Belakangan ramai diberikan sejumlah influencer ditangkap polisi berhubungan dengan 17+8. Bahkan ada salah seorang Tiktoker sedang mengupayakan restorative justice.
Nah, kalian penasaran, kan, apa itu restorative justice?
Eh, sebelumnya aku mau mengabarkan, bisa hubungi kantor hukum AVP untuk kalian yang sedang mencari bantuan hukum atau jasa pengacara. Pun, ada showroom di lantai dasar Bintaro Plaza (10-30 September 2025). Informasi selengkapnya berada di gambar paling bawah.
Restorative justice adalah sebuah pendekatan penyelesaian perkara hukum yang lebih menekankan pada pemulihan keadaan, bukan semata-mata penghukuman. Konsep ini menempatkan korban, pelaku, dan masyarakat sebagai pihak yang sama-sama terlibat dalam mencari solusi terbaik. Alih-alih langsung masuk ke ranah pengadilan dengan ancaman penjara yang panjang, restorative justice mencoba mencari jalan tengah yang lebih manusiawi: bagaimana korban bisa mendapatkan keadilan, pelaku bisa bertanggung jawab, dan hubungan sosial bisa kembali pulih.
Di Indonesia sendiri, restorative justice sudah sering dibicarakan, bahkan dimasukkan ke dalam kebijakan aparat penegak hukum. Misalnya, Polri dan Kejaksaan beberapa kali menggunakan mekanisme ini dalam kasus-kasus ringan atau kasus tertentu yang dianggap lebih baik diselesaikan di luar jalur pengadilan. Contohnya, kasus pencurian kecil-kecilan karena faktor ekonomi, perkelahian yang bisa didamaikan, atau konflik antar warga yang lebih cocok ditengahi ketimbang diteruskan jadi perkara besar.
Akan tetapi, ketika restorative justice diterapkan pada kasus yang melibatkan influencer atau figur publik, apalagi yang terkait dengan isu besar seperti 17+8, muncul pro-kontra. Ada sebagian masyarakat yang menilai, “Ah, jangan-jangan ini cuma jalan pintas supaya mereka bisa lolos dari hukuman.”
Namun ada juga yang berpandangan, “Ya kalau bisa damai, kenapa tidak? Penjara bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah.”
Kalau kita pikir lebih dalam lagi, inti dari restorative justice sebenarnya ada di kata restorative itu sendiri, yaitu untuk memulihkan. Memulihkan keadaan korban yang mungkin dirugikan, memulihkan hubungan sosial yang terganggu, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap keadilan. Nah, di sinilah letak tantangan terbesarnya.
Apakah benar dengan restorative justice, semua pihak bisa merasa puas? Apakah benar rasa keadilan bisa terpenuhi?
Dalam kasus yang ramai sekarang, beberapa influencer ditangkap polisi karena dianggap memprovokasi atau melanggar aturan saat momentum 17+8. Lalu, ada yang mencoba jalan restorative justice dengan korban atau pihak yang dirugikan. Artinya, mereka berusaha menunjukkan itikad baik, meminta maaf secara terbuka, bahkan mungkin mengganti kerugian atau melakukan kerja sosial. Dari sisi hukum, selama pihak korban dan pelaku sama-sama sepakat, proses hukum bisa dihentikan.
Namun, di ruang publik, kadang perspektifnya berbeda. Apalagi kalau sudah menyangkut figur publik dengan banyak pengikut di media sosial. Ada yang menilai restorative justice hanya privilege bagi mereka yang punya nama besar, sementara rakyat kecil kalau melakukan kesalahan tetap harus jalani proses hukum biasa.
Karena itu, penting sekali memahami bahwa restorative justice bukan berarti jalan untuk menghindar dari tanggung jawab. Justru sebaliknya, ini adalah jalan untuk menanggung tanggung jawab secara langsung, tatap muka, dan nyata kepada pihak yang dirugikan. Kalau dalam bahasa sederhana, restorative justice itu bukan sekadar “maaf-maafan”, tapi ada unsur keadilan, penggantian, serta komitmen supaya hal yang sama tidak terulang lagi.
Pertanyaan besarnya:
Apakah restorative justice ini cocok untuk kasus-kasus besar yang melibatkan masyarakat luas? Atau sebaiknya hanya dibatasi untuk kasus ringan dan privat?
Mungkin, di titik inilah perdebatan masih terus terjadi.



Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^