ONE STORY OF PHOTO: Elegy of Miss Cute Antagonist






Genre: Romance




Dokumentasi pribadi.









Fena merengkus saat melihat temannya, Selvie sewenangnya memperlakukan Gerry. Masakan Selvie tega sekali menyuruh-nyuruh Gerry untuk membeli makanan dari kantin? Ruang kelas 10A ke kantin juga tak terlalu jauh. Sepuluh menit juga sampai.
            “Vy, kenapa nggak lu aja yang pergi ke kantin? Lu punya kaki, kan?” protes Fena.
            “Suka-suka gue; masalah buat lu?” tukas Selvie sengit, yang kontras sekali dengan wajah imutnya bak Barbie. “Tokh, Gerry sendiri yang nawarin mau beliin gue nasi uduk. Tuh orangnya datang; lu tanya sendiri aja.”
            Pas sekali Gerry datang. Gerry cengar-cengir sendiri membawakan sepiring nasi uduk buat Selvie. Tak tampak di wajahnya kalau ia keberatan disuruh Selvie ke kantin buat beli sepiring nasi uduk.
            “Ger, lu kenapa sih mau aja disuruh-suruh sama Ivy?” tanya Fena langsung pada Gerry (Catatan: Ivy merupakan panggilan Selvie). Ia memasang tampang sewot pada cowok berpipi tembem tapi jago basket.
            Yang ditanya hanya mesem-mesem saja, lalu duduk di belakang persis Selvie. Sambil bertopang dagu, Fena merengut menatap dua sahabatnya sejak SMP saling bercakap-cakap seperti orang pacaran saja. Yah seperti orang pacaran, setidaknya itulah kesan yang ditangkap Fena. Kesan itu bikin Fena dongkol.
            “Ger, kita main basket, yuk?!” ajak Fena dengan niat dalam hatinya untuk menghentikan kemesraan semu antara Gerry dan Selvie.
            “Ngapain sih? Bentar lagi juga mau masuk kelas, kan?” kata Selvie sinis.
            “Tuh denger kata Selvie. Bentar lagi mau masuk, ngapain main basket sih? Bikin capek dan gak fokus aja ntar di kelas.” ucap Gerry membenarkan. Ia tampak menikmati sekali sisa waktu istirahatnya untuk bercengkerama bersama Selvie saja.
            “Kalo udah mau masuk, ngapain juga dia pake nyuruh lu segala Ger?” damprat Fena, sambil menunjuk Selvie menggunakan bibirnya.
            Selvie yang begitu mengunyah serpihan-serpihan nasi uduk terlezat di kota Tangerang itu jadi memelototi Fena. Gerry ikut serta menyeringai gadis pecicilan berambut panjang itu.
            “Lu kenapa sih, Fen? Sensi banget sama gue.” kata Selvie. “Lagi dapet?”
            “Iya nih, Fen, lu kenapa sih sensi banget?” timpal Gerry.
            “Gue eneg aja lihat cewek yang sok jadi seorang putri raja segala.” balas Fena tak kalah sengitnya dengan Selvie. ‘Tan, lu juga muak kan lihat kelakuan si tuan putri ini yang makin menjadi-jadi manjanya?”
            Intan yang asyik membaca komik Jepang hanya mengendikan bahu dengan sekilas saja melihat Fena, Selvie, dan Gerry. Ia tak terlalu antusias dengan pertengkaran kecil tersebut. Apalagi itu selalu terjadi tiap hari sejak awal kegiatan sekolah.
            “Tan, lu kenapa cuek gitu sih?” Fena menarik ke depan komik tersebut, hingga aktivitas membaca gadis berkacamata itu jadi terganggu.
            Giliran Intan yang jadi sewot. “Trus gue mesti ngapain, Fen? Kali aja mereka berdua memang pacaran, makanya mesra gitu.”
            “Tuh si Intan aja tahu. Masak lu telmi sih?” goda Selvie pada Fena yang semakin sewot mendengar saat mendengar kata ‘pacaran’ keluar dari mulut Intan.
            “Pacaran? Ger, lu emang jadian sama cewek manja ini?” tanya Fena pada Gerry yang kini jadi kikuk.
            Gerry nyengir dan bergegas bangkit berdiri sambil mengambil piring bekas nasi uduk Selvie, setelah gadis  lolita itu berkata, “Ger, tolong dong anterin  lagi ke kantin yah,”
            Fena makin panas. Ia bangkit berdiri dan siap menerkam Selvie. Sebelum perang dunia ketiga berlangsung di kelas itu, Gerry mencegatnya dan membisiki Fena sesuatu, “Fen, nanti sepulang sekolah, temuin gue di parkiran yah. Lu jangan langsung balik dulu. Tungguin gue, karna ada yang mau gue omongin sama lu.”
           
*****

            Gerry, Fena, dan Selvie adalah tiga orang sahabat yang sudah bersahabat sejak SD. Kebetulan juga mereka bertiga tinggal di komplek yang sama dan rumahnya saling berdekatan. Rumah mereka bertiga berada dalam satu baris. Nomor rumah mereka bertiga itu adalah 8, 9, dan 10 – dimana angka sempurna itu kepunyaan Selvie, mengingat rumah dialah yang paling bagus.
            Walau  berada dalam satu baris, hanya Gerry dan Fena saja yang berangkat bersama dari rumah dengan naik sepeda motor. Selvie berangkat dari rumah dengan diantar sopir pribadinya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun.  Tak heran, Selvie mendapatkan predikat Putri Raja dari murid-murid SMA Pelita Benderang. Selain diantar-jemput Pak Hartawan – bahkan hingga sampai pintu kelas 10A, ada Gerry yang begitu memperlakukannya seperti tuan putri. Perlakuan Gerry yang berlebihan itu membuat murid-murid kelas 10 jadi menengarai ada apa-apa antara Gerry dan Selvie.
            Itulah mengapa Fena jengah tiap kali Gerry dan Selvie bersua. Sudah pasti aksi pacar-pacaran tak resmi itupun pasti terekspos lagi. Meskipun sebetulnya, Fena tak berhak untuk jengah ataupun dongkol, kalau ia tak punya perasaan apa-apa ke Gerry. Seperti sekarang ini, di parkiran motor.
            Di atas jok sepeda motor matic-nya, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling areal parkir itu. Dilihatnyalah, Gerry datang menghampirinya dari arah gerbang sekolah. Pasti Gerry mengantar tuan putri itu dulu ke mobil Alphard-nya. Fena semakin cemberut saja.
            “Pasti habis nganterin si tuan putri. Iya kan?” sindir Fena.
            “Fen, lu kenapa sih sinis banget sama Ivy? Ingat lho, dia itu sahabat kita sejak SD. Tetangga pula.” Gerry geleng-geleng kepala mendengar nada bicara Fena yang terdengar sinis.
            Fena memasang helm kesayangannya bergambar Optimus Prime versi animasi. Di balik kaca film helmnya itu, ia menghela napas – sesekali berdehem-dehem.
            “Fen,” ujar Gerry. “Kayaknya sudah saatnya lu tahu hal ini. Ivy bilang sih supaya gue tetap menjaga ini sebagai rahasia, karena dia gak pengin orang-orang satu sekolahan jadi mengasihani dia.”
            “Kenyataannya memang seperti itu, kan?” ucap Fena dari balik helmnya. “Kenyataannya, satu sekolahan memang super perhatian sama si tuan putri.” Dengan ganasnya, Fena menyetarter mesin motornya. Asapnya sampai muncrat dahsyat.
            “Kenyataannya juga, perhatian anak satu sekolahan masih biasa aja. Mereka hanya sekedar mengagumi dan iri terhadap Ivy yang tiap pagi diantar sampai ke depan pintu oleh Pak Hartawan.” bantah Gerry. 
            “Belain aja dia terus.” kata Fena sirik.
            Fena bersiap memundurkan motornya dan bergegas pulang, tapi seketika itu juga batal. Gerry mengatakan sesuatu yang mengagetkannya.
            “Fen, Ivy itu sakit. Sebetulnya sejak kelas delapan, ia sudah divonis mengidap leukemia. Asal lu tahu, dia tiap pulang sekolah harus jalani kemoterapi dan mesti rutin minum obat. Dan karna gue sahabatnya sejak kecil – selain nyokap gue dan nyokapnya dia sahabat sejak SMA, gue dimintain tolong sama nyokapnya buat jagain dia sewaktu kemoterapi dan ingatin dia minum obat. Ivy kadang suka ogah-ogahan tiap kali diajak kemoterapi atau disuruh minum obat; tapi anehnya ogahnya dia itu malah hilang kalau ada gue di sekitarnya.” tutur Gerry. 
            “Lu serius, Ger?” Fena mulai membuka penutup helmnya, sehingga suaranya mulai terdengar jelas; tidak samar-samar.
            Gerry mengangguk pelan. “Lu tahu nggak kenapa Ivy sejak kelas delapan sudah jarang atau malah nggak pernah ikut kelas Olahraga lagi? Dia selalu saja hanya duduk-dudukan di kelas sembari membaca buku atau memainkan gadget-nya.”
            Fena menggeleng.
            “Yah itu karena penyakitnya itu, Fen.”
            “Tapi kenapa gue nggak dikasih tahu? Dan lu tahu dari mana?”
            “Kan gue udah pernah bilang, nyokap gue sama nyokapnya itu sahabat sejak SMA. Mereka kuliah di tempat yang sama dan kerja di kantor yang sama, bahkan katanya Ivy sendiri, nyokap gue comblangin nyokapnya dia sama salah satu atasan di kantor mereka. Begitupun dengan nyokapnya dia yang ganti nyomblangin dengan salah satu pegawai di kantor tapi beda divisi.” jawab Gerry.
            “Karena kedekatan emosional itulah, nggak heran nyokap gue bisa tahu kondisi dari Ivy, apalagi rumah gue kan di samping rumahnya persis; sedangkan rumah lu itu di samping rumah gue. Ivy sendiri juga yang berpesan ke gue agar jangan kasih tahu lu soal penyakitnya. Katanya, dia nggak mau bikin lu jadi ikut-ikutan menaruh rasa kasihan padanya.”
            “Oya, kemarin sehabis kemoterapi, dia suruh gue untuk menyampaikan permintaan maafnya. Dia merasa nggak enak, setelah melihat lu yang kelihatannya kesal melihat perlakuan gue padanya. Hari ini pun, waktu dia nyuruh gue dengan bossy-nya, itu sebetulnya dia mau mastiin aja perasaannya dia ke gue,  kalau dia nggak salah duga soal lu yang sewot padanya. Dan ternyata memang benar dugaan dia selama ini. Gue jadi percaya, karena sudah lihat sendiri.”
            Gerry nyengir pada Fena, tapi matanya tampak berkaca-kaca. Fena tak berkata apa-apa lagi. Bibirnya kelu, Kata-kata yang akan ia ucapkan serasa tercekat di kerongkongannya.
            “Oya, tapi lu mesti berpura-pura nggak tahu yah soal penyakitnya itu. Juga jangan sampai anak-anak sekelas tahu soal penyakitnya.” pinta Gerry.
            “Tapi bukannya guru-guru di sekolah sudah pada tahu, kan?” konfirmasi Fena.
            “Hanya guru-guru doang, dan Ivy bilang pada gue, dia agak risih diperlakukan seperti bayi oleh guru-guru. Dia juga curhat ke gue, dia kangen ikut kelas Olahraga. Dia kangen lari keliling lapangan, senam pemanasan, main voli, atau juga main basket.”
            “Dia nggak mau aja satu sekolah tahu dia sakit leukemia. Cukup gue dan guru-guru saja yang tahu soal penyakitnya itu.”
            Fena semakin terpekur sambil menatap roda depan motornya. Ia jadi merasa bersalah karena sudah bersikap kurang ajar pada seorang sahabatnya, apalagi sahabatnya itu tengah bergulat dengan kanker darah putih. Ternyata sahabatnya itu yang ia juluki sebagai Miss Cute Antagonist (Selvie dijuluki seperti itu oleh Fena karena matanya itu seperti mata seorang artis pemeran tokoh antagonis di sinetron-sinetron, selain wajahnya yang sangat manis) mengidap leukemia. Sungguh sebuah elegi dari Putri Antagonis yang berwajah imut-imut seimut boneka Barbie tersebut. 

*****

            Setelah tahu rahasia kecil Selvie, Fena tak lagi memendam rasa kesal di dalam hatinya saat melihat Selvie bermesra-mesraan dengan Gerry kembali. Walau begitu, ia mencoba bersikap biasa. Tak sulit untuknya tetap bersikap ketus pada Selvie, apalagi ia ternyata memang punya perasaan khusus pada Gerry. Yah, perasaannya pada Gerry sudah berubah jadi cinta. Itu terjadi sewaktu ia kelas sembilan pada saat Gerry sukses membawa tim SMP-nya jadi juara dalam lomba Basket antar sekolah sekabupaten Tangerang; Gerry juga sukses  jadi Most Valuable Player.
            Hanya saja Fena tak pernah menyampaikan perasaannya pada Gerry. Walau tomboy, ia masih punya sisi feminim dalam dirinya. Belum lagi, Selvie selalu berada di sekitar Gerry. Itu menyulitkannya untuk bisa mencoba berkata jujur soal perasaannya pada sahabatnya itu.
            Kemudian… satu bulan, dua bulan, dan tiga bulan setelah Fena tahu Selvie mengidap leukemia, tiba-tiba saja ia sudah begitu jarang bertemu si Miss Cute Antagonist di sekolah. Karena penasaran, ia mengunjungi rumah Gerry untuk mencari tahu mengapa  Selvie tak masuk sekolah selama itu. Sayang Gerry tak ada di tempat. Mbak Juju, pembantu di rumah Gerry, bilang cowok chubby itu sedang berada di rumah Selvie. Tanpa pikir panjang, ia segera mengunjungi rumah Selvie yang memang berdekatan dengan rumah Gerry.
            Betapa kagetnya Fena saat melihat Selvie dari kejauhan. Selvie mengenakan kacamata hitam dan berjalan sambil dituntun oleh Gerry menuju kelompok bunga mawar yang ada di tamannya. Mungkinkah Selvie kehilangan penglihatannya?
            Langsung saja Fena berlari dan memeluk Selvie dengan eratnya. Sambil menangis sesenggukan, ia berkata, “Vy, maafin gue yah. Gue udah berpikiran buruk soal lu dan berlaku kurang ajar.”
            Dengan kelopak mata yang kini selalu tertutup, Selvie berusaha menahan tangis. Ia menjawab: “Nggak apa-apa lagi, Fen. Harusnya gue yang minta maaf. Karena gue sudah nggak jujur sama sahabat gue sendiri.”
            Sepulang dari rumah Selvie, sore harinya, Fena beringsut ke arah Gerry. Gerry tahu Fena mau bertanya soal apa, karena itulah ia berkata, “Ivy buta karena malapraktek, Fen. Itu terjadi sewaktu kemoterapi. Memang sih keluarganya sudah mendapatkan ganti rugi, tapi tetap saja penglihatannya tak akan pernah kembali.”
            “Rencananya, minggu depan, Ivy mau berhenti sekolah dan memutuskan untuk mengikuti program home-schooling saja.”
            Sambil menggigit bibir bawahnya dan menggeleng-gelengkan kepala, Fena menengadahkan kepala ke arah langit yang berwarna aqua dengan secercah sinar matahari yang akan mulai padam karena waktu. Ia berkata dengan lirih, “Tuhan, kenapa Engkau berikan cobaan ini ke Ivy? Dengan wajah cantiknya itu, seharusnya Ivy sudah bisa memulai karir modelnya sesuai cita-citanya waktu SD.”

*****

            Enam bulan sudah terlewati. Selvie resmi berhenti sekolah dan memilih home-schooling karena faktor fisiknya itu. Selvie tak perlu takut dengan rasa sepi dan kebosanan yang menyergapnya saat menjalani kehidupan sekolah barunya yang selama ini dikenal eksklusif. Sebab akan ada Gerry dan juga Fena yang akan selalu menemaninya sepulang mereka sekolah. Kedua sahabatnya sejak SD itu akan selalu menyemangatinya belajar. Walaua materinya pasti ada perbedaan khusus dari sekolah umum, itu tak jadi suatu hambatan bagi mereka bertiga untuk kembali belajar bersama – seperti saat mereka masih SD dulu. Apalagi Gerry dan Fena malah ikut-ikutan antusias mempelajari aksara Braille yang dipelajari Selvie karena kedua matanya tak awas lagi.     
            Satu tahun pun telah terlewati. Fena bingung sendiri mengapa Gerry tak masuk sekolah. Gerry jarang sekali – bahkan nyaris tak pernah – tak masuk sekolah. Jangankan ijin atau sakit, bolos pun tak pernah. Jantung Fena jadi berdebar dan bulu di tangannya berdiri masif. Fena mulai merasakan suatu tak menyenangkan bakal terjadi di hari kamis ini – apalagi sekarang malam jumat kliwon. Hmm…
            Benar saja dugaan Fena. Saat jam pelajaran Kewarganegaraan seusai istirahat, speaker di ruang kelas 11B mulai bergetar. Bergetar bukan karena gempa, melainkan karena suatu informasi. Pak Fajar, pegawai Tata Usaha menyampaikan berita duka cita: Selvie sudah pergi. Pergi untuk selamanya; tak akan pernah kembali lagi; ia kini sudah tenang di alam sana. Langsung saja Fena spontan menangis kencang dalam ruang kelas tersebut. Saat sekolah memutuskan akan menghadiri saat pemakamannya, Fena sukarela jadi delegasi utusannya.
            Jam 12.00. Matahari bersinar di tengah-tengah awan kelabu sehabis hujan yang mengguyur komplek perumahan tersebut selama satu jam. Rumah Selvie mulai dipadati oleh banyak pelayat. Ada sebuah tenda yang terpasang di depannya dan di salah satu tiang dipasangkan sebuah bendera kuning. Di dekat pintu depan rumah Selvie, Fena bisa melihat sebuah peti mati terbaring dengan isinya adalah tubuh Selvie yang terbujur kaku. Fena menatap  Miss Cute Antagonist dengan mata sebening berlian. Gerry yang sedari tadi duduk di dekat peti mati itu bergegas beringsut ke Fena. Ia mendesahkan sebuah pernyataan.
            “Ivy mengembuskan napasnya yang terakhir jam empat pagi tadi, Fen, di rumah sakit. Malamnya ia mengeluh ke orangtuanya dadanya terasa sakit sekali. Makanya orangtuanya segera saja membawanya ke rumah sakit. Sayang sepertinya memang sudah saatnya Ivy pergi, Fen.”
            Fena tak berkata apa-apa, selain menangis seraya meringkuk di dada Gerry.

*****

            Margaretha Selviana Rohie
            Lahir: Batam, 14 Februari 1997
            Wafat: Tangerang, 13 April 2013
           
Begitulah yang tertera di batu nisan sebuah makam seorang gadis. Gadis berambut panjang dan berparas cantik bak model telah berpulang selamanya. Di pusaranya terdapat sebuah karangan bunga yang diletakan oleh sepasang pasangan muda yang baru saja menikah seminggu lalu (Mereka menikah di usia 22 tahun).  Yang pria, pria tembem yang sekarang sudah mengenakan kacamata minus rendah; yang wanita berambut panjang tapi tetap saja pecicilan. Nama pasangan itu: Gerry dan Fena.
“Vy, lu tahu nggak?” tanya Fena menatap tanah makam sahabatnya sejak SD itu. “Sekarang gue dan Gerry sudah menikah. Kita berdua jadi sepasang suami-istri begini, itu semua karena lu. Tepatnya lagi, karena segala kata-kata lu di buku harian lu itu. Nggak nyangka yah? Cewek cantik nan manja dan juga sedikit bersikap antagonis malah doyan nulis diary. Nggak juga cewek itu ternyata sensitif terhadap perasaan sahabatnya. Bahkan dia malah berusaha jadi mak comblangnya, walau ia juga perasaan ke cowok itu juga.” Fena menatap penuh arti ke Gerry.
Gerry cengar-cengir saja mendengar kata-kata istrinya itu. Di tengah air matanya yang mulai mengalir, bisa-bisanya ia menerbitkan cengiran nakal. Di pekuburan pula.
“Iya, itu benar, Vy. Awalnya selama ini, yang gue suka itu sebetulnya lu. Walau manja, lu masih lebih baik dari Fena malah. Lu lebih bisa masak dan nggak pecicilan. Gue masih ingat saat-saat kebersamaan kita dulu yang waktu itu dianggap Fena sebagai hubungan pacaran. Padahal nyatanya kan nggak. Yah walau kalau mau dibilang hubungan tanpa status juga bisa, sih.” kata Gerry nyengir.
Fena tak tersinggung dengan ucapan Gerry tersebut. Baginya, rasanya tak pantas untuk emosi sesaat, apalagi dirinya selama ini sudah seringkali menyakiti hati sahabatnya itu yang kini sudah jadi penghuni dari rumah 2x1 tersebut. Fena hanya tertunduk menatap makam tersebut seraya mukanya jadi bersemu merah – di tengah ringkukannya dalam pelukan Gerry.
“Ger,” sahut Fena pada suaminya dengan matanya masih tertuju pada makam Selvie. ”Tiba-tiba saja aku mengkhayalkan, di alam sana, mungkin saja Ivy meraih cita-citanya sebagai model. Mungkin ia sekarang lagi ber-cat walk dengan sesama hantu wanita yang bercita-cita sama.”    
            Gerry geli mendengarnya. “Yah, mungkin. Kita kan juga nggak tahu apa yang terjadi di sana. Dunia mereka sama dunia kita berbeda jauh.”

*****

            Sepuluh tahun sudah terlewati. Tak terasa sudah satu dasawarsa enam tahun, Selvie meninggal. Gerry dan Fena pun sudah punya dua orang anak dengan anak perempuan sulungnya sudah kelas 4 SD. Untuk selalu mengenang sahabatnya itu, nama anak sulung itu ialah Selvie. Beruntung anak sulung mereka itu juga secantik Selvie.
            Kini, sekitar jam delapan malam, Fena duduk bersama Selvie dan Margaretha – dua-duanya dinamakan sesuai dengan nama sahabatnya itu. Fena menemani kedua anaknya itu menonton televisi sembari menunggu Gerry pulang dari kantornya di sebuah redaksi majalah. Gerry bekerja sebagai seorang jurnalis.  
            Film yang ibu dan dua orang anak yang imut-imut itu tonton ialah sebuah film yang masih layak ditonton anak-anak seusia Selvie dan Margaretha. Dan salah satu scene-nya itu membuat air mata Fena tiba-tiba saja keluar. Margaretha yang sedang dipeluknya itu melihatnya menitikan air mata.
            “Ma,” kata Margaretha bingung. “Mama, kenapa menangis? Perasaan filmnya juga bukan film sedih, deh.” Dengan polosnya, Margaretha yang masih duduk di kelas 2 SD bertanya.
            Fena segera menyeka air mata itu dengan jemari tangan kanannya saja. Jawabnya pada Margaretha: “Mama menangis, karena tiba-tiba saja Mama teringat dengan sahabat Mama dulu yang sudah meninggal. Kalau saja ia belum meninggal, mungkin ia sudah jadi model seperti di film itu. Sahabat Mama itu seorang bidadari yang kecantikannya jauh melebihi aktris itu, Sayang.”
            Selvie yang juga jadi ikutan adiknya menatap ke mamanya itu menanyakan suatu hal. “Ma, kalau boleh tahu, nama sahabatnya Mama itu siapa?”
            “Namanya itu sama seperti nama pertama kalian berdua yang digabung menjadi satu, tapi dibalik. Namanya itu Margaretha Selviana.” jawab Fena tersenyum.
            “Wah pasti orangnya cantik banget yah, Ma. Soalnya aku kan orangnya cantik banget.” ucap Selvie dengan percaya dirinya yang khas anak SD.
            “Super-super cantik lagi, Kak. Soalnya ada namaku juga.” timpal Margaretha yang tak mau kalah.
            Fena jadi tertawa di sela-sela kesedihannya tersebut. Di saat yang bersamaan, Selvie bangkit berdiri dari posisi duduknya di atas karpet. Ia beringsut ke Fena dan menatap wajahnya dengan penuh keseriusan. Dielus-elusnyalah rambutnya yang panjang sebahu.
            “Ma, kalau Mama mengijinkan, sebagai ganti Tante Selvie, gimana kalau aku jadi model saja nanti? Kayaknya jadi model asyik juga. Hanya jalan mondar-mandir saja, dapat duit dan bisa beli barang yang kita mau lagi.” seloroh Selvie.
            Fena agak terkikik mendengar selorohan anak sulungnya itu. “Boleh, kok. Mama senang banget lagi lihat anak Mama bisa ada di pagelaran busana seorang desainer terkenal.”
            “Terus desainernya itu aku yah, Kak? Aku kan jago bikin gambar pakaian.” Lagi-lagi Margaretha tak mau kalah dengan kakaknya itu.
            “Huh! Memang kamu bisa gambar apa? Setahu Kakak, kamu gambar gunung saja malah jadi kayak topi petani. Jangan-jangan gambar pakaianmu itu malah lebih mirip kayak baju orang-orangan sawah lagi?!” ledek Selvie jahil.
            “Hush, Selvie, kamu nggak boleh usil begitu sama adikmu.” tegur Fena menyentil telinga anak sulungnya itu; Selvie pun agak meringis. “Siapa tahu saja, kelak gambar-gambarnya Margaretha jadi semakin bagus dari sekarang. Lagian wajar dong gambar anak kelas 2 SD masih jelek. Gambar kamu dulu juga nggak kalah jeleknya sama dia.”
            “Tuh denger!” kata Margaretha menjulurkan lidahnya pada Selvie.

*****

            Sepuluh tahun kembali terlewati. Di salah satu bangku yang ada di teras rumahnya itu, mata Fena yang kulit di wajahnya mulai mengerut tampak berkaca-kaca saat melihat sebuah kaver majalah remaja. Model yang ada di kaver itu memang anaknya, Selvie yang tumbuh menjadi seorang remaja cantik. Namun sepertinya ada sesuatu yang memburamkan wajah anaknya itu, sehingga berubah menjadi wajah seorang gadis lolita yang dulu pernah ia kenal. Gadis lolita itu bernama Margaretha Selviana Rohie. Dia sahabatnya dari SD sejak SMA yang pernah sempat ia sewoti itu.
            Dengan lirihnya, seolah Ivy – nama panggilan sahabatnya itu – bisa mendengar suaranya dari alam sana, ia berkata, “Ivy, kini impianmu tercapai. Impianmu untuk jadi model tercapai lewat anak sulungku ini yang kuberikan nama yang sama denganmu. Lihat deh, wajah anak sulungku ini. Wajahnya itu secantik kamu, Vy. Nggak salah deh, aku memberikannya nama yang sama dengan namamu itu.”
            Saat ia mengatakan itu, mendadak tubuhnya seperti dipeluk seseorang. Sosok yang memeluknya itu berkata, “Terimakasih yah temanku yang pecicilan. Aku ikut senang anakmu jadi model juga seperti cita-citaku dulu.”
            Seketika itu juga, Fena merinding. Namun seketika itu juga, bulu romanya itu kembali tiarap. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut teras dan rupanya ia menemukan suaminya sedang tersenyum jahil padanya. Ternyata itu suara suaminya, Gerry yang juga sahabat dari sahabatnya yang sudah meninggal itu. 


Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~