Belajar Menelaah Hitam-Putih Suatu Hal




Dokumentasi pribadi.




Terinspirasi dari postingan Keven: Selangkah Demi Selangkah Menuju Impian




Hidup ini seringkali memberikan kita banyak pilihan semata-mata untuk membantu kita mencapai tiap gol yang sudah kita ancang-ancang. Kita diwajibkan untuk memilih salah satu atau beberapa dari pilihan-pilihan tersebut, yang kita anggap bisa membantu kita. Plus, tanpa kita sadari, ada peranan dari sesuatu yang tidak kasatmata. Namanya Tuhan. Tuhan selalu membantu manusia dari jalan yang tak terlihat; lewat sesama kita, lewat sesuatu pula. 

Dua tahun lalu, Felix pernah menyampaikan ujaran yang sangat berharga. Dia pernah bilang: "Tuhan kasih rejeki bisa itu benar-benar berkat, bisa itu semacam ujian." Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang sampai sekarang. Berkat kata-kata itu pula (dan beberapa saran dari teman-teman), aku berhasil menyelamatkan IMMANUEL'S NOTES dari kemungkinan mendapatkan sesuatu yang lebih buruk. 

Ceritanya itu bermula dua tahun lalu. November 2013. Aku lupa kapan persisnya. Lupa pula mencatatnya dalam buku harianku. Karena, saat itu, mungkin aku hanya menganggapnya kejadian biasa. Walau, yah aku sadar, setelah coba mundur ke belakang, kejadian itu sangat berpengaruh dalam hidupku. Mungkin itulah saat di mana Tuhan mengujiku. Yah, menguji. Tuhan mengujiku untuk berani memilih mana yang benar, mana yang salah. Saat itu usiaku masih seperempat abad.  

Waktu itu, kondisiku bisa dibilang nelangsa. Meskipun tidak senelangsa setahun belakangan ini. Aku frustrasi untuk mendapatkan rejeki sendiri. Terkadang saat seseorang tengah terjepit dalam kondisi finansial yang lumayan berat, orang itu bisa gelap mata. Hilang sudah akal sehatnya. Persis seperti saat aku nekat mengunggah beberapa foto tengkurap yang gila-gilaan, yang nggak aku banget, yang semuanya itu hanya demi uang yang tak sebegitu besarnya.

Selain soal foto-foto aku di Social Frontpage, pernah lagi aku hampir kehilangan akal sehatku. Setelah ada orang yang mau pasang banner iklan di IMMANUEL'S NOTES, akhirnya aku menemukan yang lainnya juga. Tak tanggung-tanggung, orang ini berani bayar mahal. 1, 2 juta. Wow, lumayan jumlahnya. Aku bisa pamer ke keluarga--ke orangtuaku--bahwa aku mampu mencari uang sendiri. Pun mampu hidup di jalan yang sudah aku pilih sendiri. Namun, masalahnya itu: latar belakang si calon pengiklan. Dia ini mewakili sebuah situs judi yang mana iklannya itu suka menampilkan pula gambar-gambar cewek berpakaian seronok.

Omong-omong, maaf aku tak bisa memberikan bukti screen shoot-nya, apalagi nama orang tersebut. Tak etis-lah. Untuk mempermudah dalam menceritakannya, sebut saja dia sebagai Zo.

Zo ini berani bayar mahal untuk memasang beberapa banner selama kurang lebih tiga bulan. Seperti yang aku sudah bilang, terkadang situasi sulit bisa membutakan hati nurani seseorang. Aku pun nyaris tersilaukan dengan tawaran yang cukup menggiurkan. 1, 2 juta!!! Bayangkan, bagaimana aku tidak silau saat mendapatkan tawaran seperti itu di saat kondisi yang lumayan nelangsa, yang benar-benar butuh uang dalam jumlah lumayan banyak sekadar pembuktian ke keluarga, ke orang tua, ke Mendiang Mami. Hampir saja aku silap. Untungnya, aku agak tersadar. Sadar itulah yang mengantarkan aku ke sebuah dilema: menerima atau tidak.

Aku dalam posisi dilematis. Aku galau. Daripada membebankan pikiran yang nanti bisa bikin stress saja, aku memilih untuk mencurahkan isi hati ke beberapa teman. Tapi lagi-lagi datangnya solusi itu tak semudah membalikkan telapak tangan seorang bayi. Lagi-lagi aku masih dalam persimpangan jalan. Aku tetap diwajibkan untuk memilih mana pilihan yang terbaik. Sebab ada dua kubu. Kubu pertama, meminta aku menolaknya kalau hatiku tak tenang. Kubu kedua memilih aku terima saja. Bahkan ada seseorang yang berkata, "Ya udah, terima aja, Nuel. Toh cuma pasang banner aja." Aku sih sempat berpikir seperti itu. Namun setelah kutimbang-timbang, memang sangat berisiko jika kuterima tawaran uang 1, 2 juta itu.

Pertama, itu dari situs judi. Di Indonesia, saat itu lagi gencar-gencarnya memberantas pornografi dan perjudian. Menkominfo saat itu lagi galak. Kalau kuterima, bisa jadi kan, blog ini kena blokir. Juni lalu saja, IMMANUEL'S NOTES sempat kena blokir gara-gara beberapa postingan 'dewasa'nya.

Kedua, ini soal pencitraan. Kalau kuambil, apa kata pembaca IMMANUEL'S NOTES? Mereka pasti berpikir yang bukan-bukan. Dikiranya aku materialistis, dikiranya pula aku ini hobi main judi, disangkanya pula aku ini hobi main perempuan (yang terakhir hampir mengarah ke sana sih! :p). Pastinya juga beberapa pengunjung dan pembaca IMMANUEL'S NOTES akan merasa terganggu. Jangankan soal banner berbau judi dan seronok tersebut, soal postingan-postingan IMMANUEL'S NOTES yang berbau beberapa topik 'tertentu' (aku anggap pembaca sudah paham apa maksudnya), ada yang kurang senang. Kalau kupasang, berisiko blog ini ditinggal pergi. Lalu trafiknya turun drastis.

Ketiga, boleh dibilang, secara tak langsung, itu uang haram. Aku bisa tak tenang setelah uangnya masuk ke rekening aku. Bisa terus terpikirkan aku selama tujuh hari tujuh malam. Tidur tak tenang, makan tak bisa, lalu terserang sembelit parah. Berabenya lagi, bukan tidak mungkin aku berhadapan dengan kasus hukum lagi. Jujur, setelah kejadian pascalulus itu (kasus tanda tangan palsu, red), aku sebisa mungkin menghindari berhadapan dengan kasus-kasus hukum. Takut dipidana soalnya. Hanya orang tolol yang bisa jatuh sampai dua-tiga kali.

Karena ketiga pertimbangan itulah, lalu menyimak baik-baik masukan dari teman-teman yang terbagi dalam dua kubu, lama sekali aku merenung. Hingga akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan: tolak tawaran itu. Besoknya, aku buka surat elektronik dan kubalas: "Maaf, Mas. Saya nggak bisa terima. Saya nggak akan kuat sama konsekuensi yang akan saya terima. Itu melanggar hukum, melanggar norma agama yang saya anut juga."

Bagaikan godaan setan, si Zo ini tampak tak menyerah. Dia terus menggoyang imanku. Aku terus menerus menepis tawarannya tersebut. Hingga Zo pun menyerah setelah aku berkali-kali tegas menolak. Memang sih setelah kejadian itu, beberapa minggu ke depannya, aku tetap dalam keadaan nelangsa. Tapi jiwaku tenang. Lagipula, memang benar kata Felix, sampai sekarang pun aku masih merasa kejadian itu ujian Tuhan buatku. Dua bulan setelah menolak tawaran Zozo itu, di akhir Januari 2014, aku dapat rejeki. Kecipratan sih dari rejeki orangtua yang--maaf--tak bisa kuceritakan di IMMANUEL'S NOTES.

Oh iya, aku menceritakan pengalaman ini juga sekadar sharing semata. Jadikan saja pengalamanku ini sebagai suatu pembelajaran untuik tidak bertindak gegabah. Sebetulnya sih, kalau aku mau, aku bisa saja langsung ambil tawaran 1,2 juta itu. Aku butuh uang, tawaran itu datang di saat yang dibutuhkan. Bagaikan simbiosis mutualisme. Kelihatannya saja. Namun kalau dicermati baik-baik, untuk tipe orang lurus seperti aku, itu  bagaikan simbiosis parasitisme. Si Zo sih enak, dapat kesempatan beriklan. Tapi itu bikin hatiku tak tenang kalau kuambil. Tahukah kalian, tipe orang seperti aku ini memang begitu. Aku tak terbiasa bermain di jalan yang kotor. Hati nuraniku masih menyala layaknya matahari; belum tertutupi pula. Alhasil tawaran itu sangat menggiurkan, namun bikin hati selalu gelisah. Ambil-tidak-ambil-tidak,... begitu terus perang batin dalam diriku.

Dari kejadian tersebut, aku sadar pula akan banyak hal. Seperti aku sadar kelak ke depannya mungkin aku  bakal disodori tawaran-tawaran yang mungkin hitam-putihnya itu, aku tak bisa melihatnya dalam sekali pandang mata. Kalau tawaran Zo itu kuambil, itu sama saja aku membiarkan si hitam memburamkan hati nuraniku. Sehingga aku tak akan bisa membedakan mana benar, mana salah. Dari sana aku juga  belajar bahwa sesuatu yang baik itu bukan berarti  benar. Maksud Zo mungkin baik, tapi perbuatannya tak bisa dibenarkan pula. Sekali melanggar hukum, yah melanggar hukum. Kan kentara sekali melanggarnya, apalagi itu untuk tiga bulan ke depan. Kalau kuambil, ada yang meng-capture, mampuslah IMMANUEL'S NOTES.

Aku sangat berterimakasih sekali Tuhan mau memberikan ujian itu padaku pada saat itu. Aku sungguh diberikan suatu pelajaran berharga untuk memikirkan baik-baik apa saja yang menghampiriku. Jadi, tak langsung diiyakan begitu saja. Walau butuh uang sekalipun, tetap saja hati harus bermain. Jangan sampai seperti kebanyakan orang yang begitu kepepetnya itu sanggup melakukan apa saja seperti mencuri, menjambret, mencopet, menculik, hingga yang tingkat paling dewa, korupsi. Lagipula setelah aku tolak, memang sih butuh waktu lama untuk mendapatkan penggantinya, namun hatiku tak akan gelisah terus menerus.

Silakan bilang aku ini polos-lah, terlalu lurus-lah, whatever, I don't care. Itu prinsip hidup aku juga. Aku lebih baik hidup miskin daripada jadi kaya dengan cara-cara salah, yang bahkan merugikan orang. Seringkali juga, seperti yang kubilang sebelumnya, hitam-putih suatu hal itu tak langsung terlihat dalam sekali pandang mata. Butuh perenungan yang lebih mendalam untuk bisa melihat apakah itu benar atau salah. Benar juga kata dosen Pancasila-ku dulu. Yang baik belum tentu benar, yang buruk belum tentu salah.

Ahhh...

Mungkin pengalaman itu merupakan kali pertama aku berada di sebuah persimpangan, yang dihadapkan pada dua pilihan sulit, dan aku sudah memenanginya. Well. I had been succesful to prove that I'm such integrity guy.

At last, mohon jangan salah sangka dulu, aku tak bermaksud arogan. Hanya sekadar sharing kepada para pembaca sekalian untuk tidak berbuat gegabah. Sekali lagi kutekankan, hitam-putih suatu hal itu tak langsung terlihat dalam sekali pandang mata. Apa yang terlihat baik di depan mata, belum tentu baik. Aku pun sampai sekarang masih banyak belajar untuk menelaah hitam-putih suatu hal. Masih suka pula aku jatuh dalam pilihan yang salah. Masih sering juga aku berada dalam sebuah persimpangan jalan.







Comments

  1. Wajar kalau kita mengalami kebimbangan, itu manusiawi. Setiap keputusan memang harus dipertimbangkan matang, tapi terkadang pertimbangan matang juga gak cukup. Itulah gunanya Tuhan, kalau di agama gw Allah. Hitam atau putih, percaya aja itu sudah garis hidup kita. Kalaupun kita salah memilih, itu berarti Tuhan lagi ngasih kita pelajaran hidup untuk bisa lebih baik lagi. Itu. Salam supel..

    ReplyDelete
  2. Uang itu bukan segalanya, Nuel. Uang itu bisa dicari. Tapi yg namanya harga diri, prinsip, dan kepercayaan, sekali hilang, selamanya mungkin ga bakal bisa lu dapatkan kembali. Gua salut sama kegigihan lu, mau menghasilkan sesuatu dari hobi menulis lu (gua aja akhir2 ini udah ga ada waktu nulis blog akibat kesibukan menulis tesis)

    Semoga ini adalah awal dari suatu kisah yg suatu hari bisa lu banggakan ya. Oya, tadi liat postingan lu soal anniversary ke-6 Immanuel Notes. Gua ga sempet komen di sana, jadi gua ngucapin selamat di sini aja ya. Selamat ulang tahun yang ke-6 ya, Immanuel Notes! Semoga tambah sukses dan tambah menginspirasi para pembacanya! Aminnn =)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, agree. Harga diri, prinsip, dan kepercayaan memang sulit diciptakan. Heran aja masih aja ada orang yang seenaknya membuang ketiga hal yang sudah mereka miliki untuk sesuatu yang lebih rendah nilainya.

      Hahaha... sebetulnya dibilang hobi, udah bukan sih. Passion juga bukan. Lebih tepatnya panggilan. Panggilan gue jadi penulis. Bukannya arogan, but that's a fact indeed!

      Thank a lot. Anyway maksudnya ini apa: "Semoga ini adalah awal dari suatu kisah yg suatu hari bisa lu banggakan ya."? Apa yang bisa dibanggakan yah? Gue merasa biasa aja. Hahaha.

      Delete
  3. selain menyangkut norma dan agama tentu aja blognya jadi dipandang negatif kedepannya ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu!

      Bayangin kalau waktu itu beneran aku ambil, aku nggak tahu deh kejadian buruk apa yang bakal kualami bersama blog ini. Serem bayanginnya! >_<

      Delete

Post a Comment

Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~