Anak pertama aku sudah lahir Juni 2013 silam. Sayang masih berada di tangan bidannya. Entah kapan bisa dibawa keluar, lalu diperkenalkan ke publik. Aku masih menunggu. Begitu amat sangat menunggu. Sebab anak pertama aku itu memang luar biasa sulit pembuatannya. Butuh waktu empat tahun--yang harus melewati banyak revisi dan penolakan.
Sementara anak kedua aku, "Kamisama no Cempe Kanefe", lahir Juni tahun lalu. Tak terlalu istimewa sebetulnya. Pengerjaannya hanya butuh waktu dua bulan. Sedikit mengalami revisi dan penolakan. Dan, jujur, aku terlalu memaksakannya lahir. Kurang mengimpreskan orang banyak. Tapi si nomor dua sudah memberikan suatu kebanggaan buat aku sendiri. Akhirnya bisa merasakan jadi seorang author; bisa merasakan pula mempromosikan mati-matian walau--yah hasilnya--tak memenuhi ekspektasi. Di bawah malah.
Berikutnya, anak ketiga menyusul. Namanya "Ai Shin'yuu" . Cukup sering mengalami revisi. Tak ayal, isinya itu berbeda dari naskah awal. Sekitar 75% berubah total--yang menjadi lebih gemukan. Ditolak? Lebih sering lagi (tapi belum sesering si anak sulung). Si ketiga ini pun aku taruh di bawah pengasuhan bidan bernama Raditeens Publisher. Alasannya: aku masih tetap berusaha memberikan kepercayaan ke Raditeens. Walau tak terlalu sukses dalam mengangkat si nomor dua, aku masih tetap memberikan kepercayaan ke Raditeens dalam membuat si nomor ketiga (yang semoga saja) lebih dahsyat dari si nomor dua.
Selanjutnya, lahir pula anak keempat, "Destiny 41". 90% isinya berbeda dari naskah awal. Revisi dan penolakan yang lebih lagi. Sampai aku merasa muak dengan si nomor empat. Tapi setelah baca lagi isinya, aku seratus persen merasa puas. Sewaktu memosisikan diri sebagai pembaca, aku merasa si nomor empat sudah layak sebagai suatu bahan bacaan yang menghibur (mari ditandakutipi kata 'menghibur'). Pemilihan bidannya pun tak asal. Aku mengenal si bidan ini--Kalimaya Publishing--dari seorang teman blogger yang lumayan cukup akrab, +Glen Tripollo . Anak itu bekerja pula di Kalimaya, dan artwork-artwork buatannya sangat memesona hati. Kupikir, mungkin tak akan jadi sia-sia belaka jika si nomor empat dipercayakan ke Kalimaya. Semoga saja ekspektasi ini tak terlalu berlebihan.
Bicara soal si nomor empat, awal pembuatannya itu sekitar Desember 2012. Jujur saja, idenya dari sebuah anime berjudul Ranma 1/2. Awal pembuatannya dibuat dengan penuh perjuangan sekali. Kalian tahu, monitor notebook aku itu sempat pecah layarnya. Aku jadi harus mengetik dengan layar PC. Bisa kalian bayangkan betapa sakitnya leher saat mengetiknya. Awalnya pula, si nomor empat berjudul "Atlantis Destiny", yang langsung dikirim ke sebuah penerbit major yang harus berjuang ekstra ke sananya. Aku harus hujan-hujanan dan menunggu waktu sekian bulan hanya demi sebuah kata "tidak".
Namanya itu juga sebetulnya datang saat iseng bikin sekuelnya. Well, awalnya si nomor empat ini kembar. Tapi akhirnya batal. Karena kupikir, sepertinya jadi satu novel saja. Kurombaklah habis-habisan hingga menjadi seperti ini. Sempat pula si nomor empat ini pakai nama lain. Tapi akhirnya balik ke namanya yang sekarang. Nama itulah yang pantas.
Hmm...
Hei, si nomor empat (pula si nomor ketiga), semoga kamu tak seperti kakakmu, si nomor dua, Papa mohon jangan bernasib sama yah! Kamu itu penuh perjuangan sekali dalam hal pembuatan, pembidanan, sampai akhirnya keluar. Nyaris dua belas bulan buat kamu akhirnya lahir. Jadi, berikan Papa kebanggaan yang lebih yah!
Tertarik untuk membeli dan membacanya?
Yuk order novelnya. Silakan gabung di grup Facebook, Kalimaya Publishing. Atau hubungi Mbak Ana Sue di 08568022395. Mbak Ana itu salah satu kru Kalimaya. Jadi untuk cara pemesanan dan harga (yang mana aku belum diberitahukan), silakan tanya Mbak Ana Sue yah. He-he-he!
Cuplikan isi:
Lalu
Diaz pun mulai menceritakan mimpinya itu. Cukup detail. Nyaris tak
ada bagian yang disensor. Maria begitu antusias memperhatikannya. Dan
di akhir cerita, gadis itu tergelak.
“Katanya
nggak mau ketawa… gimana sih?” protes Diaz.
“Habis
mimpi kamu itu sih…” dalih Maria. “Aku nggak nyangka, kamu
segitunya…”
Diaz
meneguk air liur. Mukanya merah sekali sampai ia nyaris mau
dibenamkan saja ke jalan beraspal beton di luar. Ia berharap, ada
pengemudi truk ugal-ugalan yang mau melindas mukanya sampai tak
terbentuk lagi.
“Kamu
benar-benar memimpikan bisa menikah sama aku, yah?”
Diaz
mengertakan gigi. Ia bahkan tak berani menatap Maria.
Maria
terus memandangi wajah Diaz yang terbakar malu. Setelah itu, ia
memutar bola mata. Ia terpikirkan satu hal, detil yang cukup penting
– menurutnya. “Eh tapi, kok kamu bisa mimpiin Tiara juga sih?
Sampai mimpiin kamu lagi direbutin gitu? Kamu ada perasaan juga yah
ke Tiara?”
Tanpa
memandangi Maria, Diaz mnyembur, “Tadi kan aku bilang jangan ketawa
atau ngambek. Dan sekarang kamu mau langgar dua hal itu. Kamu udah
ketawa, dan sekarang mau ngambek?” Diaz berdecak-decak.
“Tapi
bagian itu nggak penting deh. Aku lebih suka bagian yang soal nikah
dan kata ‘sayang’ itu.” ujar Maria tersenyum manis sekali.
“Kamu tahu nggak? Ada yang bilang, mimpi itu hasil dari hasrat
terpendam.”
Diaz
tak mendebat. Ya
Tuhan, bejek-bejeklah aku.
Kesunyian
itu pecah, saat Innova itu baru saja melewati rest
area
Tangerang. Diaz mendadak tergelak.
“Maria,
Maria, aku baru kali ini lihat ada orang kayak kamu. Baru kali ini
ada yang polosnya kayak kamu. Kamu itu memang centil, tapi centil
polos.” Diaz kira hanya menggumamkannya dalam hati. Ternyata tanpa
sadar malah bersuara lumayan kencang. “Kamu itu memang kayak anak
kecil, itu yang bikin aku suka sama kamu.”
Maria
memerah mukanya. Tapi cukup syok mendengar perkataan spontan Diaz
tersebut. Mungkin Diaz terpengaruh oleh topik yang tengah dibawakan
oleh si Tina.
Maria
berbinar-binar memandangi Diaz. Ucapnya lirih: ”Diaz…”
Diaz
sontak tersadar dan segera meralat ucapannya, “Udah deh, lupain
kata-kataku itu, cuma becanda doang kok. Nggak mungkin aku bisa suka
sama cewek centil kayak kamu.”
***
Ngambeknya
Maria sungguh merepotkan keluarga Rohie.
“Maria,
makan, yuk,” ajak Ibu Tantri. “Kamu kan dari tadi belum makan,
dan sekarang juga sudah jam delapan malam. Yuk, makan – nanti
perutmu sakit.”
“Nanti
aja, Tante,” tolak Maria halus dengan tatapannya masih pada layar
notebook.
“Aku mau kerjain tugas dulu. Juga belum lapar, kok.”
Ibu
Tantri tak mudah percaya begitu saja. Ia beringsut ke arah Maria
berbaring sambil bermain dengan notebook-nya
itu. “Tugasnya di Youtube yah? Kok kartun?” sindir Ibu Tantri.
Wajah
Maria merah. Ia terburu-buru menutup browser-nya
dan mengambil posisi duduk sama seperti Ibu Tantri. “Tanteeee!!!
Kok ngelihat sih? Malu tahu.”
Ibu
Tantri terkikik. “Oya, Maria, kamu ribut lagi yah sama Diaz?”
selidik ibu Diaz yang jago memasak masakan Italia karena diajari oleh
ibu Maria yang memang kelahiran Lecce, Italia.
Maria
mengangguk lemah. “Diaz suka banget bikin aku kesal, Tante.”
desahnya.
Ibu
Tantri terkikik lagi. “Itu artinya dia memang suka, kan ada yang
bilang, ‘Dari benci jadi cinta.’” ucap Ibu Tantri melantur.
Maria
nyengir. “Tante bisa aja.”
Ibu
Tantri terkekeh. “Kalau lihat kamu tersenyum gitu, kamu udah nggak
ngambek lagi dong?”
Maria
hanya tersenyum.
“Makan
yuk, Mar. Nanti kamu sakit.”
“Aku
belum lapar tapi, Tante.”
“Tapi
kamu belum makan. Diaz cerita ke Tante, kamu juga belum makan sejak
siang.”
Gadis
itu mendengus. “Kalau Diaz khawatir sama aku, kenapa dia nggak
datang sendiri ke sini?”
“Diaz
kan pemalu, Sayang. Mungkin dia malu untuk menyatakan rasa sayangnya
ke kamu. Walau awalnya judes ke kamu, akhir-akhir ini Tante lihat ia
sebetulnya juga suka kamu. Tiap kamu ngambek, ia datang ke Tante
supaya bujuk kamu untuk nggak ngambek lagi.” Ibu Tanrti mungkin
hanya membela anak bungsunya itu.
Maria
tertegun. “Tapi kenapa kalau di depanku, dia dingin sih? Terutama
tadi sore waktu masih di jalan, sempat-sempatnya ia nyebut-nyebut
Serena.”
“Kan
Tante udah bilang tadi, Diaz pemalu.” ujar Ibu Tantri memegangi
kedua bahu Maria. “Plus mungkin ia lagi cuma menggoda kamu, Maria.
Cuma bercanda, nggak serius.”
“Pemalu,
tapi suka pasang tampang manis ke tiap cewek. Aku juga nggak yakin,
dia tadi cuma bercanda.” Maria coba menangkis fakta yang disodorkan
Ibu Tantri.
“Masa
sih? Kalau Tante lihat sih, Diaz itu anaknya suka ramah ke semua
orang, hanya saja orang lain – khususnya perempuan – suka salah
tafsir.” Ibu Tantri masih terus membela anak bungsunya itu. “Kamu
itu tuh, jangan terlalu sensitif gitu ah. Nggak baik.”
Maria
memutar bola mataya di tengah rangkulan Ibu Tantri.
“Oya,
Maria, kamu ingat, nggak, waktu awal-awal kamu tinggal di sini?”
pancing Ibu Tantri.
Maria
mengangguk pelan.
“Tepatnya
lagi, tiga hari sejak kamu datang.” lanjut Ibu Tantri. “Kamu
ingat, nggak, waktu pertama kali coba belajar masak sama Tante?”
“Nggak
akan pernah lupa, Tante.” Maria mulai angkat suara kembali. “Tante
kan lagi ngajarin masak soto ayam.”
“Terus
di akhir acara memasak kita, Diaz pulang dari kampusnya. Terus kamu
tawarin soto buatanmu ke Diaz yang pergi ke dapur buat makan siang.
Tapi sayangnya, Diaz malah dingin ke kamu, kan? Dia malah bilang,…”
Ibu Tantri sengaja tak meneruskan lagi kata-katanya, ia sedang
menggoda Maria saja.
“…’Siapa
sih lu? Sok kenal banget!’ “ Maria yang melanjutkan sisanya. “Aku
nggak bakal lupa, Tante”
“Terus
kamu lupa, nggak, kata-katamu waktu kamu curhat ke Tante di kamar
ini?”
Maria
hanya menjawab dengan kedua pipi memerah dan kepala tertunduk.
“Kamu
bilang: ’Kenapa sih Diaz cuek begitu? Jahat. Kasar. Nggak sensitif.
Nggak romantis.’ Terus kamu juga bilang: ‘Kenapa sih Diaz nggak
bisa seromantis cowok-cowok lain?’ Itu kan yang kamu bilang waktu
itu? Tante nggak bakal lupa, lho. Itu semua serasa baru kemarin saja
kejadiannya bagi Tante.”
Maria
tetap menunduk dan pipinya masih memerah.
“Dan
sekarang… Kalau menurut Tante, apa yang dilakukan Diaz selama ini,
itu semua sudah cukup romantis. Karena menurut Tante, romantis itu
adalah saat dimana pasangan kita suka melakukan hal-hal tak terduga
di luar dugaan dengan mengorbankan apa saja yang dia mau, dan itu
semua dilakukan demi kita – kebahagiaan kita. Dan dalam hal ini,
Diaz sudah banyak sekali melakukan aksi-aksi romantis. Salah satunya,
soal video dan tiket itu.”
Maria
tak menjawab. Hanya bergeming dan tetap menundukan kepala.
***
“Diaz,
bantuin aku,” Maria tergopoh-gopoh berlari-lari menyusuli Diaz yang
agak jauh. “Koper ini berat tahu.”
Suara
kencangnya itu jadi menarik perhatian para pengunjung bandara. Banyak
yang memperhatikan; dikiranya sedang ada proses pembuatan film drama.
Diaz jadi jengah. Dengan ogah-ogahan, ia kembali pada Maria,
tunangannya itu. Ia menggeram.
“Lagian
ngapain bawa banyak banget barang bawaan? Kita cuma liburan di sana,
bukan tinggal. Holiday,
not stay or live. Understand?”
protes Diaz merengus dahsyat. Beberapa kali ia mendengus.
“Kamu
kayak nggak tahu cewek aja. Yah cewek kan emang gitu, barang
bawaannya selalu lebih banyak dari cowok.” bela Maria sengit.
“Aku
punya banyak teman cewek dan suka travelling,
tapi nggak serempong kamu deh. Contohnya, si Velita itu.”
Maria
cemberut. “Apa sih? Kok jadi bawa-bawa dia? Mau CLBK yah?”
Diaz
nyengir. “Kalau iya, kenapa?”
Auw,
perut Diaz melilit. Bukan karena gejala sakit perut, tapi karena
cubitan Maria yang langsung bilang, “Rasain.”.
“Sakit,
Mar.” Cowok itu masih mengelus-elus perutnya. “Iya, iya, aku
bantuin – atau tepatnya, kita barter. Kamu bawain ranselku ini –
“ Ia menunjuki ransel warna merah tua campur coklat tua yang
digendongnya. “ – yang nggak seberat kopermu itu.” Tunjuknya
pada koper Maria ukuran besar warna ungu tua. “Mau nggak?”
Maria
memutar bola mata.
“Jangan
kelamaan mikir deh, pesawatnya sebentar lagi dateng.” desak Diaz
nyengir.
Gadis
itu tersenyum. “Ya udah deh, aku mau. Aku juga emoh seret-seret
koper yang beratnya ngalahin emasnya Monas itu.”
Diaz
terkekeh seraya melepaskan ranselnya – lalu menyerahkannya pada
Maria yang sudah melepaskan pegangan dari koper bermasalah tersebut.
“Emang kamu udah pernah megang?”
“Itu
cuman joke
doang, Diaaaaz…”
“Oh
joke yah?
Garing dong berarti, krik-krik-krik.”
Perut
Diaz melilit lagi. “Udah buruan jalan, ntar kita bisa nggak jadi
lagi ke Puerto Rico-nya.”
***
“Kalau
jalan tuh pake mata yah?” ucap Tiara sinis. Tidak seratus persen
sinis. Sinisnya hanya ke Maria, kok. Setengah bagian matanya malah
ceria sekali. “Eh Diaz, ketemu lagi,”
Tak
hanya Tiara, ada pula Fidel, Ester, dan Adel.
Diaz
nyengir kaku. “I-iya, ketemu lagi kita yah? Kalian semua lagi mau
pergi kemana?”
Maria
defensif sekali menjagai tunangannya tersebut. Ia mengambil
ancang-ancang seperti seseorang yang tengah bermain gobag sodor.
Tapi itu tetap tak menghalangi Tiara untuk beringsut lebih dekat pada
Diaz.
“Ke
hatimu, Diaz Sayang….” ujar Tiara mengulum senyum menjijikan. Ia
mencolek dagu Diaz.
“Ra,
jangan lebay.” Fidel dongkol. “Nggak ada dalam perjanjiannya kan,
adegan colek-colekan.”
Ester
juga ikutan menegang.
Hanya
Adel yang masih waras dengan jawaban, “Tiara ngajakin aku sama yang
lainnya buat pelesiran ke – “
“ – bawel
lu yah. Ya udah ikutan aja godain Diaz kalau keberatan.” semprot
Tiara.
Diaz
terkekeh, Maria sewot. “Apaan sih kalian semua ini? Dasar
kegatelan. Cowok itu kan banyak, tapi kenapa masih ngincer cowok
orang sih?”
Tiara
melepas kacamata hitamnya. Ia menatap sengit Maria. Semburnya:
“Suka-suka gue dong. Lagian gue sama Diaz tuh nyaris aja berpacaran
kalau lu nggak sok nyebarin gosip nggak enak soal gue. Ngapain sih
bilang ke semua orang di kampus, gue jalan bareng sama om-om?”
“Lagian
lu kan juga belum nikah sama Diaz. Itu artinya Diaz masih bisa
digoda-goda.” ujar Fidel nyengir.
“BEEEE-TUUUUL!!!”
Dasar tak kreatif. Lagi-lagi Ester hanya menimpali. Entah dia tengah
membenarkan kata-katanya siapa, Tiara atau Fidel.
Maria
jadi semakin meradang. Jemarinya siap mencakar-cakar wajah Fidel.
“Udah,
udah, nggak usah berantem. Yang berlalu, biarkan berlalu – Oke?”
kata Diaz mengondusifkan suasana. “Lagian waktu itu Maria hanya
salah paham, Ra. Dia nggak tahu – itu Papa lu. Kok masih
diingat-ingat aja sih? Lupain-lah.”
‘Tapi
gara-gara dia, nama baik gue sempat tercemar di kampus selama dua
bulan.” tukas Tiara.
“Emang
udah tercemar, kan?” ejek Maria. “Kamu kan sudah terkenal genit
sama suka cari muka ke dosen-dosen.”
Ester
dan Fidel ngakak. Hanya Adel yang terlihat anteng.
Tiara
menggeram. Kedua tangannya siap mencakar-cakar wajah Maria yang
nyaris tanpa jerawat atau komedo.
Cowok itu sekarang benar-benar kepayahan. Selain menyeret koper Maria
yang sungguh berat, ia juga harus menyeret Maria untuk menghindarkan
mereka berdua dari menjadi tontonan para pengunjung bandara; sudah
ada beberapa orang yang memperhatikan ia, pasangannya, dan ketiga
perempuan yang baru datang. “Udah dulu yah, Tiara. Kami pergi dulu,
pesawatnya juga baru datang.”
“Ya
udah, bareng aja lagi. Gue sama yang lain juga mau ke Puerto Rico
kok. Lu mau ke sana, kan?” ucap Tiara tersenyum – menyusul Diaz
segera.
“Kamu
kapan sih bisa jauh-jauh dari Diaz?” rengut Maria. “Dan please,
stop stalking
kehidupanku atau Diaz. Annoying
banget, tahu.”
ooh harganya belum di publish ya
ReplyDeleteBelum, bu. Mungkin minggu depan, yang sabar yah.
DeleteSelamat... semoga karyanya karyanya sukses.
ReplyDeleteJangan lupa Nuel penulis harus jadi marketernya juga biar banyak yang beli.
Yup, lagi belajar marketing juga sih, yang simple-simple aja. Hehe.
DeleteSelamat bg, saya satu aja pun belum..
ReplyDeleteCuplikannya lumayan panjang, kalo di sinetron mungkin udah satu episode..
Pendek kok itu. Cuma secuil dari novelnya yang 150an halaman. Hehe.
DeleteEh, beli dong!
gila, udah menghasilkan 4 karya #kasihjempol
ReplyDeleteMakasih.... :)
Deletehebat bro lo udah 4 biji menghasilkan
ReplyDeletekalo gue cerpen aja kadang writw block
Dilawan writer's Block nya. Hehe. Tapi Next Time gue bikin tipsnya deh cara atasi writer's Block.
Deletesugoi bang Nuel, anaknya udah empat. saya satu aja belum. semoga sehat, membanggakan dan mendapat asi eksklusif.
ReplyDeleteNah untuk asi eksklusif inilah, ane perlu fulus ni buat beli susunya, haha. *kedapkedip*
Deletesemoga sukses mas anak keempatnya ini, hehe
ReplyDeletesaya anak pertama aja belom lahir, susah mau bikin bunting, ditunda-tindu terus--"
Perbanyak makan toge kalau kata nenek gue sih, haha...
DeleteYa intinya dilawan aja rasa malas, oke?
Yang kebayang pas baca judulnya adalah bang nuel ngangkang dengan kaki di atas dan.... beranak.
ReplyDeleteHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHHA
#KampretBangetGue
Selamat ya bang
Anjir udah empat aja novel nya.
Gue akhir tahun ini baru mau debut -______-
#Lelet
#dalamsegalahal
#hahaha
Good luck for your 4th children!
Kenapa harus akhir tahun? Kalau bisa sekarang, kenapa nggak? Tapi terserah lu sih, hehe.
DeleteSelamat dan sukses terus bang, kayaknya revisi fiksi lebih beban ketimbang revisi skripsi ya?
ReplyDeleteNgiri euy, saya cuma baru konsul ini-itu sama chief-editor Mizan, tapi ngerjain novel kagak. Dan skripsi pun belum terselesaikan.
Wuih enaknya bisa ngobrol sama orang Mizan. Lumayan tuh, awal yang bagus kalau kamu ngajuin naskah ke sana. Sekiranya kamu kan udah kenal mau orang sana gimana. Hehe
Delete