Genre: Romance
Kantin adalah sebuah tempat
menyenangkan selepas menyelesaikan estafet panjang dua kelas perkuliahan.
Sebetulnya ada perpustakaan yang begitu ademnya, apabila memperhatikan kondisi
cuaca yang teriknya menusuk tulang ini. Tapi untuk orang seperti Ricky yang tak
gemar membaca, perpustakaan yang penuh dengan buku jelas bukan pemandangan yang
menyenangkan–apalagi untuk melepaskan kejenuhan setelah nyaris empat jam
mendengarkan materi kuliah hukum dari dua dosen yang berbeda.
Bagi pemuda bertinggi badan sekitar
180 cm dan berkacamata minus rendah ini, kantin jelas merupakan oase. Seperti
oase yang biasanya dicari-cari para musafir di gurun pasir, begitupun dengan
kantin kampusnya. Selain ada atap yang menjagai kantin dari serangan matahari dan
membuat hawanya jadi sejuk, pemandangannya juga lumayan indah daripada
perpustakaan kampus. Untuk mahasiswa tipe playboy
macam dirinya, jelas sebuah kesenangan tersendiri melihat banyak ditemukan
mahasiswi-mahasiswi cantik – dan yang mungkin juga sekal.
Apalagi saat itu sudah jam sebelas
siang. Kebanyakan fakultas di kampusnya sepakat menghentikan aktivitas
perkuliahannya di jam sebelas atau dua belas. Belum lagi jam dua belas memang
jam istirahat para dosen dan karyawan-karyawati kampus. Tak heran, pada jam-jam
yang sudah disebutkan tadi, banyak ditemukan mahasiswi dari pelbagai fakultas
atau jurusan–atau juga angkatan. Ada yang dari fakultas Ekonomi, fakultas
Psikologi, Hukum, Teknik, Keguruan, hingga Bioteknologi yang banyak dijumpai
mahasiswi bertampang Oriental. Ada
mahasiswi angkatan tua, juga tak sedikit pula ditemukan mahasiswi baru
atau semi-baru – minimal.
Tak hanya itu saja. Dari segi
tampang dan bodi juga beragam dan sungguh menghibur mata. Ada yang level of cuteness-nya di atas rata-rata
(Mahasiswi yang seperti ini biasanya berwajah agak-agak mirip dengan Barbie doll), ada yang cantiknya kelas Miss Universe, atau ada juga yang hanya
bodinya saja yang menarik perhatian. Mahasiswi seperti ini biasanya tampangnya
standar, kalau tak mau dibilang pas-pasan. Ada sebuah selorohan yang ia dengar
dari temannya, Wino. Temannya yang penggemar klub sepakbola, Liverpool ini
pernah berseloroh seperti ini: “Cewek yang kayak gitu tuh, saat malam pertama
nanti, biar lebih enak gituannya, bro, enaknya mukanya ditutupi dulu pakai
kantong kresek.”
Intinya, kantin memang oase buat
mahasiswa yang tak terlalu bergairah bila membicarakan soal materi
perkuliahannya. Yah macam Ricky ini. Dan di sinilah ia berada bersama tiga orang
temannya, yaitu Alvin, Rintisman, dan Dandy. Mereka berempat tengah menikmati
makan siang mereka sembari melihat-lihat mahasiswi-mahasiswi yang enak
dipandang dan banyak beredar di kampus.
“Cuy, tengok arah jam sembilan deh,”
desis Alvin yang bergaya rambut ala pemuda 80-an. “Wuih, gila, boi, wajahnya
itu lho, gak nahan.”
“Ah itu belum ada apa-apanya, cuy,
sama yang di arah jam enamnya gue.” bantah Rintisman, mahasiswa berkulit legam yang
biasanya dipanggil Maman. “Cantiknya tingkat dewa.” Rintisman berdecak sendiri,
saking mengagumi seorang mahasiswi yang kecantikannya sebelas-dua belas dengan
Jessica Alba.
“Tipikal kayak begitu biasanya
matre, cuy.” kata Ricky yang mulai menghidupkan sebatang rokok.
Ricky
ini secara diam-diam menekuni profesi sebagai gigolo. Profesi satu ini tak banyak
yang tahu.
Hanya segelintir saja yang tahu soal seluk beluk gigolo. Ricky
sendiri pernah secara tak terduga memberitahukan ketiga sahabatnya itu soal ‘profesi’nya
itu (Kenapa diberikan tanda kutip? Karena sesusngguhnya yang namanya profesi
itu haruslah yang sehat jasmani dan sehat rohani). Ia pernah menunjukan contact list di ponselnya pada mereka
semua dan isinya banyak dijumpai nama-nama perempuan; baik yang kampungan
seperti Siti, Aisyah, Rini, Andini, atau Tina; maupun yang berbau modern dam
kekotaan seperti Sabrina, Rey, Hanna, Melissa, hingga Amanda.
Perempuan-perempuan tersebut ada yang tante-tante, mahasiswi, anak SMA, bahkan
anak SMP. Seperti yang sering diucapkannya pada ketiga sahabatnya itu: “Usia
nggak jadi soal, yang penting kenikmatan dalam bercinta.”
“Iye,
iye tahu, yang sudah expert banget
soal dunia percintaan,” sindir Dandy yang sudah dikenal sebagai juragan film
porno di kalangan mahasiswa-mahasiswa fakultas Hukum.
Ricky
hanya cengar-cengir saja mendengar sindiran tersebut. Di saat bersamaan,
dadanya terasa geli. Ternyata ponsel cerdasnya itu bergetar hebat. Segera saja
ia ambil. Yasmine, begitulah nama yang tertera di display-nya.
Yasmine,
Ricky terperangah membacanya. Jarang ia temukan perempuan bernama Yasmine. Kalau
Melati yang merupakan terjemahan harfiahnya sih lumayan banyak. Ada enam nama
Melati di contact list ponsel
cerdasnya. Seketika itu juga, ia jadi terbayang wajah seorang gadis yang nyaris
satu tahun tak ia jumpai.
Gadis
bernama Yasmine adalah gadis yang berwajah Eropa dengan hidungnya yang lancip
indah. Wajah Yasmine itu mengingatkannya akan Irina Shayk, kekasih dari
pesepakbola tenar asal Portugal bernama Cristiano Ronaldo. Tubuh Yasmine juga
lebih indah daripada gitar Spanyol–begitulah personifikasi seseorang terhadap
tubuh wanita yang begitu montoknya. Tapi sayang, ada satu kekurangan Yasmine.
Dia seorang lesbian. Bahkan menjalani kehidupan lesbiannya bersama rekan
kerjanya di sebuah stasiun televisi selama lima tahun.
Lantas
soal Ricky yang jadi bersinggungan dengan kehidupan lesbian tersebut, itu
terjadi karena profesi gigolo-nya. Secara nalar, jika kita menekuni profesi
itu, pastilah hal-hal yang kita lihat adalah hal-hal yang selama ini terus
berada dalam undercover. Para
pelakunya terus hidup di balik sebuah tirai raksasa, dan hanya minoritas saja
yang tahu soal itu semua. Salah satunya, Ricky sendiri. Karena sudah tahu isi
tirai raksasa itu, Ricky khatam siapa-siapa saja yang senasib dirinya di
kampus.
Awal keterlibatan Ricky dalam
hubungan Yasmine dengan pacarnya, Dylan itu juga karena rekan seprofesinya,
Dion. Dion yang berbeda kampus dengannya, memberitahukannya soal job yang menghasilkan banyak uang.
Pekerjaannya itu simple, tak perlu
berlelah-lelah memainkan permainan cinta di atas ranjang. Air mani atau spermanya
hanya disewa oleh pasangan lesbian itu–Yasmine dan Dylan–untuk membuat
Yasmine hamil. Mengapa harus Yasmine? Karena Yasmine-lah yang memegang posisi
sebagai femme. Dylan yang berambut
cepak berperan sebagai butchy.
Pasangan itu berani membayar mahal air mani Ricky dengan harga gila-gilaan. Di
atas sepuluh juta (Kapan lagi mendapatkan uang sebanyak itu tanpa harus
berpeluh di atas ranjang?!). Dan cara yang ditempuh oleh pasangan lesbian yang
begitu mendambakan seorang anak dalam kehidupan asmara mereka adalah dengan
menggunakan teknik In Vitro Fertilization
(IVF), yaitu teknik bayi tabung yang menggunakan sperma donor, lalu embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim Yasmine. Tak usah heran mengapa pasangan
lesbian bisa menggunakan teknik bayi tabung di Indonesia. Karena di negara
mana pun, selalu ada sisi hitam di balik segala sesuatunya. Ada dokter putih,
maka ada dokter hitam.
“Cuy, kok bengong aje? Angkat tuh
teleponnya.” ucap Dandy yang nyengir melihat Ricky yang malah begitu terpana
membaca nama Yasmin di display ponsel
cerdasnya itu.
“Jangan sok-sokan melodrama begitu,
deh.” timpal Rintisman.
“Iya, iya, gue angkat. Gak usah
bawel juga, kan?!” balas Ricky nyengir. Langsung Ricky letakan ponsel cerdasnya
itu di telinganya, setelah ia terima panggilan dari Yasmine tersebut. “Halo?”
“Morning,
Honey,” sapa Yasmine di ujung sana, entah dimana.
Honey?
sejak kapan ia jadian dengan lesbian macam Yasmine. Bukankah Yasmine lebih
tertarik dengan perempuan daripada laki-laki? Ah, mungkin ini hanya semacam
guyonan saja.
“Ho-honey?”
respon Ricky bingung.
“Anak kita sudah lahir kemarin,
Ricky-Honey.” kata Yasmine.
“Anak?” tanya Ricky masih memasang
roman wajah bingung.
“Oh
aku mengerti maksudmu. Maksudmu, anak hasil inseminasi buatan di prakteknya
Dokter Nugraha Adi, kan? Wow cepat juga, yah, hasilnya keluar?! Anaknya sehat,
kan?” ucap Ricky lagi setelah akhirnya menangkap maksud kata-kata Yasmine
barusan.
“Sehat,
dong, sama kayak ayahnya yang gagah perkasa.” jawab Yasmine.
“Ayah?
Maksudmu, Dylan?” ujar Ricky yang lagi-lagi mengernyitkan dahinya yang cukup
menonjol.
“Yah,
kamu-lah. Kan kamu ayah biologisnya. Dia kan anak hasil spermamu yang ada di
rahimku waktu itu. Gak mungkin kan ovum ketemu ovum bisa menghasilkan anak.”
tutur Yasmine.
“Ta-tapi
ki-kita kan nggak menikah?!”
“Karena
itulah, aku pengin memintamu melamarku.”
Melamar?
Ricky semakin mengernyitkan dahinya.
“Nggak
tahu kenapa juga, tiap kali melihat Ricky Junior,” Yasmine berhenti sejenak.
“…gak papa, kan aku menamainya dengan namamu?”
“Te-terserah
kamu aja,”
“Tiap
kali melihat Ricky Junior ini, aku selalu terbayang dirimu, Rick. Perasaan ini
jauh melebihi perasaanku ke Dylan. Dan sewaktu aku menceritakannya ke Dylan, ia
marah sekali, dan… kami akhirnya putus, Rick.”
“Pu-putus?”
“Iya,
putus. Kamu mau kan jadi ayah untuk Ricky Junior, dan jadi suami untukku?”
pinta Yasmine. “Kini aku baru mengerti betapa luar biasanya jadi seorang istri
betulan dari seorang suami pria. Sungguh dahsyat rasanya melahirkan itu.
Menyenangkan rasanya melihat anak dari hasil hubungan dengan seorang pria.
Rasanya itu… tak terkira dan tak bisa dianalogikan dengan apapun juga.”
“Jadi…
kamu mau kan jadi ayah dan suami?” ulang Yasmine permintaannya tadi.
“Kasih
aku waktu buat berpikir. Nanti malam aku telepon kamu, yah?!” jawab Ricky
setelah berulang kali memgambil dan membuang napas.
“Baiklah, aku tunggu jawaban kamu
nanti malam.”
Berakhirlah sudah percakapan via
telepon antara dirinya dengan Yasmine. Kini ia tertegun di pandangan mata ketiga
sahabatnya yang jadi mengernyitkan dahi masing-masing.
Ricky benar-benar tak menyangka
kejadian seperti barusan. Seiring dengan lahirnya Ricky Junior, timbullah pula
perasaan cinta terhadap dirinya dalam diri Yasmine. Jujur ia memang sempat
mengagumi kecantikan maha dahsyat yang dimiliki Yasmine, walaupun tak berani
membelokannya menjadi cinta karena diri Yasmine yang seorang lesbian. Tapi
kini, doanya sepertinya terkabul. Wanita secantik Yasmine jadi menyukai dirinya
dan sedikit lagi akan ia rengkuh jadi pasangan hidupnya. Dalam sekejap,
terbitlah sebuah senyuman di bibirnya dan tahu harus berkata seperti apa pada
Yasmine–pastinya bukan penolakan.
“Cuy,” Alvin menggerak-gerakan
tangannya di hadapan wajah Ricky. “Sadar, cuy, sadar.”
Ricky tak merespon apa-apa, selain
mendesiskan pelan sebuah kalimat, “This
is the sweet of platonic love, guys.”
Platonic
love adalah hubungan asmara yang tak mesra, di mana tak ada rangkulan,
belaian, pelukan, ciuman di kening, kata-kata mesra di masing-masing pihak, dan
mungkin tak ada ciuman bibir. Atau
dalam bahasa lain, platonic love is
spiritual love without any means of physical sense.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^