Curahan Hati di kala 17-an ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

 














Tahun ini aku berharap bisa merdeka dari orang yang aku anggap cukup dekat, ternyata memanfaatkan aku sebagai ATM.

Awalnya aku tidak pernah menyadari bahwa hubungan yang kubangun dengannya hanya berjalan satu arah. Aku selalu merasa, ketika seseorang datang dengan senyum, cerita, atau sekadar pesan singkat di malam hari, itu tanda bahwa aku berarti. Aku pikir aku benar-benar dibutuhkan. Ternyata, aku hanya dibutuhkan ketika ia kesulitan, terutama tentang uang.

Setiap kali dia mengeluh, aku dengan refleks menawarkan bantuan. “Nanti aku transfer,” begitu kata-kata yang paling sering keluar dari mulutku. Anehnya, saat itu aku merasa bangga bisa menolong. Padahal jauh di dalam hati, aku mulai merasa ada yang janggal. Kenapa setiap obrolan selalu berakhir dengan angka rekening, bukan tawa Nam tulus?

Sampai suatu hari, aku benar-benar kehabisan tenaga, kehabisan sabar, bahkan hampir kehabisan tabungan. Aku mencoba untuk menolak, sekali saja, dengan alasan sederhana, yaitu aku juga sedang butuh. Sayangnya reaksinya bukannya mengerti kondisi aku, malah tiba-tiba dingin, menjauh, bahkan melempar kata-kata yang membuat dadaku sesak. “Kalau nggak bisa bantu, ya udah, percuma deket sama lo.”

Kalimat itu seperti tamparan. Rasanya semua cerita, semua candaan, semua percakapan panjang larut malam yang dulu kuanggap spesial, berubah jadi bayangan kosong. Ternyata, selama ini aku hanya dompet berjalan dengan nama dan wajah.

Hari-hari berikutnya aku merasa hancur, tapi anehnya juga lega. Hancur karena harus menerima kenyataan bahwa aku salah menilai kedekatan itu. Lega karena akhirnya mataku terbuka. Aku tidak bisa terus-terusan membiarkan diriku diperlakukan begitu. Aku berhak bahagia, berhak punya teman yang benar-benar peduli, bukan yang hanya menunggu notifikasi transfer.

Kini, setiap kali aku ingat lagi momen itu, aku justru bersyukur. Tahun ini, aku benar-benar merdeka. Bukan hanya dari belenggu orang lain, tapi juga dari kelemahan diriku sendiri yang dulu terlalu takut berkata “tidak”. Aku belajar, cinta diri itu kadang dimulai dari keberanian untuk menutup pintu bagi orang yang hanya datang untuk mengambil, bukan memberi.

Aku sadar, hidup ini bukan tentang seberapa banyak aku bisa menyenangkan orang lain, tapi seberapa tulus orang yang ada di sekitarku. Kalau memang ada yang pergi hanya karena aku tidak bisa lagi menjadi ATM untuknya, biarlah. Itu artinya mereka memang tidak pernah berniat menetap.

Merdeka kali ini bukan sekadar perayaan tanggal di kalender, tapi perayaan jiwa. Aku bebas dari topeng kepura-puraan hubungan yang semu. Aku bebas memilih untuk dikelilingi orang yang benar-benar peduli. Aku menolak untuk berada di sekitar mereka yang hanya berpura-pura peduli.

Aku janji pada diriku sendiri: tak akan lagi kubiarkan siapa pun menjadikan kebaikanku sebagai alat untuk dimanfaatkan. Karena akhirnya, kemerdekaan sejati adalah ketika aku bisa bilang, dengan hati ringan bahwa diri ini cukup berharga, bahkan tanpa mereka.
















Tahun ini aku benar-benar belajar arti merdeka. Bukan sekadar merdeka dari penjajahan, bukan pula dari aturan-aturan ketat yang mengekang, tapi merdeka dari seseorang yang dulu aku anggap dekat. Nyatanya hanya memanfaatkan aku. Dia memperlakukan aku seolah aku ini mesin ATM berjalan.

Awalnya aku tidak sadar. Setiap kali ia datang dengan wajah memelas, dengan cerita panjang lebar tentang masalah keuangan, aku selalu luluh. Ada rasa iba, ada pula rasa takut dianggap tidak peduli. Aku pikir, namanya teman, harus saling membantu. Namun lambat laun, pola itu berulang. Setiap pertemuan selalu berujung pada permintaan. Kadang kecil, kadang besar. Saat aku bilang tidak bisa, ia mendadak dingin, menjauh, bahkan menyindir.

Rasanya sakit sekali menyadari bahwa kehadiranku bukan karena aku sebagai manusia, tapi karena dompetku. Aku sontak bertanya-tanya, apakah selama ini tawa kita, obrolan panjang kita, dan momen yang aku kira tulus itu hanyalah kamuflase dari niatnya? Benarkah demikian? 

Puncaknya adalah ketika aku sendiri sedang kesulitan. Saat aku membutuhkan teman bicara, bantuan sekecil apapun, ia tidak ada. Malah ia kembali datang dengan wajah memelas, meminta bantuan lebih besar lagi, tanpa sedikitpun menanyakan kabarku. Dari situlah aku sadar bahwa hubungan ini sudah tidak sehat.

Aku belajar menolak. Aku belajar bilang “tidak” tanpa rasa bersalah. Awalnya berat, karena aku terbiasa memberi, terbiasa ingin menyenangkan orang lain. Sayangnya, ternyata di situlah letak merdekaku tahun ini. Merdeka dari rasa takut ditinggalkan hanya karena aku berhenti memberi. Merdeka dari rasa bersalah karena tidak memenuhi ekspektasi orang lain. Merdeka dari orang-orang yang hanya tahu mengambil tanpa pernah peduli.

Tentu saja, keputusanku membuatnya marah. Ia menuduhku berubah, egois, bahkan pelit. Tapi aku tidak lagi peduli. Aku tahu siapa diriku, dan aku tahu bahwa orang yang benar-benar tulus tidak akan menilaimu hanya dari seberapa banyak kamu bisa memberi.

Sekarang, aku merasa lebih ringan. Aku bisa tersenyum tanpa beban setiap kali mengingat masa lalu itu, karena justru dari pengkhianatan kecil itu aku menemukan harga diriku kembali. Aku belajar bahwa menjaga diri dari orang-orang brengsek juga bentuk cinta pada diri sendiri.

Tahun ini, merdekaku adalah merdeka dari mereka yang hanya menjadikan aku sebagai ATM berjalan. Merdeka dari keterikatan semu yang ternyata hanya ilusi. Merdeka dari kebodohan yang dulu aku pelihara atas nama persahabatan.

Aku berjanji, di tahun-tahun berikutnya, aku hanya akan membuka pintu bagi mereka yang benar-benar tahu menghargai. Aku lelah berhadapan dengan mereka yang malah lebih suka menghitung isi dompetku daripada menghargai siapa aku sebenarnya.

Itulah arti kemerdekaan yang paling personal bagiku tahun ini.













Menurut kalian, apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya? 
































































Comments

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~