Ajakan Berdamai dari Seorang yang Utopis (baca: Halu)

 
















Ini hanyalah seruan untuk berdamai. Tanpa menyudutkan pihak-pihak mana pun. Bagaimanapun aku sangat mencintai negeri Khatulistiwa ini. Sehingga, tanpa bermaksud menyudutkan DPR, Polri, golongan ini, golongan itu... ah, murni ajakan untuk berdamai sepenuhnya. 

Yuk, mari ciptakan Indonesia yang sungguh kondusif untuk setiap lapisan masyarakat; yang untuk setiap suku, agama, ras, dan golongan apa pun. 

Indonesia sudah berulang kali melewati fase sulit dalam sejarahnya. Kita pernah berhadapan dengan krisis ekonomi, konflik horisontal, hingga terorisme. Namun yang selalu menyelamatkan negeri ini bukan hanya perangkat negara, melainkan juga keteguhan masyarakatnya untuk tetap memilih jalan damai.

Sejarah mencatat, pada 1998 yang lalu, ketika Reformasi menumbangkan rezim Orde Baru, masyarakat Indonesia sempat berada di ambang perpecahan. Negeri ini nyaris terancam bubar. Untungnya, tidak terjadi. Karena pada akhirnya, meski ada yang marah, kecewa, atau terluka, sebagian besar rakyat memilih untuk melanjutkan hidup bersama. Mereka memilih membangun kembali. Mereka memilih untuk saling berdamai, meski dengan hati yang perih nan menyayat hati. 

Itulah pelajaran berharga yang aku bisa petik. Walaupun kita bisa berbeda pendapat, bisa keras menyuarakan aspirasi, bahkan bisa turun ke jalan menyampaikan protes, tetapi tetap harus ingat satu hal. Sesungguhnya kita adalah bagian dari satu rumah besar bernama Indonesia.

Bayangkan rumah tangga tanpa rasa damai. Betapa ributnya, betapa tidak nyamannya, yang pasti tidak nyaman. Aku jamin demikian. 

Begitu pula dengan negara ini. Jika kita hanya terus berteriak tanpa memberi ruang untuk mendengar, kurasa, yang ada hanya tercipta kebisingan-kebisingan tanpa resonansi. Bak sebuah sound horeg, yang begitu dibunyikan, getarannya saja yang ada, tapi, hey, mana suaranya? 

Damai bukan berarti diam belaka. Damai bukan berarti menyerah pada keadaan. Damai justru terlahir saat ada keberanian untuk menahan diri. Keberanian untuk tidak membalas kebencian dengan kebencian.

Seruan damai bukan untuk mematikan kritikan pula. Justru kritikan yang sehat adalah bagian dari cinta tanah air. Meskipun demikian, aku sadar bahawa ada garis tipis antara kritikan dengan destruksi dan aspirasi dengan anarki. Kurasa-rasa, saat itulah, kita memerlukan kebijaksanaan lebih.

Belum lagi, patut diingat, negeri ini dihuni ratusan juta jiwa, dengan keberagaman luar biasa. Suku, bahasa, adat, agama, hingga pilihan politik. Pastinya saja, berbeda-beda. Itu persis semboyan negara ini: Bhinneka Tunggal Ika

Perbedaan itu justru anugerah, tapi sekaligus potensi konflik. Satu-satunya cara untuk tetap tegak adalah dengan terus menerus mengupayakan perdamaian. 

Tentang perdamaian itu, tentang pula konfliknya pula, aku sering bertanya pada diriku sendiri. Yang hanya aku pertanyakan kepada batin ini. Sebenarnya itu, apa yang paling mahal dalam hidup berbangsa dan bernegara?

Mungkin patut juga, kita semua bertanya-tanya, apakah sumber daya alam kita yang melimpah? Apakah jumlah penduduk yang besar? Apakah posisi strategis di jalur perdagangan dunia? 

Ah, semua itu memang penting. Namun yang paling mahal adalah stabilitas. Kupikir-pikir, tanpa stabilitas,tanpa sebuah perdamaian, semua kekayaan itu tak berarti. Tanpa stabilitas, ekonomi tidak akan bergerak. Tanpa ketenangan, anak-anak tidak bisa belajar dengan benar. Tanpa ketenteraman, siapa pun akan kehilangan rasa aman.

Coba lihat, deh. Tengok negara-negara lain yang hancur karena konflik internal. Banyak dari mereka dulunya lebih makmur dari Indonesia. Begitu perang saudara meletus, semua hancur seketika. Puluhan tahun berlalu, generasi demi generasi lahir, tetap saja luka itu belum pulih.

Apakah itu yang kita kehendaki? Apakah kita ingin negeri ini bernasib sama seperti itu? 

Aku sadar, ada banyak hal yang membuat masyarakat kecewa pada para pemimpin. Ada kebijakan yang terasa tidak adil. Ada kasus korupsi yang seolah tak pernah habis. Ada janji yang tak ditepati. Itu semua memang menyakitkan. Namun apakah jawabannya dengan menghancurkan rumah kita sendiri?

Aku percaya jalan terbaik adalah memperbaiki, bukan merobohkan. Seperti ketika kita kecewa pada keluarga sendiri, kita boleh marah, boleh menegur, boleh menuntut perubahan, tetapi jangan sampai kehilangan rasa memiliki.

Indonesia ini bukan sekadar milik DPR saja. Bukan milik Polri saja. Bukan milik pejabat, bukan milik partai. Hey, Indonesia adalah milik kita semua. Maka kalau kita marah pada penguasa, jangan sampai kita menghancurkan negara ini.

Akhir kata, seruan damai ini juga bukan hanya untuk rakyat, tapi juga untuk pemerintah.

Pemerintah, tolonglah jangan alergi terhadap kritik. Jangan tergesa-gesa untuk memukul cap radikal atau makar pada suara yang berbeda. Dengarlah suara segenap rakyat Indonesia. Menurut aku, karena dari sana ada kebenaran yang harus diperhatikan. Jangan menutup mata terhadap penderitaan yang nyata.

Polri, TNI, dan seluruh aparat, tolonglah kendalikan diri. Tugas kalian adalah melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti mereka. Setiap peluru yang ditembakkan ke rakyat adalah luka bagi bangsa ini. Setiap tindakan represif hanya akan melahirkan dendam.

DPR dan para elit politik, sadarilah bahwa jabatan itu adalah amanah, bukan privilege untuk memperkaya diri. Kalau rakyat turun ke jalan, itu karena mereka merasa tidak didengar. Please, para wakil rakyat, dengarlah suara-suara hati rakyat Indonesia seluruhnya, khususnya, para wong cilik

Sementara itu, untuk kita, rakyat biasa, marilah kita juga mawas diri. Jangan mudah terprovokasi. Jangan gampang terpecah belah oleh hoax, fitnah, dan adu domba. Jangan membiarkan emosi mengalahkan akal sehat.

Media sosial acap kali menjadi bahan bakar kebencian. Satu video dipotong, satu foto diberi narasi palsu, lalu ribuan orang ikut marah. Padahal kebenarannya bisa menjadi jauh berbeda. Maka, mari kita belajar lebih kritis. Mari kita cek ulang informasi. Jangan ikut menyebarkan jika kita tidak yakin itu memang kebenarannya. 

Aku tahu perdamaian itu memang sulit tercipta sepenuhnya. Justru perdamaian yang sejati itu membutuhkan pengorbanan. Perdamaian sejati itu membutuhkan kerendahan hati. Perdamaian sejati justru membutuhkan sikap yang sangat welas asih. Seorang tokoh sering berulangkali menyebut kata "legowo". Justru di balik kata "legowo" di situlah kita bisa menemukan nilai dari sebuah perdamaian sejati. Yah, nilai sebuah perdamaian sejati.

Terkadang aku berpikir, andai saja semua pihak bisa menurunkan ego masing-masing, betapa indahnya negeri ini. Bayangkan kalau DPR benar-benar transparan. Kalau aparat benar-benar humanis. Kalau rakyat benar-benar sabar dan cerdas. Maka Indonesia bukan hanya akan bertahan, tapi melesat maju. Terus melaju hingga melepaskan diri dari stereotipe "negeri dunia ketiga".

Dunia ini sesungguhnya sepertinya sedang menunggu. Menunggu apakah Indonesia mampu membuktikan diri sebagai negara demokrasi besar yang mana segenap masyarakatnya sungguh matang. Atau justru  akan jatuh ke lubang konflik seperti banyak negara lainnya. 

Makanya aku menyerukan seruan perdamaian. Ah, seruan damai ini mungkin terdengar utopis. Ada yang akan menertawakan, ada yang akan sinis. 


“Ah, mana mungkin damai? Orang politiknya saja kotor. Aparatnya saja kejam. Rakyatnya saja gampang tersulut.”


Mungkin begitulah kata sebagian oknum. Hey, Kawan, bukankah setiap perubahan besar selalu dimulai dari mimpi? Bukankah kemerdekaan kita dulu juga awalnya hanya mimpi? Kalau para pendiri bangsa tidak berani bermimpi, mungkin sampai sekarang kita masih dijajah oleh bangsa Eropa, benar begitu? 

Untuk sepersekian detik ini, biarlah aku bermimpi, suatu hari, Indonesia benar-benar damai. Bukan perdamaian semu karena orang takut bicara, melainkan perdamaian sejati karena semua merasa didengar.

Mungkin ada baiknya, mulai dari hal-hal kecil terlebih dahulu. Mulailah berdamai dengan tetangga, meski berbeda pilihan politik. Mulailah berdamai di media sosial, dengan tidak mengumbar ujaran kebencian. Mulailah berdamai di keluarga, dengan saling menghargai perbedaan.

Dari hal-hal kecil inilah, kurasa bisa terlahir suatu energi perdamaian yang pastinya akan menjalar ke level yang lebih besar lagi. Pada akhirnya, negeri Khatulistiwa ini tidak hanya ditentukan oleh para elit lagi, melainkan juga oleh kita semua, yang seluruh lapisan masyarakat Indonesia. 

Sesungguhnya Indonesia terlalu indah untuk dihancurkan. Negeri Khatulistiwa ini adalah rumah bersama. Mari rawat dengan damai. Berikan cinta yang terbaik untuk Indonesia yang sudah puluhan tahun terlahir ke alam semesta ini. 

Sekian celotehan aku ini. Sebuah ajakan untuk berdamai. Kalau bukan sekarang, kapan lagi!? Justru kita yang harus mengupayakan perdamaian untuk Indonesia. Kita yang harus mengupayakan negara ini lepas dari stigma "negara dunia ketiga".
























Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~