Sore yang indah. Tak deras, tak
terik. Semilir menggelitik kuping. Begitu hari yang tepat untuk membawa hewan
peliharaan jalan-jalan. Tak ayal taman komplek begitu ramai sekali dengan
orang-orang dan hewan peliharaannya. Termasuk diriku.
Seperti biasa, tiap sabtu aku libur.
Kebanyakan pekerja di Indonesia memang mendapatkan hari libur di hari sabtu;
apalagi kantor tempatku bekerja merupakan perusahaan multinasional. Kebiasaanku
di sabtu pagi adalah membawa Smith, anjing jenis American Coccer Spanielle
berjalan-jalan pagi.
“Wah anjingnya lucu,” sahut seorang
pengunjung taman padaku. Seorang perempuan usia remaja. Dari sorotnya, kita
bisa tahu ia begitu gemas sekali dengan Smith. “Anjingnya jenis American Coccer
Spanielle yah?”
Aku berjengit.
“Ini anjingnya anjing Amerika, kan?”
Anggukan lagi.
“Wah berarti memberikan instruksinya
harus pakai bahasa Inggris, dong?!” kata remaja perempuan itu sembari
mengelus-elus Smith.
Kututup mulut dengan telapak untuk
berusaha tak menyinggungnya.
“Enggak juga, lagipula Smith juga
sudah lama tinggal di Indonesia. Smith ini sendiri juga orangtuanya juga sudah
lama di Indonesia. Orangtuanya itu peliharaan ayah saya dulu dan orangtuanya
sudah lama mati. Jadi, walau anjing Amerika, hati Smith tetap hati Indonesia.”
“Oh begitu,” ucapnya mendongak
padaku, dikarenakan ia masih sibuk mengelus-elus Smith.
“Oh iya, anda orang Jepang?”
Sudah kutebak, ia pasti akan
menanyakan pertanyaan itu. Ia pasti menduga seperti itu karena cara berbicara
dan parasku.
“Maaf, kalau rasis. Soalnya wajah
anda sangat Jepang, begitu pun logat anda.” Perempuan itu meminta maaf seraya
membungkukan sedikit tubuhnya.
“Tak apa, saya sudah biasa. Sudah
banyak kerabat yang bilang seperti itu.” jawabku tersenyum. “Dan saya ini
sebetulnya warga negara Indonesia. Ayah orang Jawa, ibu orang Bali.”
Lagi-lagi ia membulatkan bibir
lentiknya. Beberapa menit selanjutnya, dia pergi meninggalkanku berdua saja
bersama Smith.
Smith,
Smith. Aku menggosok-gosokan tanganku
pada bulu Smith yang sangat terawat.
Kamu itu anjing Amerika, tapi besar
di Indonesia. Ayah dan ibumu juga sudah lama tinggal di Indonesia. Tak usah
heran, tak satu pun instruksi berbahasa Inggris mampu kau tangkap. Aku jadi
ingat pengalaman tempo lalu. Kamu ingat, kan? Saat itu ada seorang bulai dari
Australia menyuruhmu duduk dengan bahasa Inggris. Bukannya duduk, kamu malah
berdiri sambil berusaha meraih tangannya untuk sekedar menjilat-jilat.
Tapi kamu beruntung, Smith. Kamu
beruntung. Jangankan dari perawakanmu, semenjak ayahmu dibeli dulu dari sebuah
toko hewan pun, kamu jelas anjing Amerika. Sungguh anjing Amerika yang besar di
Indonesia. Sedangkan aku – majikanmu? Sampai sekarang masih pusing soal
identitasku sendiri. Ayahku memang orang Jawa, ibuku orang Bali. Kedua-duanya
sama-sama berasal dari suku-suku yang hanya ditemukan di wilayah nusantara.
Yang jadi masalah, tampangku ini. Seperti orang Jepang. Cara bicaranya pun
sama. Kubertanya pada ayah maupun ibu, jawabannya sama. Aku sama sekali tak
memiliki darah Jepang. Kalau begitu, darimanakah asal unsur Jepang yang ada
dalam tubuhku ini? Ada asap, pasti ada api.
*****
Di teras rumah, kulihat eyang sedang
bercengkerama di atas kursi bambu. Di genggamannya, ada sebuah koran.
Sisi-sisinya tampak lecek. Pasti di dalamnya terdapat berita yang menyulut
emosinya. Matanya juga nanar.
“Eyang,” sapaku tersenyum.
Singkap itu disibaknya, sehingga
pandangannya menjadi wajahku yang oriental, walau tak ada darah oriental
sedikitpun.
“Eh Keni, bagaimana jalan-jalannya?”
“Yah begitu, deh, Yang. Oh iya,
memang ada berita heboh apa lagi di koran? Korannya sampai lecek begitu.”
“Ini,” Diletakannyalah koran itu ke
atas meja. “Eyang sebal dengan pernyataan walikota Osaka itu. Masakan ia bilang
sistem jugun ianfu pada masa perang
dunia kedua itu sengaja diterapkan untuk menjaga disiplin militer tentara
Nippon? Andai eyang putrimu masih hidup dan mendengarnya, sakit dan hancurlah
hatinya.”
Kupingku sekejap saja meninggi dari
ukuran aslinya. Mengapa almarhumah eyang putri harus sakit dan hancur hatinya?
Apakah eyang putri dulu…
“Maksud eyang?”
Eyang kakung sepertinya sadar ia
silap kata. Namun apa boleh buat. Nasi lagi-lagi sudah menjelma jadi bubur.
Dilambaikannya lengannya untuk mengajakku duduk di kursi samping dirinya yang
memang tak bertuan.
“Duduklah,” ujar Eyang. “Sepertinya
sudah seyogyanya kamu tahu apa fakta sesungguhnya soal identitasmu. Pasti kamu
bingung, kan, kenapa wajah dan logatmu mirip orang Jepang?”
Aku mengangguk seraya bergerak untuk
duduk di sampingnya.
“Seperti yang kamu sudah pernah
dengar, eyang kakung dan eyang putri sudah dijodohkan semenjak kami berdua
masih duduk di sekolah rakyat. Puncaknya, saat remaja, pas sama-sama berusia
tujuh belas tahun, pernikahan akan dilangsungkan. Eyang putrimu saat itu juga sedang
dipingit. Hanya saja, datanglah sebuah kejadian naas. Ayah dari eyang putrimu ittu
cukup berpengaruh. Karena jika ia tak punya pengaruh sama sekali, tak mungkin
ia berani datang ke rumah buyutmu itu dengan membawa beberapa puluh tentara
Nippon. Walaupun sebab pastinya itu, buyutmu
tak bisa membayar hutang, dan eyang putrimu lalu ditangkap sebagai gantinya.
Menurut desas-desus yang Eyang dengar, ia hendak dibawa ke barak-barak tentara
Nippon yang ada dimana-mana untuk dijadikan jugun
ianfu. Eyang langsung panas, terutama saat tahu apa itu jugun ianfu. Itu adalah perempuan
penghibur, wanita tuna susila. Kamu pasti juga kesal, kan, saat tahu wanita
yang kamu kasihi dirampas orang untuk dijadikan perempuan nakal?”
Aku
mengangguk seraya menjaga pikiran tetap fokus pada ceritanya.
“Tapi apa mau dikata, Eyang tak tahu
menahu kemanakah eyang putrimu dibawa. Apalagi barak tentara Nippon ada banyak.
Di kota ini ada, di kota itu juga ada. Dan bisa jadi juga dibawa ke luar
negeri. Jadi Eyang hanya bisa geram dan berharap bisa dipertemukan kembali
dengan Eyang putrimu. Soalnya Eyang merasa ada sebuah tautan antara Eyang
dengan eyang putrimu itu. Itulah sebabnya, saat ayah Eyang mengenalkan seorang
wanita, Eyang tolak dengan alasan akan tetap mencari keberadaan eyang putrimu.
Meskipun butuh waktu lima belas tahun, tetap Eyang tunggu. Mungkin karena cinta
sejatilah yang membuat Eyang bisa menerima eyang putrimu dan seorang anak
laki-laki yang ternyata anaknya. Itulah ayahmu, Ken.”
“Jadi…” Air liurku sempat mengering
saat mengucapkannya. Di benakku, aku sudah menangkap bahwa anak laki-laki pasti
hasil dari hubungan eyang putri dengan tentara Jepang. Tak bisa dipungkiri,
mungkin jua itu hasil gangbang.
“Memang
benar yang ada di pikiranmu,” Sepertinya Eyang bisa menebak jalan pikiranku.
“Ayahmu, Kenji itu memang ada turunan Jepangnya. Eyang putrimu pernah
mencurahkan isi hatinya bahwa ia dipaksa melayani sejumlah tentara Jepang
pagi-siang-malam, satu tentara maupun beramai-ramai. Karena itulah, eyang
putrimu kebingungan siapa ayah biologisnya. Dan untuk menutupi sejarah kelam
tersebut, di akte sengaja tertulis ayahnya itu Eyang. Kami berdua sepakat
merahasiakannya. Apalagi eyang putrimu itu selalu meraung-raung tiap kali harus
mengingat peristiwa pahit itu.”
“Eyangmu ini ,” Ia menunjuk-nunjuki
dadanya. “saking cintanya, menerima apa adanya kondisi eyang putrimu itu. Kalau
tak cinta, buat apa Eyang menunggu sekian lama sampai bertengkar dengan buyutmu
gara-gara status barus eyang putrimu yang kata orang hina-dina? Karena tak
kunjung mendapatkan restu, Eyang terpaksa mengambil jalan kawin lari. Kami
berdua menikah di Bandung yang bermil-mil jauhnya dari Yogyakarta – tanpa
restu.”
Aku terpekur. Tak kusangka. Kukira
selama ini, orangtuaku berkata jujur. Kusangka eyang kakung dan eyang putri
berkata benar. Mereka selalu berkata, tak memiliki darah Jepang. Nama ayah yang
berbau Jepang itu ternyata bukan akronim dari Kendari darimana dia dilahirkan
(Kendari itu dikatakan sebagai kota kelahiran ayah). Ternyata nama itu memang sungguh berbau
Jepang. Menurut Eyang, Kenji itu merupakan nama pemimpin tentara Jepang yang
waktu itu datang ke rumah Eyang putri. Meskipun getir, Eyang putri tetap
memberikan nama berbau Jepang untuk ayah: (Raden) Kenji Aoyama (Susilo
Khrisnaputera). Diberi nama seperti itu, berharap bisa bertemu dengan pimpinan
tersebut atau minimal keturunannya, di saat ayah tumbuh dewasa dan menjadi
tenar. Mungkin sekedar pembuktian pada pelakunya atau mungkin juga sekedar
aksi-aksian saja. Namun entahlah, Eyang sampai sekarang tak dapat alasan sesungguhnya
terkait nama berbau Jepang itu.
Aku sendiri tak mempermasalahkan
soal nama ayah itu. Aku malah lebih memikirkan soal asal-usulku yang baru saja
kuketahui. Ternyata aku ini orang Jepang juga. Pantas saja, semasa SMA dulu,
aku begitu mudahnya belajar bahasa Jepang; kuliah pun mengambil jurusan Sastra
Jepang. Aku baru sadar….
…watashi
mo nihon jin desu…
Miris banget... Kasian eyang putri... :'(
ReplyDeleteDan hebat banget ya eyang kakungnya.... Cintanya kepada eyang putri benar-benar cinta sejati....