“Inaaa…” Marina mendengar suara
keras papanya yang memanggilnya. Marina sendiri tengah berada di kamarnya. Ia
sedang asyik membaca buku ceritera. “Iyaaa, Pa. Ada apa sih Pa?” sahutnya
dengan suara keras pula.
“Sini nak. Tolong bantu papa dulu.”
balas Pak Edo, papanya Marina.
Dengan mendumel dan langkah gontai,
Marina berjalan keluar kamar dan berusaha mencari arah suara papanya tersebut.
Setelah kurang lebih sepuluh menit, Marina akhirnya berhasil mendapatkan
keberadaan suara papanya itu. Rupanya papanya berada di teras dan tengah
memperbaiki mobil Kijang kebanggaan keluarganya itu.
“Pa, ada apa sih manggil-manggil?
Kan aku lagi sibuk ngerjain PR.” Marina memasang tampang memelas.
“Halah. Palingan kamu lagi baca
novel atau main PS. Ya kan?” sindir Pak Edo. “Udah. Tolong bantu papa dulu.
Lagian cuman bentaran ini kok.”
“Pa, aku kan nggak bisa perbaikin
mobil.”
“Yang bilang suruh perbaikin siapa?
Papa cuman mau minta tolong kamu ambilin kotak peralatan tukang di gudang kok.”
sahut Pak Edo. “Lagian papa juga tahu kok kamu masih belum ngerti soal
otomotif. “
“Di gudang yang itu?” tanya Marina
dengan mimik ragu.
“Iya, yang di lantai dua. Yang di
sebelah Kamar Kalista.” Pak Edo meyakinkan. “Kita juga hanya punya satu gudang
aja, Ina,”
“Tapi?” Terlihat ekspresi ketakutan
di wajah Marina.
“Tapi apa? Buruan sana ambil. Papa
perlu banget.” ucap Pak Edo dengan tegas dan tampang galak. Sehingga mau tak
mau, Marina beranjak menuju gudang di sebelah kamar Kalista yang menurutnya
angker. Sampai sekarang Marina tidak tahu siapakah itu Kalista tersebut. Karena
yang jelas, Marina hanya tahu ruangan itu bernama Kamar Kalista dari papan nama
yang tertempel di pintunya. Pernah Marina bertanya kepada papa atau mamanya
perihal Kamar Kalista tersebut. Tapi entah kenapa, papa dan mamanya selalu
berusaha mengelak. Kedua orangtuanya sepertinya enggan menceritakan kepada
Marina hal yang sebenarnya. Dan hanya kepada mereka sajalah, Marina bisa
bertanya. Sebabnya, mau bertanya ke Mbok Hapsari, pembantunya, pastilah dia tak
tahu menahu. Yah wajar. Mbok Hapsari baru bekerja di rumahnya sejak dua tahun
lalu dan Kamar Kalista sudah ada jauh sebelum Mbok Hapsari datang. Mungkin
ketika Marina lahir pun, Kamar Kalista sudah ada.
Marina pun terpaksa menuruti
permintaan papanya itu. Karena papanya itu luar biasa kalau lagi marah dan
susah dibantah. Dengan langkah berat, Marina berjalan menuju gudang tersebut.
Ia terus berjalan hingga menaiki tangga dan berjalan kembali menuju gudang itu.
Gudang itu sendiri berada paling ujung di lantai kedua rumahnya dan itu persis
bersebelahan dengan Kamar Kalista yang menurutnya angker itu. Sehingga apabila
dia mau ke gudang itu, otomatis dia harus melewati kamar tersebut.
Dengan
mulut komat-kamit karena khusyuk berdoa, Marina berusaha menahan rasa takutnya
tersebut. Di saat rasa takutnya sudah mulai berkurang, tiba-tiba muncul suara
dari arah Kamar Kalista. Suara itu berbunyi: “Aku lapar. Lapar. Lapar. Lapar.”
dengan suara seperti suara orang nyaris tewas di gurun pasir. Sontak Marina langsung menjerit ketakutan.
Namun suara itu malah balas teriak bagaikan sebuah gaung di pegunungan. Itulah
yang menyebabkan Marina ketakutan dan lari terbirit-birit menuju papanya lagi.
“Ada
apa kamu teriak-teriak begitu?” tanya Pak Edo keheranan.
“Anu,
Pa,” Marina menjawab dengan penuh ketakutan. “A-a-aku t-t-t-takut Pa. Ta-tadi
waktu lewatin kamar itu, tiba-tiba ada suara gitu. Kayak suara hantu, Pa.”
“Ah kamu ini. Dari dulu selalu
begitu. Papa sama mamamu kan udah berkali-kali bilang kalau kamar itu kosong.
Nggak ada apa-apa kok.” Pak Edo berusaha membuatnya lebih berani. “Lagian
sekarang kan masih jam empat sore. Apa yang kamu takutkan?”
“Nggak ah. Aku nggak mau kesana
lagi.” kata Marina dengan paniknya.
“Udah. Ayo papa temenin ke sana.”
Pak Edo memasang sorot mata yang begitu tajam. “Kamu ini ada-ada saja. Bikin
papa repot aja.” Lalu papanya mengajak Marina kembali ke gudang tersebut.
Marina pun berjalan mengikuti papanya itu. Anehnya saat papanya kembali ke sana
bersamanya, suara aneh itu tak terdengar.
“Tuh mana? Nggak ada apa-apa kan?”
ucap Pak Edo sambil membuka pintu gudang tersebut. “Udah kamu tunggu di sini
aja dulu.”
Marina pun menurut. Ia menunggu
tepat di depan pintu gudang sambil berusaha berdoa agar tak bertemu hal-hal
aneh lagi dari arah Kamar Kalista. Sementara papanya kemudian menyalakan lampu
gudang dan berusaha mencari apa yang beliau butuhkan. Bunyi kerontang-kerosak
pun mulai terdengar dan bebunyian tersebut membuat Marina panik. Papanya pun
balik menyemangatinya lagi. “Ini papa, Ina. Gak usah takut.” sahut Pak Edo dari
dalam gudang. Akhirnya setelah kurang lima belas menit pencarian, papanya
keluar membawa sekotak penuh alat-alat pertukangan.
“Aduh, kamu ini Ina. Kok jadi penakut
begitu? Padahal udah kelas enam juga.” goda Pak Edo sambil geleng-geleng kepala
dan mengacak-acak rambutnya Marina.
Namun
Marina hanya diam saja dan berkata singkat, “Ayo, Pa, kita buru-buru pergi dari
sini.”
Pak
Edo tak menggubrisnya lagi dan segera membawa Marina menjauh dari sana. Sambil
berjalan menjauh, Papanya menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum nakal.
Marina hanya cemberut.
“Pa,
itu sebetulnya kamar siapa?” tanya Marina.
“Kan
papa udah pernah bilang, itu kamar kosong biasa. Tapi dulunya kamar tamu.”
jawab Pak Edo.
“Papa bohong! Kan kamar tamu adanya
di bawah terus. Lagian kalau emang kamar tamu, kenapa ada tulisan Kamar
Kalista?” ucap Marina penuh selidik. “Kalista itu siapa lagi?”
“Itu…” Papanya terlihat ragu-ragu
setelah diajukan pertanyaan seperti itu. Dalam hatinya, papanya berujar, Mungkin memang sudah saatnya Marina tahu
yang sebenarnya. Tokh dia sudah berusia sebelas tahun.
“Pa. Kok papa bengong?” Marina
semakin tambah penasaran. “Memangnya ada apa sih dengan kamar tersebut? Dan
siapa pula Kalista itu, Pa?”
“Hmm…” Pak Edo mulai ragu untuk
menjelaskannya. “Kamu beneran pengin tahu tentang Kamar Kalista?”
“Ya iyalah Pa.” Marina dengan mantap
ingin mendengar penjelasan dari papanya terkait Kamar Kalista. “Apalagi tiap
kali aku melewati kamar ini buat ke gudang, aku selalu dengar suara-suara aneh.
Dan aku yakin, Pa, itu bukan suara dari tikus atau cicak.”
“Ya udah, ntar malam aja Papa
jelasin yah.” kata Pak Edo sambil tersenyum walau wajahnya comel penuh
sisa-sisa oli sehabis memperbaiki mobil.
“Beneran nih Pa?”
“Iya, papa serius. Udah kamu ke
kamar kamu aja lagi. Biarin Papa nerusin pekerjaan papa dulu yah.” ujar Pak Edo,
yang selanjutnya kembali sibuk mengutak-atik mobil Kijang berwarna biru tua
itu.
Malamnya, pada saat Marina dan
adiknya Noel sedang menikmati acara televisi, papa dan mamanya menghampiri
mereka berdua.
“Ina, Noel,” panggil Pak Edo.
“Iya, Pa,” serentak Marina dan Noel
bersahut bersama-sama.
“Papa sama mama kamu akhirnya setuju
untuk menceritakan ke kalian soal Kamar Kalista. Mamamu juga sepaham kalau
memang sudah saatnya kalian tahu.” kata Pak Edo sambil menoleh ke arah mama
yang berada di arah kirinya itu, khususnya pada saat beliau mengucapkan kata
‘mama’.
“Iya, itu benar. Apalagi kalian juga
sudah cukup usia untuk tahu yang sebenarnya. Marina udah kelas enam dan bentar
lagi masuk SMP. Sedangkan Noel kelas empat, mau naik kelas lima sebentar lagi
kan.” sambung Bu Lita.
“Dan sekarang memang sudah saatnya
kalian harus tahu. Yah daripada nanti kalian cari tahu sendiri dan malah menganggap
papa-mama sebagai pembohong.” ucap Pak
Edo lagi. “Jadi papa-mama sepakat bahwa sekaranglah waktunya.” Lalu Pak Edo
mengeluarkan sesuatu dari kantong kanan celananya. Rupanya itu sebuah kunci
pintu. Di gantungan kuncinya terdapat tulisan ‘Kamar Kalista’. “Ini kunci
kamarnya. Langsung saja kita ke sana.”
“Kalian nggak usah takut yah? Kita
perginya bareng-bareng. Berlima. Sama Mbok Hapsari juga.” ujar Bu Lita. Lalu Bu
Lita memanggil Mbok Hapsari dan tak lama kemudian Mbok Hapsari datang
menghampiri.
“Iya Pa, Ma,” respon Marina.
“Aku juga nggak takut kok.” Noel
begitu optimis menjawabnya.
Segeralah Marina, Noel, kedua orangtuanya, dan
juga Mbok Hapsari bergerak menuju Kamar Kalista yang selama ini begitu
misterius di mata Marina, adiknya, dan mungkin Mbok Hapsari yang baru bekerja
selama dua tahun di rumah mereka. Tak lupa mereka juga membawa senter dan
beberapa lampu petromaks . Yah karena Kamar Kalista sudah lama tak terurus
untuk waktu yang cukup lama. Saat itu pula, jam telah menunjukan pukul 20.00
WIB. Alias sudah jam delapan malam. Waktu yang memang cukup membuat bulu kuduk
merinding. Itulah kenapa Marina dan Noel terus memeluk tubuh mamanya hingga
mereka tiba di depan Kamar Kalista.
“Ina,
Noel, dan mungkin juga Mbok Hapsari. Mungkin ada baiknya papa jelasin dulu ke
kalian semua sebelum kita masuk ke kamar ini.” Pak Edo memegang dagunya. “Jadi
ini sebetulnya memang kamarnya Kalista. Kalista itu sendiri sebetulnya adalah
kakak kalian berdua.” Mata papanya mulai berlinang air mata. Beliau mulai
berusaha menahan agar tak menangis. Sebaliknya mamanya malah sudah menangis
sesenggukan.
“Jadi kami berdua punya kakak? Kok
Ina nggak tahu sama sekali?” tanya Marina penasaran.
“Sama, aku juga kok baru tahu,”
timpal Noel.
“Yah wajar. Kakakmu, Kalista sudah
lama meninggal. Dia meninggal waktu masih kelas 3 SD. Waktu itu usianya delapan
tahun dan kamu masih berusia dua tahun, Na. Sedangkan Noel masih ada dalam
perut mamamu.” Pak Edo menelan ludah. “Kalista meninggal karena kecelakaan
waktu dia ikut study tour sama
teman-teman sekolahnya ke Bandung selama kurang lebih seminggu. Sepulang dari
Bandung, bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. Busnya menabrak pagar
pembatas dan jatuh. Saat itu polisi menduga sopir yang mengendarainya itu lagi
ngantuk. Apalagi waktu itu mereka pulang sekitar jam tiga sore.”
Bu Lita mulai menangis. Air matanya
membasahi mukanya.
“Tadinya papa juga marah-marah
dengan pihak sekolah kakakmu itu. Saking kesalnya, kamu tak papa daftarkan di
sekolah tersebut, walau banyak yang bilang sekolah tersebut merupakan SD
terbaik di kota ini. Mamamu sendiri juga sempat syok dan kejiwaannya terganggu.
Padahal mamamu baru saja habis melahirkan. Melahirkan kamu, Noel.” Pak Edo
terdiam sejenak dan memegang dahinya. Beliau mulai menangis sesenggukan.
“Pa?” tanya Marina.
Papanya mulai menceritakan kembali
kisah lama yang sungguh memilukan tersebut. “Karena itulah, mamamu sempat
bolak-balik ke psikiater sebulan setelah kematian kakakmu itu. Dan karena
melihat kondisi mamamu yang cukup parah setelah Kalista meninggal, papa
memutuskan kalau kamarnya itu dikunci saja selamanya. Mamamu pun juga setuju.
Apalagi lebih baik memang jika kamarnya itu nggak usah dimasuki lagi. Biarlah
kamarnya itu juga beristirahat selamanya, sama seperti Kalista.”
“Tapi kenapa papa sama mama selalu
menolak menjelaskannya tiap kali aku nanya soal kamar ini?” desak Marina.
“Itu karena…” Pak Edo menangis
sesenggukan. “Tiap kali papa sama mamamu ingat Kalista lagi, kami jadi bersedih
lagi. Mata mamamu sempat berkaca-kaca waktu papa sempat melihat ke arahnya.
Maaf yah, Ina, Noel, papa sama mama kalian ini baru bisa cerita sekarang.
Itulah juga kenapa papa sama mama jarang sekali naik ke lantai dua. Maafkan
papa juga yah, Na. Soalnya papa sering memintamu naik ke lantai dua. Sepertinya
baik papa maupun memang belum siap menerima kepergian kakakmu, si Kalista itu.
Apalagi Kalista termasuk anak yang periang, selain tentunya cerdas. Dia selalu
langganan tiga besar, lho.”
Tangis mamanya mulai semakin
kencang. Untung ada Mbok Hapsari yang langsung sigap menghibur Bu Lita,
majikannya tersebut. Kepala Bu Lita langsung diletakannya di pundaknya dan Mbok
Hapsari pun mengelus-ngelus rambut majikannya itu. Dia berusaha membuat
majikannya tersebut berhenti menangis. “Sudah, Bu, nggak usah menangis lagi.
Tokh Mbak Kalista juga sudah lama tenang di sana.” hibur Mbok Hapsari.
Papanya yang dari tadi berusaha
menahan tangis, akhirnya meledak juga dalam tangis. Sedangkan baik Marina dan
juga Noel hanya berkaca-kaca saja matanya. Suasana saat itupun perlahan jadi
seperti suasana di tempat perkabungan. Tak hanya papa dan mamanya saja yang
menangis, namun Mbok Hapsari pun juga ikut-ikutan menangis. Begitupun dengan
Marina dan Noel. Pada saat itulah, mulai terdengar suara rintihan dari arah
Kamar Kalista. Suara yang tadi sore didengar Marina pun kembali terdengar. “Aku
lapar. Lapar. Lapar. Lapar.” Begitulah bunyi suaranya. Seketika itu juga mereka
berlima menghentikan suara tangisan mereka.
“Pa, dengar sendiri kan suaranya?
Itu lho suara yang kudengar tadi sore.” ucap Marina dengan penuh ketakutan.
“Iya, Pa. Aku juga sering dengar kok
tiap kali naik ke lantai dua. Kadang juga suka dengar suara tukang roti, anak
lagi baca puisi, atau suara penyiar berita.” Noel menimpali.
“Iya, iya. Kali ini papa percaya.”
kata Pak Edo. “Maaf yah papa meragukan kalian.”
“Suara apa itu, Pa? Jangan-jangan
Kalista?” kelakar Bu Lita.
“Hush, mama. Ada-ada saja. Lagipula
Kalista kan pasti sudah tenang di alam sana.” Pak Edo berusaha menenangkan
isterinya itu. “Udah, biar papa buka dulu yah pintunya.” Lalu Pak Edo beringsut
ke arah pintunya. Beliau memasukan kunci ke lubang kunci tersebut dan mulai
membuka kuncinya. Kemudian gagang kuncinya pun ditekan ke bawah dan pintunya
didorong ke arah belakang. Maka Kamar Kalista pun terbuka lebar. Beruntung ruangan
di luarnya cukup terang dan mereka berlima juga membawa empat buah lampu
petromaks. Sehingga ada sedikit cahaya yang menerangi Kamar Kalista. Suasananya
pun jadi tak terlalu gelap, meskipun masih redup pencahayaannya.
Pak
Edo mulai bergerak masuk. Senter yang di bawahnya mulai digerakan ke sana
kemari berusaha mencari asal suaranya, hingga akhirnya sinar senter tersebut
mengarah ke sebuah benda. Sepertinya benda tersebut merupakan alat perekam
suara. Pak Edo – diikuti isteri, dua anak, dan pembantunya – berjalan menuju
tempat perekam tersebut berada, yaitu meja belajarnya Kalista yang berwarna
merah jambu. Nyaris tak ada yang berubah juga dari Kamar Kalista, selain debu
yang banyak menempel di tiap barang yang ada di dalam kamar tersebut.
“Pa,
lihat.” sahut Noel. “Kok perekamnya nyala gitu sih?” Suaranya Noel mulai
bergetar, saking gemetarnya.
“Iya,
Papa tahu.” respon Pak Edo kebingungan. Pak Edo langsung menyentuh alat perekam
tersebut. Terlebih dahulu Pak Edo mematikan dulu alat perekamnya. Ia lalu
menekan tombol rewind-nya, yang
dilanjutkan dengan menekan tombol play.
Mulai terdengar berbagai macam jenis suara. Ada suara orang sekarat di gurun
pasir seperti yang didengar Marina, ada juga suara tukang roti, penyiar berita,
dan suara anak perempuan baca puisi yang rupanya merupakan suaranya Kalista.
Setelah beberapa suara, Pak Edo mematikan alat tersebut.
“Selain
periang dan pintar, Kalista juga anaknya iseng juga. Ia dulu suka sekali
merekam apa saja suara. Termasuk suara dirinya sendiri. Yah bisa dibilanglah
alat perekam suara ini merupakan mainan favoritnya Kalista.” Di tengah suasana
yang semakin mencekam ini, masih sempat-sempatnya Pak Edo menceritakan ke kedua
anaknya itu seputar Kalista.
“Tapi Pa? Kenapa alatnya menyala?
Bukannya aneh yah kalau alat perekamnya menyala, padahal kamarnya Kak Kalista
selalu terkunci? Nggak mungkin kan alat perekamnya nyala terus selama sembilan
tahun.” selidik Marina.
“Benar juga kata-katanya Marina,
Pak.” Mbok Hapsari mengiyakan. Pak Edo menganggukan kepalanya sebagai tanda
setuju.
“Apa yang mama bilang kan?
Jangan-jangan itu Kalista, Pa?” Bu Lita mulai berkelakar kembali.
Namun kali ini, baik Pak Edo,
Marina, Noel, maupun Mbak Hapsari tak berani mendebatnya. Digubris pun tidak.
Mereka berempat malah diam seribu bahasa. Seketika itu juga, Bu Lita berteriak
histeris. Ia mulai panik. Kepanikannya Bu Lita pun mewabah juga ke suami, anak,
dan pembantunya. Pak Edo, Marina, Noel, dan Mbok Hapsari jadi memasang ekspresi
ketakutan.
“Pa, Ma, aku mau keluar aja deh dari
sini.” Noel merinding ketakutan.
“Iya, Pa. Aku juga deh.” Marina
menimpali.
“Pa, itu tadi Kalista kan?” Bu Lita
bertanya dengan hebohnya. “Kalista, Kalista, kamu dimana nak? Ini mama, nak!”
Bu Lita berteriak histeris dan berusaha memanggil-manggil Kalista.
“Ma, tenang, Ma. Tenang.” Pak Edo
berusaha menenangkan isterinya itu. “Lagipula kan Kalista sudah lama meninggal.
Dia pasti sudah bahagia di alam sana.”
“Tapi mama yakin dia ada di sini.
Dia masih ada di sini, Pa,” ujar Bu Lita sambil menangis histeris. Entah kenapa
juga setelah mamanya Marina berkata seperti itu, dia diam sejenak dan kemudian
pingsan. Bersyukurlah, Mbok Hapsari langsung sigap menangkap tubuh dari
majikannya tersebut.
*****
Keesokan harinya, Pak Edo memilih
mengambil cuti dari kantornya. Ia sengaja tak masuk kantor karena dua alasan.
Alasan pertama, karena kondisi kejiwaan isterinya. Sedangkan alasan kedua
ialah, Pak Edo ingin memeriksa sekaligus membenahi Kamar Kalista. Kamar Kalista
benar-benar di-make over. Dindingnya
dicat dengan warna lebih cerah, yaitu warna kuning bunga matahari. Lampu
kamarnya juga diganti setelah sekian lama selalu dalam keadaan mati. Susunan
benda-benda di dalamnya juga diubah. Walaupun begitu, Kamar Kalista tetaplah
Kamar Kalista. Kamar tersebut tetaplah angker, bahkan hingga Marina telah
beranjak menjadi remaja SMA. Sehingga tiap kali orang-orangnya di rumahnya
Marina berencana ke gudang lagi, mereka harus bersiap mendengarkan suara-suara
aneh lagi dan memaksa mereka harus berdoa saat melewatinya.
Oh yah, berbicara mengenai kaset di
alat perekam tersebut, Pak Edo dan anak-anak serta isterinya dikejutkan oleh
suatu hal. Rupanya side B dari kaset tersebut berisi suara-suaranya Marina,
Noel, Pak Edo, Bu Lita, dan bahkan suaranya Mbok Hapsari juga terekam di kaset
tersebut. Mereka semua benar-benar bingung sekaligus ketakutan. Oleh karena
itulah, kaset tersebut disimpan terpisah dengan alat perekamnya di dalam lemari
pakaiannya Pak Edo. Hingga Marina dan Noel telah beranjak dewasa, Kamar
Kalista, kaset, dan alat perekam itu tetaplah menjadi sebuah misteri yang tak
akan pernah bisa terpecahkan.
PS: Cerpen horor ini telah lolos seleksi dalam kontes antologi "Pencinta Misteri" yang diadakan oleh Mbak Anung D'Lizta. Kurang tahu juga soal buku antologinya itu;.tapi berusaha masa bodoh saja. Hehe. Anyway, kalau ada yang menemukan buku antologi dengan naskah cerpen ini ada di dalamnya, harap dikabari yah. Hehehe. ^^
Oya, terkait cerpen ini, aku juga baru saja mengalami kejadian horor yang agak-agak mirip dengan cerpen ini. Dan jangan minta aku cerita yah, malas ingatnya lagi. >_<
Oya, terkait cerpen ini, aku juga baru saja mengalami kejadian horor yang agak-agak mirip dengan cerpen ini. Dan jangan minta aku cerita yah, malas ingatnya lagi. >_<
wah cerita horornya tanpa penampakan atau gangguan dari Kalista
ReplyDeletehell yeah, tapi cerita horor tanpa penampakan memang lebih serem daripada cerita horor yang banyak penampakan hantunya...
mungkin Kalista mau berkomunkasi dengan ortu dan adik2nya
Widih serem juga nuel ceritanya, jd inget rumah kel.besar saya di bndg tuh rada serem juga, suka ada penampakan tpi wajahnya menyerui orang rumah sendiri. Asik jd punya ide nulis cerita horor nih Nuel. Thanks ya Nuel.
ReplyDeleteNuel knp gak tanya langsung kabar bukunya sama D'Lista yg di komunitas Blogger hibah sejuta buku dan group Aku anak rantau itu kan ?
Oya Nuel, itu no.11 urutan setelah km judulnya sama tapi pengarangnya Ragil Kuning, kok bisa ?
Deleteiyah Nuel, baiknya tanyakan langsung ke mbak anung d'lizta
ReplyDeleteada beberapa kalimat/kata yg salah tulis tuh nuel. salah satunya ini >>> Pernah Kalista bertanya kepada papa atau mamanya perihal Kamar Kalista tersebut.
ReplyDeletetrus aku jg krg paham dengan penggunaan kata berkelakar yg km pake disitu. berkelakar bukannya semacam becanda ya?
nice info :D
ReplyDelete@ Yen:
ReplyDeleteMakasih ralatnya. Hehehe. Baru sadar, ada typo. Kadang pas ngedit, ada juga typo yang suka kelewat dari pandangan mata. :D
Eh kelakar artinya juga bisa menghayal atau mengigau lho....
@ Teguh:
ReplyDeleteUdah dicek lagi, dan emang sudah dibukuin, walau belum lihat kavernya.. Tapi ya sudahlah, ikhlasin aja.. Yang penting namanya dikenal dulu di dunia kepenulisan... Hehehe...
@ Bu Marchia:
ReplyDeleteItu masih proses seleksinya, sepertinya salah nge-capture. --'
Melihat dua komentar awal, kayaknya sukses nih bikin cerita horor.... Hahaha
ReplyDeleteBikin merinding :-( Terus berkarya, tulisan nya bagus dan alur nya enak buat di baca
ReplyDeletejadi yang bikin rekamannya siapa?
ReplyDelete