Berbuat Baik Tidak Semudah Itu

 












Apakah berbuat baik itu mudah? Oh, tentu tidak. 

Apakah menolong orang itu gampang? Tidak semudah itu, Ferguso. Konon, berbuat baik itu harus begini, harus begitu. Tanpa kita sadari, ada tata caranya untuk berbuat baik. Tak boleh asal-asalan, apalagi jika perbuatan baik kita itu malah mengusik. 

Perbuatan baik mengusik? Memang bisa? Percayalah, aku tidak sekadar menulis. Aku sering mengalaminya. Maksud hati ingin berbuat baik, eh jatuhnya malah mengusik kenyamanan yang ada. Coba tebak sendiri bagaimana? 

Intinya, just to the point, berbuat baik di era sekarang itu tidak boleh asal-asalan. Ada tata caranya. Harus memperhatikan kaidah-kaidah yang ada. Yang harus begini, yang harus begitu.

Menolong orang lain pun sama. Harus memperhatikan beberapa teori yang ada. Kadang aku berpikir, jika caranya seperti itu, yang ditolong langsung mati lebih dulu. Mendadak aku ingat satu cerita. Tak tahu dari mana datangnya cerita ini. Begini ceritanya. 

Ada seorang yang tengah sekarat. Ibarat game, nyawanya tinggal beberapa bar saja. Sayangnya yang bersangkutan tak langsung ditolong. Alasannya, harus membayar biaya administrasi dulu, dokter yang memeriksa harus si X, dan si X lagi di luar kota, lalu sederetan pertimbangan lainnya. Terpaksa yang bersangkutan diletakkan di ruangan khusus hingga begitu Dokter X tiba, yang bersangkutan sudah ke alam lain. 

Omong-omong, sepakatkah jika aku bilang berbuat baik (atau menolong orang) itu tak boleh asal-asalan? Contoh kasusnya seperti tadi. Tak hanya seperti harus mengikuti standar atau kaidah yang ada, kita sendiri yang membuat batasan-batasan tentang perbuatan baik itu harus yang bagaimana. Sering, kan, kita berujar dalam hati, ah, jangan ditolong, dikasih hati, minta jantung. Ada juga yang takut menolong orang lain karena menghindari drama. Masih panjang sebetulnya, tapi yah sudahlah. Aku tak mau dibilang nyinyir juga. Segitu saja sudah cukup. Sisanya, pikirkan sendiri. 

Yang pada hakekatnya, sebetulnya berbuat baik itu sederhana. Menolong orang lain itu sangat mudah. Itu juga kalau kalian sepakat dengan kata-kataku tadi. Yang membuat sulit itu justru diri kita sendiri. Kenapa harus menciptakan serentetan batasan, kaidah, tata cara, atau apapun itu namanya hanya demi menolong orang lain? Pernahkah kita berpikir, andai Tuhan penuh pertimbangan, kita tidak akan terlahir di dunia ini?

Nah!

C'est la vie, dan tentang ini, pernah kubahas di (Dilema Berbuat Baik). Kalau kubaca ulang, lalu mengingat apa yang baru saja aku alami beberapa tahun terakhir ini, sepertinya aku sedikit keliru. Yah, namanya juga manusia. Belum lagi, ada yang bilang hidup adalah pembelajaran (Belajar melulu yah, kapan lulusnya?).

Padahal dunia akan lebih indah, jika dalam hal menolong sesama, kita tanpa pertimbangan. Seharusnya begitu. Apa daya, hanya wacana. 

Oh iya, satu pertanyaan yang untuk dijawab di dalam hati. Pertanyaannya: 

Jika kalian bertemu dengan seseorang yang memiliki beberapa pergumulan yang tak biasa, kalian ingin menolong, namun takut. Entah takut dramanya, entah pula takut dengan anggapan orang lain. Semisal kalian malah bakal dituduh yang bukan-bukan. Akankah kalian terus menolong yang bersangkutan, walau kalian tahu apa resiko menolong orang dengan pergumulan yang tak biasa tersebut?

Jangan dijawab di kolom komentar. Jawab sendiri di dalam hati. Anggap aku tengah mengajukan pertanyaan reflektif. 














Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~