannya. Mengapa gamelan atau wayang 'hanya' di promosikan melalui pentas seni, ya karena wadahnya memang disitu. Dan saya kira itu merupakan suatu bentuk penghargaan terhadap budaya tersebut.
Tidak semua kebudayaan bisa di sampaikan melalui media yang sama, karena balik lagi, bahwa budaya itu identitas. Cara mempromosikan budaya yang seperti itu, juga terbentuk dari identitas masyarakat Indonesia. Ahh ya, satu lagi, perlu diingat bahwa Indonesia bukan cuma Jawa, yang akses internet, informasi, dan perkembangan teknologinya jauh lebih pesat daripada daerah yang lain. Perlu dipertimbangkan juga mengenai itu.
Ngomong-ngomong, ini artikel yang bagus Nuel. Cukup berhasil memaksa saya berpikir agak keras untuk mengomentarinya. Hehe..
Itu cuma segelintir doang bahasa Inggris-nya, tapi kontennya berbahasa Indonesia kan kebanyakan. Huahahaha... :D
DeleteSetuju banget sama komentar pertama. Menurutku nasionalisme nggak harus dengan cara 'besar' sih.
ReplyDeleteGile tulisanmu keren Nuel.
ReplyDeleteSaya setuju klo memperkenalkan Indonesia tidak hanya dlm bentuk pentas seni saja, mungkin bisa dalam bentuk lain seperti buku dan film itu, tpi perlu diingat pengerucutan budaya malah tidak mencerminkan Nasionalisme itu sendiri, karena Nasionalisme kebangsaan bukan berarti mematikan akar budaya dari keanekaragaman bangsa, justru ini yg menjadi identitas bangsa Indonesia yg beraneka ragam itu tpi tetap SATU.
Jika masing2 kita masih memakai bahasa daerah masing2 atau masih memakai adat istiadat asal daerahnya ini justru wujud dri kecintaan akan negerinya sendiri dgn cara melestarikan akar budaya daerah masinf2.
Nuel tulisanmu keren, membuka cara berfikir dan buat mikir juga hehe
Soal kebudayaan daerah, kok itu membuatku berpikir itu jadi menyulitkan seseorang untuk lebih mengenal apa itu Indonesia.... Yang dibilang VJ Daniel itu benar juga, apa sih sesuatu yang INDONESIA banget.
Deleteaku berfikiran positif aja deh gak mau menuduh orang lain :) toh rasa nasionalisme bisa dilakukan dengan berbagai cara ya
ReplyDeleteIya sih, nasionalisme bisa ditunjukan dengan banyak cara... :)
DeleteNasionalisme itu gak mahal, udah ada dalam darah kita masing-masing, tinggal gimana kita lebih peka dan ngembangin positif-positifnya daripada sibuk kritis negatifnya doang.
ReplyDelete.
Kalo dipikir-pikir, mendingan orang-orang yang masih kental bahasa daerahnya, mereka biasanya sangat mengenal betul budayanya, kemungkinan besar mereka lah yang akan mempertahankan kekentalan budaya tersebut, sehingga Indonesia yang ragam ini tetap ada dan asli. Ketimbang orang yang lancar bahasa indonesia 'aja' atau campur bahasa inggris (biasanya hidup di kota besar, Jakarta mungkin), kurang ada pegangan kebudayaan, kalaupun ngerti budaya keturunannya paling cuma sedikit-sedikit, kiblatnya ke hidup modern, konsumsinya malah budaya negara lain yang mereka tau saat besar dan karena pergaulan/trend biasanya, yang begitu justru yang akan mengikis nasionalisme.
Karena kalau orang yang bener-bener tertarik belajar budaya, Indonesia sangat menarik kalau ditelusuri, rasanya. Udah banyak kok buku-buku tentang kebudayaan Indonesia. Sebenernya...
Jadi, kenapa mesti dipermasalahkan orang-orang yg pakai bahasa daerah dalam percakapan sesamanya (apalagi di warteg, warkop, bukan forum resmi), ya? kan belum tentu dia gak nasionalis hehehe Indonesia ya begitu, ragam, bhineka tunggal ika, iman kepada itu merupakan bentuk dari nasionalisme...
Oh, ya... kalau masalah berobat ke luar negeri, aneh juga kalau disebut gak nasionalis, karena soal penyakit (biasanya parah).... kemanapun akan dicari obatnya, itu sih masalah teknis aja yang Indonesia (memang harus diakui) belum mampu untuk hal itu.
Tapi, mungkin memang banyak yang harus diubah, mulai dari diri kita sendiri. Sekarang sudah semakin banyak juga gerakan-gerakan yang muncul guna meningkatkan nasionalisme. Semoga lebih baik, lebih melek....
Yang soal berobat itu, maksudku itu sebetulnya ke orang2 yang prioritas utamanya itu selalu merujuk ke luar negeri dahulu, itu yang kumaksud... Kan banyak tuh yang seperti itu.... Wong untuk kuliah aja, banyak lulusan SMA lebih melirik negara lain ketimbang negara sendiri... Miris.
DeletePadahal kalau masih bisa berobat di Indonesia dan kemungkinan sembuh, kenapa harus ke negara lain? Kalau kamupus2 dalam negeri masih banyak yang bagus2, kenapa harus ke luar?
DeleteMenurut gua, cara lu memandang yg namanya nasionalisme itu terlalu dangkal, Nuel. Ga akan banyak orang yg berobat ke luar negeri kalo kualitas dokter dan pelayanan rumah sakit di Indonesia bagus. Jelas aja banyak pasien yg lebih memilih berobat ke luar negeri, demi kesembuhan. Jadi sekarang yg salah pasiennya atau rumah sakitnya? Kalo lu sakit parah, terus dokter Indo bilang kemungkinannya 30% bisa sembuh sementara dokter Singapore bilang lu 90% sembuh, lu bakal berobat ke mana? Tetep berobat di Indonesia dan ngambil resiko mati konyol demi yg namanya "nasionalisme"?
ReplyDeleteOrang Indo terlalu banyak koar2 soal nasionalisme, tapi hanya sekedar di mulut atau tulisan, ga lewat tindakan nyata. Soal menyukai budaya negara lain misalnya, menurut gua semua orang berhak punya selera dan preferensi masing2 dan ga ada orang yg boleh ngejudge dia. Apakah baca Doraemon itu tandanya tidak nasionalis? Apakah studi ke luar negeri itu tandanya tidak nasionalis? Pandangan nasionalisme yg sempit inilah yg bikin banyak orang ilfil sama yg namanya nasionalisme.
Gimana cara negara2 lain meningkatkan nasionalisme rakyatnya? Apakah dengan menuduh rakyatnya tidak nasionalis? Gua rasa bukan. Tapi dengan merangkul mereka2 yg punya budaya dan bahasa berbeda untuk merasa sebagai bagian dari negara itu. Di China sini tiap daerah rakyatnya punya bahasa dan dialek sendiri, bahkan ada banyak yg ga bisa Bahasa Mandarin. Tapi mereka tetep cinta sama negaranya. Kok bisa ya? Karena pemerintah mencantumkan "subtitle" di setiap acara TV sehingga mereka2 yg ga bisa denger Bahasa Mandarin, setidaknya mereka masih bisa ngerti dengan baca tulisannya.
Lihat kan? Ga bicara dengan bahasa nasional, bukan lantas berarti tidak nasionalis. Pandangan sempit seperti yg lu tulis di atas itu hanya akan menimbulkan perselisihan, bukan persatuan. Indonesia negara yg kaya akan pluralitas. Perbedaan jangan dihina, dikecam, atau dihilangkan, tapi justru harus dirangkul. Kalo mau nasionalis, tunjukkan bukan dengan cara saling tunjuk siapa yg salah, tapi dengan karya, dengan tindakan nyata. Biarin rakyat Indo seneng menikmati hiburan buatan Jepang atau Korea, selama itu bikin mereka jadi tambah cerdas, tambah kreatif. Apa salahnya belajar dari negara lain? China jadi negara superpower hanya dalam waktu 40 tahun karena dia membuka diri terhadap investasi asing dan banyak kirim rakyatnya sekolah ke luar negeri lho.
Daripada sibuk debat soal nasionalisme, lebih baik kita ga banyak bicara tapi banyak berkarya. Mau Indonesia dikenal sama dunia? Gampang. Bikin karya yg dikenal sama dunia internasional...film kek, animasi kek, novel kek, apapun. Atau mungkin kita bisa belajar dari China atau Thailand, mengangkat nama negaranya dengan cara jadi tuan rumah event berskala internasional ala World Scout Jamboree, World Cup, atau Olimpiade. Tapi ga usah mikir jauh2 deh, kemaren Miss World aja diprotes sama orang2 berotak udang yg berkedok agama, gimana negara laen mau percaya sama negara kita? Wong rakyat banyak yg lebih fanatik sama budaya Arab daripada budaya negara sendiri.
Percuma meningkatkan sektor pariwisata dll kalo kualitas SDMnya sendiri ga ditingkatkan. Berantas kebodohan, tangkap para koruptor, bersihkan pemerintahan dari KKN, bubarkan partai anarkis, tingkatkan kemakmuran rakyatnya, baru setelah itu kita bisa fokus ke luar. Image negara di mata rakyat sendiri aja masih jelek, ga usah ngurusin image di mata dunia dulu deh.
Gue nggak bisa berdebat panjang lebar, karena kenyataannya betul banget... Speechless habis bacanya........ Hahaha.... Nicest comments.. :)
DeleteBtw soal banyak film/anime Jepang yg diangkat dari novel...kata gua sih GA ADA SALAHNYA ya...seengganya itu novel masih buatan rakyat mereka sendiri gitu lho. Daripada sinetron2 Indo yg masih banyak MENJIPLAK karya negara laen misalnya. Kalo lu bilang drama/anime adaptasi novel itu ga sebagus novelnya, berarti selama ini yg lu tonton cuma film2 kacangan Nuel. Gua udah banyak nonton film2 Jepang dan negara2 Asia lain yg diangkat dari novel dan hasilnya BAGUS BANGET, lebih bagus daripada adaptasi Hollywood terhadap novel malahan. Mungkin wawasan lu terhadap film yg masih kurang luas. Coba kurangin nonton film/drama yg dibintangi idol2 terkenal, tapi cari film/drama serius yg temanya mengangkat kehidupan. Dijamin ceritanya bermutu, ga cuma jual tampang.
ReplyDeleteSori kalo ada kata2 yg menyinggung
Iya, yah, kayaknya kudu czari film2 yang lebih serius lagi... Hahahaha
Deletecoba aja stasiun TV nasional gak mendadak berhenti nayangin drama2 Jepang, kan gue jadi lebih hapal banget drama2 Jepang. Wakakaka
DeleteCoba cari dua drama ini : Kekkon Dekinai Otoko & Shinzanmono
DeleteDua dari drama singkat Jepang (cuma 12 episode) yg paling keren kalo menurut gua =)
Gua ga tahan nonton drama korea yg puluhan episode soalnya. Buat gua, 12 udah jumlah yg paling pas...
Kalau ada waktu senggang, gue cari deh. Sebetulnya udah masuk waiting list drama yang mau ditonton juga sih... Hehehe... Banyak yang bilang bagus.
Delete