Selamat Jalan, Uda Nurdin, Oppung Vanya...

 













Teruntuk pamanku, Nurdin Lubis, alias Oppung Vanya.

Masih sulit bagiku untuk menuliskan ini, Uda. Kabar kepergian Uda bagaikan kilat yang menyambar di siang bolong. Tidak ada pertanda yang jelas. Tidak ada firasat yang benar-benar membuatku siap. Hanya kata-kata dari seorang bibi di Facebook, dari garis Papi, yang mengatakan bahwa Uda sudah tiada. Hatiku seperti diremas. Aku terpaku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

Mendadak, kenangan lama menyeruak begitu saja. Wajah, tawa, bahkan nada suara Uda, mereka semua hadir begitu jelas di pikiranku. Aku langsung teringat pada masa kecilku, saat libur sekolah dan Uda bersama keluarganya Uda datang ke rumah. Aku masih kecil, baru saja naik kelas empat SD. Rumah terasa lebih hangat ketika ada kehadiran Uda bersama keluarga.

Bang Tanta dan Bang Ivan, yang usianya lebih besar dariku, menjadi teman bermain yang sangat aku nantikan. Sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah, aku sering merasa kesepian. Kehadiran mereka membuatku merasa lengkap. Kita sering main mobil-mobilan di halaman depan, meskipun pada akhirnya aku malah membanting mobil-mobilan tersebut. Atau, saat aku main air hingga tumpahan air hampir saja membuat Uda terpeleset. Kau, Uda, sering tertawa melihat kelakuan kami, tapi sesekali juga menegur kalau permainan kami sudah kelewat ribut.

Kuteng dan Gita pun membawa warna tersendiri. Aku yang terbiasa berinteraksi dengan kakak-kakakku yang perempuan, merasa aneh sekaligus senang ketika bercanda dengan mereka. Aku masih ingat, kita pernah bersepakat membuat biodata di semacam buku diary. Uda juga membiarkan kami berlarian, meski Mami sempat mengomel karena kami membuat halaman berantakan. Namun Uda hanya tersenyum, lalu berkata pada Mami, "Namanya juga anak-anak, Ito, biarlah. Selama mereka senang, itu sudah cukup."

Kalimat sederhana itu masih terngiang sampai sekarang. Uda juga punya cara menenangkan. Suaramu tenang, tapi penuh wibawa.

Aku juga teringat saat malam tiba, ketika sinetron favorit tayang. Atau, saat aku dan anak-anak Uda cartoon marathon di hari minggu. Uda juga pernah bercerita banyak hal, entah tentang masa mudamu, tentang kampung halaman, atau sekadar cerita ringan yang membuat kami semua tertawa. Uda pun pandai membuat suasana menjadi hidup. Bahkan di tengah gelap gulita, kami merasa hangat karena cerita-ceritanya Uda. 

Kini, semua itu hanya tersisa dalam kenangan. Tidak ada lagi sosok Uda yang bisa kucari ketika ingin mendengar cerita Aekulok yang indah. Tidak ada lagi tawa yang khas itu, yang selalu membuat suasana cair.

Aku menyesal, Uda. Menyesal karena waktu-waktu terakhir tidak pernah benar-benar aku manfaatkan untuk berbincang lebih dalam denganmu. Aku terlalu sibuk dengan urusan sendiri. Kadang merasa "Ah, nanti masih ada waktu". Ternyata waktu tidak pernah menunggu.

Kematianmu, Uda, menyadarkanku bahwa hidup ini rapuh sekali. Kita sering menunda untuk mengekspresikan rasa sayang, rasa hormat, bahkan sekadar menanyakan kabar, karena kita pikir selalu ada hari esok. Padahal, bisa saja hari esok itu tidak pernah datang.

Aku ingin menulis surat ini sebagai pengingat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk keluarga kita. Bahwa kasih sayang harus selalu kita tunjukkan sekarang, bukan nanti. Bahwa doa dan perhatian tidak boleh ditunda.

Terima kasih, Uda, untuk setiap tawa, setiap cerita, setiap kesabarannya Uda menghadapi kami yang ribut dan usil. Terima kasih karena selalu membawa nuansa kebersamaan yang sulit tergantikan. Terima kasih sudah menjadi paman yang hangat dan penyayang.

Kini Uda sudah tenang, aku percaya. Semoga Tuhan Yesus Kristus menempatkan Uda di tempat terbaik, memberi kelapangan kuburnya Uda, dan melimpahkan rahmat-Nya untuk Uda, istrinya Uda, anak-anaknya Uda, dan cucu-cucunya Uda. Aku tahu, Uda sudah tidak lagi merasakan lelah. Uda tidak lagi merasakan sakit.

Hanya kami yang ditinggalkan yang masih bergulat dengan rindu. Rindu pada obrolan sederhana. Rindu pada kehadiran Uda yang menenangkan. Rindu pada kebersamaan yang kini hanya bisa kusimpan dalam memori.

Selamat jalan, Uda, Oppung Vanya.
Aku akan terus mendoakan Uda.  Setiap kali aku melihat Bang Tanta, Bang Ivan, Kuteng, atau Gita, aku tahu, ada bagian dari Uda yang tetap hidup di dalam mereka.

Sampai kita bertemu lagi, entah kapan, di tempat yang jauh lebih indah dari dunia ini.






















Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~