Pak
Tasman
“Hah? Itu anak
bapak?” tanya seorang pengunjung rumah makan – yang berambut botak – sambil menyipitkan matanya dan
menunjuk-nunjuki televisi ukuran 14 inch tersebut.
“Bapak
mau melawak yah?” timpal pengunjung lainnya yang berambut gondrong dan
memainkan rokoknya, hingga keluar berbagai jenis bentuk asap yang tentunya
sangat mengganggu buat para perokok pasif. “Pak, saran saya, kalau mau main
ludruk jangan di sini. Mending bapak daftar aja gih di Teater Koma. Bapak ada bakat
sepertinya jadi pemain teater spesialis komedi.”
Si Gondrong itu
sekarang tertawa terbahak-bahak. Sungguh menyebalkan bertemu orang seperti ini.
Sudah asap rokoknya mengganggu, kini suara tertawa kerasnya yang merusak
gendang telinga. Tapi sepertinya Pak Tasman, seorang yang sudah mendekati
lansia tak terganggu. Ia jauh lebih terganggu dengan segala kata-katanya yang
sepertinya diremehkan oleh para pengunjung rumah makan rersebut.
Padahal ia tak
berdusta. Seorang pemuda yang mungkin berusia 24 tahun dari perawakannya itu
memang putranya. Nama penyanyi itu adalah Wino. Lengkapnya itu Antonius Farwin
Gunawan, tapi sang penyanyi yang baru saja memulai debutnya di dunia hiburan
itu lebih memilih nama panggung Wino Trifena.
Hmm, Trifena
yah? Nama terakhir sang penyanyi itulah yang membuatnya yakin penyanyi tersebut
merupakan anaknya; itu nama istrinya, sebabnya. Tambah meyakinkan pula, nama
depannya itu. Memang nama Wino cukup sering digunakan oleh pasangan suami istri
yang melahirkan anaknya. Tapi alam bawah sadarnya itu mengatakan Wino berasal
dari kata Farwin. Dan Farwin bila digabungkan dengan nama Trifena, memori
otaknya pasti akan memunculkan selembar kertas bertuliskan Antonius Farwin
Gunawan. Antonius Farwin Gunawan itu sendiri merupakan nama anak sulungnya dari
pernikahannya yang pertama dengan Trifena, gadis sederhana di kampung
halamannya, Bogor.
Ia menikahi
gadis lugu itu juga karena married by
accident. Kepolosan sang gadis membuatnya jadi membuat sang gadis jadi
berbadan dua. Mereka jadi menikah dini (Mereka menikah di usia 18 tahun) karena
terpaksa – tanpa tahu apakah ada cinta dalam hubungan yang sebetulnya atas
dasar nafsu tersebut. Tapi ya sudahlah, roti sudah berjamur dan berkerak, mau
bilang apalagi. Sang gadis sudah hamil, pernikahan sudah dilangsungkan, dan
sudah terlewati sepuluh tahun, hingga mereka dikaruniai tiga orang anak – dua
laki-laki, satu perempuan.
Married by accident. Segala sesuatu
yang berasal dari accident –
kecelakaan – sebetulnya tak bermakna. Pointless.
Terbukti setelah menginjak usia pernikahan kesepuluh, tiba-tiba saja Tasman
menggugat cerai istrinya yang selama ini berlaku altruistik terhadapnya. Kurang
baik apa coba perlakuan istrinya padanya? Mulai dari ’dilayani’ tiap malam –
dengan fantasi yang aneh-aneh; dibuatkan sarapan, makan siang, makan malam,
dipijat sepulang kerja; hingga tak pernah menaruh curiga saat dirinya pulang
larut malam. Ia pernah kepergok pulang sambil teler, tapi istrinya itu tetap
tersenyum dan mengasihaninya. Aduh sungguh menyesal ia menceraikannya dan
memilih menikahi seorang gadis muda yang kini mencampakannya seusai
perusahaannya bangkrut.
Tapi si Sesal
memang selalu datang terakhir. Istrinya itu sudah berpulang ke rumah Bapa di
Sorga. Ia sudah tenang di alam sana. Sayang sekali, ia tak bisa datang saat
pemakamannya setahun lalu. Ia terlalu malu untuk datang, karena dulu sekali ia
pernah menolak bertemu anak-anaknya dari sang gadis lugu itu, waktu mereka
semua mengunjungi rumah mewahnya. Ia tolak dan dan tak menganggap mereka anak
kandungnya. Bisa kita maklumi-lah kenapa pria paruh baya berkumis tipis ini
merasa malu.
Bahkan mungkin
saja anak-anaknya itu masih menaruh dendam padanya akibat diusir secara tak
terhormat. Tak perlu mereka dipaksa mereka mendendam karena perlakuannya dulu,
itu bisa dilihat dengan pemakaian nama panggung anak sulungnya yang kini jadi
penyanyi terkenal. Mungkin sang anak merasa perlu membuang nama asli yang dulu
ia sampai sibuk membeli buku nama-nama bayi. Ia legowo menerima sikap anaknya itu. Legowo yang begitu getir sekali.
“Tapi
benar itu anak saya yang lagi nyanyi di televisi. Saya nggak bohong,
Bapak-Bapak.” kata Pak Tasman untuk meyakinkan para pengunjung rumah makan yang
memang sebaya dengannya.
“Aduh,
sampeyan lagi mabuk yah? Habis minum apa semalam sampeyan?” ledek seorang bapak
berpakaian lusuh dan berkulit legam.
“Saya tak mabuk,
apalagi melawak. Penyanyi itu benar-benar anak saya.” ujar Pak Tasman. “Nama
aslinya itu Antonius Farwin Gunawan, bukan Wino Trifena.”
Seorang bapak
berkepala botak dan berkacamata tebal – yang merupakan pemilik dari rumah makan
kecil tersebut – mendatanginya dari arah pintu dapur. Dari tadi bapak itu sudah
mengawasi situasinya. Bapak itu menyeringai padanya dan Pak Tasman mulai
berpikiran negatif. Ia takut diusir.
Benar saja dugaannya
itu.
Beginilah cara
sang empunya rumah makan itu mengusirnya secara halus: “Pak, dengan hormat saya
mohon bapak keluar dari rumah makan saya ini. Sepertinya bapak ini tak waras.
Mana bapak belum memesan makanan sama sekali lagi dari semenjak setengah jam lalu masuk ke rumah
makan saya ini. Jadi bapak pergi secara baik-baik atau saya panggil Satpol PP
yang di ujung jalan sana – “ Sang empunya rumah makan menunjuk ke arah jalan
yang ia maksud. “ – untuk membawa bapak ke rumah sakit jiwa. Soalnya dari tadi
bapak terus ngoceh yang bukan-bukan. Masak penyanyi seganteng dan sekeren ini
punya bapak seperti anda yang berpakaian lusuh dan kurus kering?”
Padahal
niatnya itu mau makan. Ia belum makan sejak pagi. Sebab ia baru mendapatkan
uang dari pekerjaannya berjualan koran dan majalah sekitar satu jam lalu. Tapi apa daya. Daripada urusannya semakin
pelik, ia memutuskan keluar rumah makan dan mencari rumah makan lainnya. Tentu
saja yang jaraknya sedikit agak jauh dari rumah makan yang sudah ia tinggalkan.
Farwin
“Bang!”
Aku
menghentikan pergerakan tangan-tanganku di atas tuts-tuts laptop-ku. Huh! Padahal aku harus segera menyelesaikan bab tiga dan
bab empat skripsiku ini secepatnya. Besok aku harus memberikannya pada Pak
Siradj, dosen pembimbing skripsiku.
Sewaktu
aku menoleh ke arah yang memanggilku, rupanya itu adik perempuanku, Melissa.
Adikku ini sudah kelas dua belas. Bulan April ini dirinya akan mengikuti ujian
nasional penentu apakah dia akan lulus SMA atau tidak.
“Eh,
Mel, ada apa?” tanyaku tersenyum.
Ia
memainkan ujung rambut panjangnya itu. Aku tahu maknanya. Itu artinya dia mau
mengatakan sesuatu tapi takut. Walau pemalu, adik bungsuku ini begitu lihai
menjaga perasaan orang lain, Ia tak mau bikin orang jadi kesal karena
omongannya. Gara-gara kebiasaannya itu, aku sering menyangka itu muncul karena
pembawaaannya yang introvert.
“Eeee….”
Dia bergumam sendiri.
“Bilang
aja lagi, Mel. Nggak usah takut. Lagian
masak sama abang sendiri, kamu takut bicara, sih?” desakku padanya sambil
nyengir.
“Eeee….”
Dia masih bergumam sendiri. “…tapi janji yah nggak marah kalau aku bilangin.”
“Kapan
sih Abang pernah marah sama adik-adik abang?” desakku lagi pada adikku. “Buruan
deh bilangnya. Abang mesti nyelesein skripsi abang ini. Besok harus dikasih ke pembimbing,
soalnya.”
“Eeee….”
Ia tampak takut untuk mengatakannya. Terlihat sekali ia jadi memilin-milin
rambutnya di jari telunjuknya. “…ini soal papa, Bang,”
Aku
langsung setengah berdiri dari bangkuku. “Papa?”
“Iya,
Papa, Bang. Papa yang dulu sudah pergi meninggalkan kita, waktu aku masih kelas
1 SD.” jawab Melissa untuk sekedar mengingatkanku, walau aku tahu siapa yang
dimaksud.
“Abang
tahu.” Tanpa sengaja aku jadi menggeram padanya.
Melissa
jadi takut. “Tuh kan, katanya nggak mau marah?!”
Aku
mencoba mengembuskan dan menghela napas untuk meredakan emosiku. “Maaf deh,
maaf. Terus kamu mau bilang apa?”
“Ini
soal pernikahan Abang yang akan berlangsung bulan depan. Saranku sih, kenapa
Abang nggak coba hubungi Papa aja, ketimbang minta bantuan Om Gun buat jadi
wali nikahnya? Lagian itu kan wasiat Mama sebelum meninggal.” Akhirnya Melissa
menyampaikan niat awalnya datang ke kamarku. “Eh tapi itu hanya saran aja sih,
Bang. Jangan marah yah. Abang juga nggak perlu ikuti saranku kok.”
“Sudahlah,
Mel, lebih baik Om Gun saja yang jadi wali nikahnya. Abang juga nggak tahu
dimana dia tinggal sekarang setelah diusir simpanannya itu.” bantahku padanya
dengan nada yang mungkin terdengar emosi.
“Hmmm, bagus deh
dia diusir. Itu azab dari Tuhan, karena meninggalkan kita dulu. Khususnya lagi
waktu dia mengusir kita dari rumah mewahnya itu yang entah bagaimana caranya
jadi milik simpanannya. Durhaka sih.” rutukku pada ayah kandungku sendiri. Aku
berhak mengejeknya seperti itu, akibat perbuatannya di masa lampau.
“Tapi aku tahu
dimana Papa tinggal sekarang, Bang. Baru-baru ini aku ketemu Papa di sebuah
kios koran. Abang tahu nggak? Waktu melihatku, ia sampai berlinang air mata dan
spontan memelukku. Aku rasa, Papa sudah menyesal…” kata Melissa. Tampak
ada kesungguhan di dalam bola matanya
itu.
“Terus?” selaku.
Sebelum ia melanjutkan kata-katanya lagi, aku kembali melanjutkan ucapanku yang
menurutku kurang lengkap. “Maksud Abang, darimana kamu tahu rumah barunya?”
“Waktu ketemu
Papa itu, aku sempat bertanya dimana dia tinggal. Tapi Papa sepertinya enggan
mengatakannya. Dan karena situasi kios korannya agak rame, aku memutuskan untuk
pergi dulu. Aku nggak enak untuk memaksanya bilang. Jadinya, secara diam-diam
aku mengikutinya pulang, Bang. Dan ternyata Papa tinggal di sebuah rumah
kontrakan di daerah permukiman padat. Lingkungannya kotor banget lagi.” cerita
Melissa singkat.
“Bagus
deh. Memang yah seorang ayah yang meninggalkan keluarganya untuk simpanannya
itu pantasnya di tempat seperti itu.” responku terhadap cerita Melissa barusan
sambil mengertakan gigiku di akhir ucapanku.
“Tapi…”
kata Melissa takut. “…apa tidak setidaknya Abang mencoba memaafkan Papa saja?
Bukannya hal seperti ini, kalau ketahuan infotainment,
bisa menjatuhkan reputasi Abang? Bisa-bisa penjualan album Abang bisa merosot
drastis karena masalah ini lagi.”
Aku
membuang napas lewat hidungku. “Kamu tenang saja, Mel. Ini kan masalah internal
keluarga kita. Dan Abang juga belum pernah cerita soal ini ke siapa-siapa,
termasuk ke Sandra juga.” Sandra itu nama pacarku yang sebentar lagi akan
kunikahi.
“Maksudnya
Abang belum pernah cerita soal ini ke Kak Sandra?” Ia sepertinya bingung dengan
maksud kalimat terakhirku itu.
Aku
menggeleng.
“Terus
Abang bilang apa ke Kak Sandra soal Papa, kalau begitu?” tanyaku dengan dahi
yang masih berkerut.
“Abang
bilang saja, Papa sudah meninggal.” jawabku enteng. “Kenyataannya memang
seperti itu, kan? Papa lama kita sudah lama meninggal; dan Papa yang sekarang
itu bukan Papa yang lama kita. Ia sama sekali orang baru, asal kamu tahu, Mel.”
“Hah?”
Mulutnya melongo selebar-lebarnya. Mungkin ia kaget mendengar kata-kataku
barusan. “Abang tega banget sih sama Papa bicaranya?”
“Abang
tega? Tegaan mana coba sama orang yang ninggalin keluarganya sendiri? Yang
pergi saat aku, kamu, dan Keven masih memerlukan kehadiran sosok seorang ayah.
Tegaan mana, Mel? Coba jawab!” Adikku tak salah, tapi mengapa aku jadi
berapi-api seperti ini di hadapannya? Sepertinya emosiku salah sasaran. Karena
emosiku yang meledak-ledak itu, aku jadi mundur beberapa langkah, saat
melihatku yang mendadak berdiri dan beringsut ke arahnya.
“I-iya.
Mu-mungkin Abang ada benarnya juga. Aku permisi keluar dulu, deh.” kata Melissa
menundukan kepalanya. Ia lalu segera meninggalkan kamarku,
Kasihan
Melissa. Tak seharusnya ia jadi sasaran kemarahanku. Walaupun begitu, tak
sepantasnya aku kesal terhadap Papa. Aku seharusnya kasihan melihat
penderitaannya sekarang. Kudengar dari Om Gun, Papa bangkrut dan mungkin dengan
cara kotor, segala asetnya bisa berpindah ke tangan simpanannya itu. Ia memang
patut dikasihani, sebetulnya; tapi karena luka di hatiku akibat perbuatannya di
masa lalu, aku jadi senewen saat ingat ataupun mendengar kata Papa disebut. Tambah
senewen lagi, saat aku datang ke rumah mewahnya untuk memberitahukannya aku
lulus SMP. Sudah datang jauh-jauh, eh malah dilecehkan. Sudah diusir secara tak
hormat, kami bertiga juga malah tak dianggapnya sebagai anak kandungnya. Ayah
macam apa itu? Huh!
Saking
kesalnya, aku jadi mengetikan tuts-tuts laptop-ku
dengan keras-keras. Beruntung saja tak ada kesalahan redaksional dalam
pengetikan skripsi revisi terakhirku ini. Jadi aku hanya tinggal berharap keyboard-nya tidak rusak karena
perbuatanku itu.
Iyus
Jujur
sebetulnya aku malas sekali mengunjungi tua bangka yang sudah menelantarkan
kami. Aku masih ingat betul bagaimana dia menyuruh petugas keamanan rumahnya
itu untuk mengusir paksa aku, Bang Farwin, dan Melissa yang waktu itu masih
kelas 3 SD. Tapi setelah mendengar detail cerita Melissa soal kondisi si tua bangka, aku yang paling frontal
mengucapkan kebencianku pada mantan ayahku itu jadi terenyuh. Secara perlahan,
tingkat kebencianku padanya – ibarat permainan Tekken di playstation – sudah berkurang beberapa bar, hingga akan lenyap sama
sekali. Yah aku masih punya hati. Aku kan bukan seorang tokoh antagonis seperti
di sinetron-sinetron.
Kalau
aku tak punya hati, mana mungkin aku sekarang sudah berada di depan pintu
sebuah rumah kontrakan. Benar kata Melissa, daerah ini kumuh sekali. Tanahnya
masih tanah merah dan banyak ayam yang dilepas begitu saja di jalan-jalan,
mengikuti beberapa ekor kucing yang pasti tak ada yang memiliki. Sungguh si tua
bangka itu kini sudah meluncur dahsyat ke permukaan tanah dari yang awalnya
berdiri mantap di atas roda kehidupannya. Dari seorang pebisnis sukses, ia kini
malah jadi seorang tukang koran yang tinggal di hunian seperti ini. Apakah ini
hukuman dari Yang Maha Kuasa?
Entahlah.
Yang jadi fokusku saat ini adalah pintu kontrakan itu. Kapan pintu itu akan
dibukakan dan aku bisa melihat kondisinya sekarang. Entah mengapa juga, aku
berpikiran negatif terhadapnya. Aku
menduga, badannya mengurus dan segala kulitnya mengusam dan jadi kasar.
Oh
iya, aku cukup kaget saat Melissa mengajak Kak Sandra, pacarnya Bang Farwin
itu. Tak kusangka Melissa berani juga menceritakan soal Papa ke Kak Sandra,
bahkan tampa seijin Bang Farwin. Katanya sih, cara ini harus dilakukan demi
wasiat Mama. Pamali tidak melakukan
wasiat orang yang sidah berharga, apalagi dari orangtua sendiri; sifat sopan
santun-nya itu benar-benar turunan dari Mama. Melissa terus berkata padaku soal
wasiat itu yang harus dijalankan. Apalagi ini juga demi kepentingan karir
menyanyi Bang Farwin sendiri juga. Menurutnya, cepat atau lambat infotainment dan masyarakat pasti akan
mengetahui soal kehidupan pribadi Bang Farwin. Yah aku setuju. Sebab tak ada privacy dalam dunia hiburan.
Untung
saja, kami tak butuh waktu lama menunggu. Mungkin kami semua hanya butuh waktu
lima menit saja, sebelum pintunya dibukakan. Muncullah sosok pria paruh baya
berkumis ringan dan bertubuh kurus kerempeng. Hah? Inikah Papa? Mengapa ia
begitu kurus sekali? Dan rambutnya? Mengapa tak terawat sekali? Kuduga
rambutnya itu pasti banyak kutu. Apalagi baunya yang cukup anyir cukup
menyeruak hingga ke hidungku yang pesek ini.
Si
tua bangka, eh maksudku Papa begitu kaget waktu bersua dengan aku, Melissa, dan
Kak Sandra. Dan kaget itu kaget senang sekaligus terharu.
“Kalian?”
Itulah kata pertama yang ia ucapkan padaku. “Darimana kalian tahu rumah Papa
yang kecil ini? Dan siapakah perempuan ini?”
Melissa
langsung maju ke depan dan tangan kirinya diarahkannya padaku. Mungkin untuk
menahanku agar jangan melabrak Papa. Padahal asal dia tahu, tak mungkin aku
melabraknya apabila melihat kondisinya sekarang. Rumah yang kumuh. Rambut
awut-awutan. Jenggot yang dicukur alakadarnya. Tubuh yang mengurus. Oh tidak.
Tidak mungkin aku melabraknya. Ingat, kan? Aku bukan seorang yang antagonis.
Aku masih punya hati, walau suka sekali dengan olahraga-olahraga beladiri yang
keras ataupun olahraga-olahraga ekstrim.
“Aku
tahu tempat ini, karena aku pernah membuntuti Papa. Maaf yah, Pa.” jawab
Melissa tersenyum. “Oh iya, kenalkan, Pa. Ini Kak Sandra, pacarnya Bang Farwin.
Rencananya, bulan depan, mereka akan menikah dan butuh Papa sebagai wali
nikahnya Bang Farwin. Apalagi ini juga kemauan Mama sebelum meninggal. Papa mau
kan jadi wali nikahnya Bang Farwin.”
Papa
tersenyum. Matanya jadi sebening sebuah
berlian.
“Tentu saja Papa mau, dong, Sayang. Lagipula
Papa kan bukan wali nikah, tapi orang yang seharusnya menemaninya saat melamar
Sandra ini. Papa pasti datang.”
“Terimakasih
yah,Om, sudah mau merestui hubungan aku sama Farwin. Jujur aku sendiri juga
kaget waktu tahu dari Melissa kalau Om masih hidup. Selama ini, ia sering
bilang Om sudah meninggal. Aku mau marah sama Farwin, tapi Melissa mencegahnya.
Ia lalu menjelaskan masalahnya dengan detail sekali, dan aku jadi benar-benar
paham. Selain itu, aku juga menyetujui sarannya untuk memberikan kejutan pada
Farwin di waktu ia sidang nanti – kurang lebih dua bulan lagi setelah
pernikahan kami bulan depan.” ujar Kak Sandra dengan wajah yang sangat
bersimpati.
“Om
tak ada alasan untuk melarang hubungan kalian, setelah segala perbuatan buruk
Om di masa lalu. Ngomong-ngomong, kejutan soal apa yang kalian bicarakan?”
balas Papa.
“
Begini, Pa. Kami berencana akan merahasiakan dulu pertemuan kami ini dari Bang
Farwin. Aku juga sempat meminta Kak Sandra untuk menunda acara pernikahan
dengan dalih ada kesibukan yang tak bisa
ditunda demi pernikahan. Dan rencana selanjutnya, aku akan membawa Papa menemui
Bang Farwin di luar ruang sidangnya nanti – bersama-sama dengan aku, Bang Iyus, Kak Sandra dan keluarganya nanti. Tapi itu masih dibicarakan nantinya,
setelah Papa mau menemui keluarganya Kak Sandra. Papa jangan takut, keluarganya
Kak Sandra itu baik, kok. Asal diomongin baik-baik, pasti mereka juga bisa
memahami masalahnya. Benar, kan, Kak?”
Setelah berucap
panjang lebar seperti itu, ia menatap Kak Sandra dengan bonus sebuah senyuman.
Tak kusangka, adikku yang satu ini benar-benar berhati malaikat. Aku jadi malu dengannya, karena malah
bersikap kurang ajar sebelumnya pada Papa. Padahal aku lahir lebih dulu
daripada Melissa.
“Benar,
Om. Orangtua saya juga bukan orangtua yang kaku, kok. Apalagi selama ini,
Farwin juga sudah ramah sekali terhadap mereka. Mereka pasti bisa paham kenapa
Farwin begitu, juga kenapa Om berbuat seperti itu dulu.” kata Kak Sandra
tersenyum.
Bang
Farwin sungguh beruntung mendapatkan pacar seperti Kak Sandra yang tak hanya
cantik di luarnya saja. Kak Sandra juga cantik dari dalam hatinya. Ia bukan
seperti kebanyakan wanita yang egois dan tak mau mendengarkan alasan yang
mendetail jika pasangannya berbuat salah. Semoga kelak aku bisa mendapatkan
pacar sebaik Kak Sandra. Sekarang bagiku, tampang nomor dua, hati nomor satu.
Papa
tersenyum. “Oke Papa mau.”
Selesai
ia berbicara, seperti ada yang menggerakan, tubuhku meluncur ke arahnya dan
memeluknya erat sambil menangis tersedu-sedu.
“Terimakasih,
Pa. Oya, maaf juga kalau selama ini, aku sudah bersikap kurang ajar dan
berpikiran negatif ke Papa.”
Melissa
Jujur
sebetulnya aku kesal juga waktu Papa tak mengijinkan aku dan abang-abangku
masuk ke rumah mewahnya. Dulu sewaktu aku kecil, aku terus menanyakan pada Mama
kapan Papa pulang dan kenapa Papa pergi lama sekali. Mama tak menjawab, hanya
matanya jadi basah. Tapi lambat laun Mama menjelaskan padaku di waktu yang
tepat kepadaku bahwa hubungan Papa dan Mama sudah berakhir. Mereka bercerai,
walau dulu aku tak mengerti arti kata itu. Aku bingung kenapa manusia yang
memutuskan menikah dan hidup bersama, selanjutnya malah memutuskan untuk
berpisah dan meletakan anak-anak mereka dalam posisi serba tak menyenangkan.
Itu
dulu. Kini aku mengerti mengapa banyak pasangan suami istri yang memutuskan
bercerai. Itu mengajarkan padaku untuk tidak main-main dengan cinta. Cinta itu
bukan seperti sebuah wahana permainan. Cinta itu serius dan harus dipikirkan
matang-matang. Jika kamu terus bermain-main dengannya, terimalah akibatnya
dengan cara dipermainkan oleh cinta itu sendiri. Itu juga mengajarkan padaku
untuk benar-benar serius mencari pasangan; bukan sekedar pasangan, tetapi
pasangan jiwa. Soulmate. Pasangan
yang benar-benar mencintai kita; menerima luar-dalamnya kita; menerima pula
baik-buruknya kita; selalu membuat kita merasa nyaman kapanpun dan dimanapun.
Sulit? Aku rasa, tak ada yang mudah dalam hidup ini.
Setelah
Mama menjelaskan alasan Papa tak kunjung pulang ke rumah – karena kata
‘perceraian’ itu, di sekolahku aku bertanya pada guru BP. Namanya Bu Endah. Bu
Endah dengan lembutnya mengatakan bahwa perceraian itu akan selalu ada. Itu ada
untuk mengajarkan pada generasi muda untuk tak bermain-main dengan cinta. Kalau
tak ada kesiapan yang mantap untuk menikah dan hidup bersama, siap-siap saja
berhadapan dengan kata ‘cerai’. Kata itu sangat menyakitkan, sebetulnya, untuk
yang mengucapkan dan yang mendengarkan.
Aku
bersyukur bisa bertemu dengan Ibu Endah. Karena dialah, lambat tapi pasti, aku
bisa mengikis rasa benciku pada Papa. Bu Endah-lah yang terus memotivasiku
untuk tidak terus jatuh terpuruk karena rasa sakit hatiku ini. Ia jugalah yang
membuatku bisa mengelola rasa sakit ini menjadi sebuah kekuatan yang mengubahku
menjadi lebih bijak dan lebih kuat.
Aku
tahu, waktu itu abang-abangku jadi semakin membenci Papa setelah peristiwa
penolakan itu. Di saat mereka benci setengah mati, aku malah melakukan hal
sebaliknya. Karena Bu Endah, aku melakukan semua hal yang sebetulnya tak masuk
akal. Aku terus bermanis-manis dengan Papa. Rutin mengirimi SMS-SMS hari raya,
mengirimi kue tart ukuran kecil yang kutitipkan ke satpam penjaga rumah
mewahnya (Padahal aku sudah pernah diusir), hingga aku selalu memasukan namanya
dalam tiap doaku. Yah aku selalu mendoakan yang terbaik untuk Papa.
Bu
Endah juga pernah mengatakan padaku, luka hati itu sulit disembuhkan.
Sepandai-pandainya manusia menciptakan obat untuk berbagai penyakit, tetap saja
belum bisa menemukan obat penyembuh luka hati. Sebab obatnya hanya satu: waktu.
Itu dikatakan pertama kali waktu aku mencurahkan segala permasalahanku padanya.
Dan Bu Endah memang benar.
Aku
yang sudah putus asa mengajak kedua abangku untuk bisa memaafkan Papa, sekarang
menyaksikan sendiri bagaimana waktu menyembuhkan luka hati abang-abangku ini.
Aku tersenyum sambil kedua mata berkaca-kaca, saat melihat Papa dan Bang Farwin saling berpelukan. Waktu jugalah
yang mungkin membuatku rencanaku menjalankan wasiat Mama berhasil. Mama pasti
bangga di atas sana melihat Bang Farwin lulus sarjana dan juga lulus
mengalahkan luka hatinya itu.
Pernikahan
Bang Farwin dan Kak Sandra pasti akan terasa lebih indah nanti.
Mengharukan :')
ReplyDeleteAku juga mau dong punya pacar kayak Kak Sandra :D
farwin kok mirip elo di dunia nyata nuel? ngahaha
ReplyDelete@ Ninda:
ReplyDeleteHahaha.... Serius? Mirip? 0_o
Tokoh Ceweknya kayak saya tuh...jaman masih muda dulu. hehhee
ReplyDeleteIya beneerrr sebelum liat tulisan keterangannya gue kira itu bang nuel.
ReplyDeletetaunya bukan
hi hi hi
P.S.
Cermati lagi dialog dalam tanda kutipnya bang nuel.
Di cerpen ini ada beberapa dialognya yg agak-agak kebawa narasi sama deskripsi nya. kebawa-bawa kaku. Jadinya kurang familier sama kurang ngalir gitu.
Kata guru gue sih, kalo kalimat dalam tanda kutip itu kan sah-sah aja nggak sesuai EYD, soalnya percakapan sehari2 kan nggak EYD.
very nice story!
Rating 8 dari 10!
:)