Minta Maaf Saja Tidaklah Cukup!

 
















"Minta maaf doang gak bisa hidupin lagi nyawa driver ojol yang dilindas sama anak buahmu, Pak. Yang kami minta tunjukin depan umum semua orang yang ada di kendaraan rantis tersebut biar selanjutnya masyarakat yang menghakiminya!"

Begitulah kataku saat sore ini, melihat beberapa berita yang berseliweran di media sosial. Suara-suara marah masyarakat menggema di linimasa. Aku duduk terpaku, jari-jari gemetar, membaca ulang berita itu.

"Sampe kolom komentar diilangin sama channel berita sekelas Metro TV. Ada apa ini?" gumamku, sambil menatap layar ponsel.

Aku heran. Biasanya, berita soal kecelakaan atau kasus kriminal lain penuh komentar pedas warganet, entah menghujat, entah mendoakan. Namun kali ini, sunyi. Kolom komentar kosong. Seakan ada tangan tak terlihat yang menyapu bersih suara-suara rakyat.

Aku coba buka X. Tagar tentang tragedi itu naik daun, tapi anehnya berita resmi tak kunjung muncul. Justru video-video dari akun anonim yang beredar, direkam warga sekitar. Salah satunya memperlihatkan jelas sebuah kendaraan lapis baja melaju kencang di jalan sempit, lalu… 

BRAK! 

Seorang sopir daring terlempar, motornya hancur, tubuhnya tergilas.

Aku hampir melempar ponselku. Nafasku tercekat.

"Astaga… segininya?!"

Seketika aku ingat wajah-wajah abang ojol yang sering mengantarkan makanan ke rumah. Ramah, selalu senyum, meski jelas terlihat capek. Aku membayangkan kalau itu adalah orang yang kukenal, atau ayah dari teman-temanku, atau mungkin pahlawan kecil di rumahnya. 

Lantas apa balasan negara? Hanya kata maaf saja? 

Kabar itu makin ramai. Grup WhatsApp keluarga heboh, ada yang bagikan tautan berita, ada yang marah-marah.

"Negara makin gila," tulis salah seorang temanku. "Kalau rakyat yang nabrak aparat, pasti langsung diciduk. Lah ini kebalik, kok minta maaf doang?"

Aku diam, hanya membaca. Tanganku ingin menulis panjang, tapi kutahan.

Sampai akhirnya aku memberanikan diri menulis di media sosialku sendiri:

"Nyawa driver ojol bukan sekadar angka di statistik. Jangan main-main sama hidup rakyat kecil. Kami nggak butuh kata-kata 'minta maaf' di tivi, Pak Polisi. Kami butuh tanggung jawab, transparansi, dan keadilan."

Postingan itu ternyata naik daun. Teman-temanku mulai membagikan. Ada yang komen mendukung, ada pula yang mengingatkan, "Hati-hati, Bro. Bisa diserang."

Ah, macam aku peduli saja. 














Malam harinya, aku keluar rumah, ikut gabung dengan massa yang melakukan aksi spontan di bundaran. Ada puluhan orang, sebagian besar driver ojol dengan jaket hijau khas mereka. Wajah-wajah letih dan marah bercampur di antara kerumunan. Ada yang bawa poster bertuliskan: "Nyawa kami bukan percobaan kendaraan perangmu!" 

Bahkan ada pula yang menyalakan lilin, berdoa untuk almarhum.

Aku ikut menyalakan lilin. Rasanya dadaku sesak.

Seorang driver paruh baya naik ke atas trotoar, bersuara lantang lewat toa sederhana:

"Saudara-saudara! Hari ini kita kehilangan teman kita! Dia cuma cari nafkah, nganterin makanan, nyari rejeki halal buat keluarganya! Tapi nyawanya dihabisin alat perang yang bahkan nggak seharusnya ada di jalan raya! Dan apa balasan mereka? Cuma bilang 'maaf' di TV! Emang kalau kita mati, anak-istri kita bisa kenyang sama kata 'maaf'?!"

Sorak sorai menggema. Beberapa orang menitikkan air mata. Aku merinding.

Lalu ia melanjutkan, lebih keras:

"Kita minta! Tunjukkan siapa saja yang ada di kendaraan itu! Jangan ditutup-tutupi! Kalau nggak, jangan salahkan rakyat kalau nanti rakyat yang bertindak sendiri!"

Massa berteriak: "Usut! Usut! Usut!"















Besoknya, media mainstream tetap bungkam. Paling banter ada berita singkat: “Insiden kecelakaan, aparat minta maaf.” Itu saja. Tidak ada investigasi, tidak ada nama korban disebutkan, tidak ada detail.

Namun media alternatif dan akun-akun independen justru semakin gencar. Ada yang membagikan foto-foto keluarga korban. Istrinya menangis di depan rumah kontrakan sempit, anaknya masih kecil, memegang foto ayahnya sambil bingung.

Aku merasa dunia runtuh.

Sementara itu, akun anonim lain menyebarkan dokumen tak resmi, menyebut bahwa kendaraan rantis itu sedang dalam "latihan pengamanan kota". Entah benar atau tidak. Tapi satu yang jelas: mereka menutup-nutupi.

*****

Sore itu, aku kembali menulis di media sosial:

" Kalau aparat bisa sembarangan menggilas rakyat, lalu minta maaf seenaknya, apa bedanya kita dengan negeri barbar? #UsutTuntas #NyawaOjol"

Postingan ini lebih baik daun lagi. Sampai-sampai ada akun-akun misterius yang membalas:

"Hati-hati bro, bisa kena UU ITE."

"Awas, jangan terlalu keras. Intel gentayangan."

Bahkan ada direct message anonim masuk:

"Berhenti bicara, sebelum semuanya terlambat."

Aku membaca itu dengan tangan gemetar.















Tiga hari setelah tragedi, massa semakin besar. Di depan gedung DPR, ribuan driver ojol berkumpul. Jaket-jaket hijau memenuhi jalan. Aku ada di sana, di tengah kerumunan. Kami menuntut keadilan.

Di atas panggung orasi, seorang anak korban naik bersama ibunya. Bocah itu, sekitar 7 tahun, memegang foto ayahnya. Dengan suara kecil tapi menyayat, ia berkata:

"Papa bilang mau pulang bawa makanan… tapi papa nggak pulang lagi."

Tangisan massa pecah. Semua menjerit. Semua amarah yang selama ini tertahan seolah meledak.

Aku pun menangis.















Malam harinya, beberapa stasiun TV akhirnya memberitakan aksi tersebut. Tapi mereka memotong-motong, seolah itu hanya "demo biasa". Tak ada suara anak korban. Tak ada tangisan istri. Tak ada amarah rakyat.

Aku benar-benar muak.

Lalu aku menulis lagi, kali ini lebih panjang, lebih tajam:

"Media besar takut, aparat menutup-nutupi, pemerintah diam. Tapi kami rakyat tidak akan diam. Jangan pikir rakyat kecil tidak punya suara. Kami bisa berteriak lebih keras dari mikrofonmu. Kami bisa melawan dengan cara yang kalian tak sangka-sangka. 














Beberapa hari kemudian, muncul petisi daring. Dalam semalam, ratusan ribu tanda tangan terkumpul. Isinya: usut tuntas, buka identitas pelaku, proses hukum transparan.

Tekanan semakin kuat. Sampai akhirnya, satu sore, aku melihat breaking news:

"Kapolda mengumumkan penyelidikan mendalam terkait insiden kendaraan rantis yang menewaskan driver ojol."

Aku hanya bisa tersenyum getir. Baru bergerak setelah ribuan rakyat turun ke jalan, setelah anak kecil menangis di depan kamera amatir, setelah suara rakyat menggema lebih keras daripada toa resmi.














Aku menutup ponsel, menatap langit sore.

Dalam hati aku berkata,

"Pak, jangan kira permintaan maafmu cukup. Nyawa tak bisa dibeli dengan kata-kata. Kalau kalian terus bermain-main dengan keadilan, rakyatlah yang akan menjadi hakimnya."

Aku sadar, perjalanannya masih panjang. Setidaknya, suara rakyat tak lagi bisa dibungkam. 













Omong-omong, informasi di bawah ini patut diperhatikan. 





















Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~