Bagaimana Jika Jaringan Internet Seluruh Dunia Mati?

Baru aku sadar, kita--manusia moderen--begitu kecanduan internet. Baru saja listrik diputus. Otomatis aku tak bisa mengakses internet juga. Wi-Fi rumah putus.

Ah, mana aku jadi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa menulis di platform menulis novel, tak bisa berhubungan dengan supplier atau upline juga.

Baru berjalan beberapa menit saja tanpa internet, aku sudah merasa gelisah. Seperti ada yang hilang, padahal hanya sinyal dan koneksi yang tak bisa kugapai. Aku mencoba menenangkan diri, mengambil buku di rak yang sudah lama berdebu. Anehnya, fokusku tak pernah bertahan lebih dari beberapa halaman. Jemariku refleks ingin menggulir layar, mencari notifikasi, padahal ponsel itu kini hanyalah benda mati tanpa kuasa.

Di luar, suara tetangga terdengar lebih jelas. Anak-anak kecil masih bisa bermain kejar-kejaran tanpa peduli jaringan, tanpa butuh update apa pun. Aku sempat iri. Betapa sederhananya hidup mereka, tanpa cemas apakah pesan balasan sudah terkirim, tanpa harus memastikan siapa yang sudah melihat story.

Kutatap layar ponsel yang kosong, lalu aku merenung. Barangkali inilah tanda betapa modernisasi telah mencengkeram kita. Koneksi virtual begitu kuat, hingga seakan memutus jalur kehidupan nyata. Aku, yang biasanya percaya diri, mendadak rapuh hanya karena Wi-Fi terputus.

Detik demi detik berjalan lambat. Aku mencoba menulis di buku catatan manual. Pensil yang sudah lama tak kugunakan, kini kembali terasa berguna. Kata-kata memang masih bisa keluar, walau tanpa sorotan layar biru. Saat itu juga aku sadar, mungkin kita terlalu membiarkan hidup digenggam internet.

Gelap mulai turun, listrik tetap padam. Walaupun demikian, ada cahaya lain yang muncul, kesadaran bahwa dunia nyata tetap ada, menunggu disentuh tanpa jaringan.