Tahun ini aku berharap bisa merdeka dari orang yang aku anggap cukup dekat, ternyata memanfaatkan aku sebagai ATM.
Awalnya aku tidak pernah menyadari bahwa hubungan yang kubangun dengannya hanya berjalan satu arah. Aku selalu merasa, ketika seseorang datang dengan senyum, cerita, atau sekadar pesan singkat di malam hari, itu tanda bahwa aku berarti. Aku pikir aku benar-benar dibutuhkan. Ternyata, aku hanya dibutuhkan ketika ia kesulitan, terutama tentang uang.
Setiap kali dia mengeluh, aku dengan refleks menawarkan bantuan. “Nanti aku transfer,” begitu kata-kata yang paling sering keluar dari mulutku. Anehnya, saat itu aku merasa bangga bisa menolong. Padahal jauh di dalam hati, aku mulai merasa ada yang janggal. Kenapa setiap obrolan selalu berakhir dengan angka rekening, bukan tawa Nam tulus?
Sampai suatu hari, aku benar-benar kehabisan tenaga, kehabisan sabar, bahkan hampir kehabisan tabungan. Aku mencoba untuk menolak, sekali saja, dengan alasan sederhana, yaitu aku juga sedang butuh. Sayangnya reaksinya bukannya mengerti kondisi aku, malah tiba-tiba dingin, menjauh, bahkan melempar kata-kata yang membuat dadaku sesak. “Kalau nggak bisa bantu, ya udah, percuma deket sama lo.”
Kalimat itu seperti tamparan. Rasanya semua cerita, semua candaan, semua percakapan panjang larut malam yang dulu kuanggap spesial, berubah jadi bayangan kosong. Ternyata, selama ini aku hanya dompet berjalan dengan nama dan wajah.
Hari-hari berikutnya aku merasa hancur, tapi anehnya juga lega. Hancur karena harus menerima kenyataan bahwa aku salah menilai kedekatan itu. Lega karena akhirnya mataku terbuka. Aku tidak bisa terus-terusan membiarkan diriku diperlakukan begitu. Aku berhak bahagia, berhak punya teman yang benar-benar peduli, bukan yang hanya menunggu notifikasi transfer.
Kini, setiap kali aku ingat lagi momen itu, aku justru bersyukur. Tahun ini, aku benar-benar merdeka. Bukan hanya dari belenggu orang lain, tapi juga dari kelemahan diriku sendiri yang dulu terlalu takut berkata “tidak”. Aku belajar, cinta diri itu kadang dimulai dari keberanian untuk menutup pintu bagi orang yang hanya datang untuk mengambil, bukan memberi.
Aku sadar, hidup ini bukan tentang seberapa banyak aku bisa menyenangkan orang lain, tapi seberapa tulus orang yang ada di sekitarku. Kalau memang ada yang pergi hanya karena aku tidak bisa lagi menjadi ATM untuknya, biarlah. Itu artinya mereka memang tidak pernah berniat menetap.
Merdeka kali ini bukan sekadar perayaan tanggal di kalender, tapi perayaan jiwa. Aku bebas dari topeng kepura-puraan hubungan yang semu. Aku bebas memilih untuk dikelilingi orang yang benar-benar peduli. Aku menolak untuk berada di sekitar mereka yang hanya berpura-pura peduli.
Aku janji pada diriku sendiri: tak akan lagi kubiarkan siapa pun menjadikan kebaikanku sebagai alat untuk dimanfaatkan. Karena akhirnya, kemerdekaan sejati adalah ketika aku bisa bilang, dengan hati ringan bahwa diri ini cukup berharga, bahkan tanpa mereka.










Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^