Genre: Romance
![]() |
Nuel Lubis berada tak jauh dari Kantin Cici Fey, Kota Moderen, Tangerang. |
Ini
kali pertama aku mendatangi sebuah tempat bimbingan belajar. Biasanya
aku lebih sering mengikuti les privat saja. Guru yang mendatangi aku ke
rumah aku. Sepulang sekolah, tak ada alasan untuk bermalas-malasan, aku
langsung saja berganti baju dan menyiapkan materi yang akan menjadi
bahan diskusi aku bareng guru les.
Kali
ini berbeda. Mau tak mau aku harus bergabung dengan sebuah tempat bimbingan belajar. Kata
Bunda, kalau mau lulus SPMB, aku memang harus belajar di tempat
bimbingan belajar. Tidak boleh lagi aku mengandalkan guru les. Kak
Gloria juga membenarkan hal tersebut. Apalagi, menurut pengakuan Kak
Gloria, prosentase aku bisa masuk kampus dan fakultas favorit itu akan
semakin besar. Kutimbang-timbang alasan mereka berdua. Kupikir, ini akan
menjadi sebuah pengalaman berharga untuk aku. Siapa tahu juga, melalui
Opsha, aku bisa menemukan jalan ke arah Rachel. Jujur saja, aku sangat
merindukan Rachel. Sejak terakhir aku bertemu dengan dia dua tahun lalu tersebut,
aku lama tak bersitatap dengan perempuan berkacamata yang paling manis
tersebut.
Oh,
jadi seperti ini tempat bimbingan belajar. Rata-rata tempat bimbingan
belajar itu berlokasi di ruko. Itu dari hasil pengamatanku juga. Aku
nyengir sendiri, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh isi Opsha. Ada
Mas Andri, yang pertama aku dan Bunda temui untuk proses registrasi. Mas
Andri orangnya ramah dan lucu. Aku sangat menyukai kepribadian Mas
Andri. Selain Mas Andri, tak ada siapa-siapa lagi. Kata Mas Andri, Opsha
memang baru buka jam sepuluh. Kelas dimulai pada pukul sepuluh tiga
puluh. Ada jeda lima belas menit untuk sekujur tubuh ini menyesuaikan
diri dengan Opsha.
Aku
mungkin seperti orang hilang. Buktinya Mas Opsha tertawa. Diperhatikan
seperti itu, aku makin kikuk. Agar tak terlalu menarik perhatian, aku
duduk di sofa berwarna hijau.
"Jangan kaku-kaku, Dek," kata Mas Andri nyengir. "Di sini, orang-orangnya udah jinak, kok. Nggak galak. Udah divaksinasi juga."
Aku tertawa kaku.
"Emang mau masuk universitas mana?"
Aku
lalu menyebutkan satu universitas paling elit dengan jurusan yang
sangat keren sekali (untuk aku pribadi) yang berlokasi di Depok. Apalagi, kalau bukan jurusan
Komunikasi. Aku sangat berhasrat sekali menjadi seorang jurnalis atau
reporter. Setiap menonton acara berita, aku selalu membayangkan si
penyiar itu aku. Aku bahkan suka berlatih menjadi seorang reporter
lapangan di depan cermin.
"Wah, itu kan grade-nya tinggi, Dek. Adek kudu belajar ekstra keras biar bisa tembus. Saran saya sih, kalau masih mau masuk Komunikasi, kenapa nggak coba yang di Serang?"
Aku
hanya mengangguk, walau sebetulnya hendak berbicara. Baru mau membuka
mulut, datang seorang pengajar dari arah luar. Dia mengenakan jilbab
berwarna biru muda. Masih muda, dan cantik sekali kelihatannya. Mungkin
dia belum menikah.
"Kenapa, Mbak Fifi?" Mas Andri terkekeh-kekeh. "Kelihatannya kesel banget. Ada apa?"
"Kesel
aku, tuh, Mas. Hape aku hilang di dalam angkot. Mana baru beli dua
minggu lalu." Sehabis itu, seperti seorang ibu-ibu saat berbelanja
sayur, Mbak Fifi ini berceloteh panjang lebar. Kuduga, mungkin dia ini
guru bahasa Indonesia. Dia mengingatkanku dengan Ibu Retno yang bawel di
SMA Kelapa Cengkir. Apa semua guru bahasa itu seperti itu, yah? Haha.
Sontak
aku terpikirkan ide untuk naik ke atas. Aku ingin melihat ruang
kelasnya dahulu. Mas Andri mengijinkan. Ia menuntunku untuk masuk ke
ruang kelas. Pintunya menggunakan pintu geser. Dindingnya dicat hijau
muda. Aku bagaikan berada di ruang kelas TK saja. Begitu aku duduk di
salah satu bangku yang sering digunakan di kampus, Mas Andri menyalakan
mesin pendinginnya.
"Dari anak TK mendadak menjadi anak kuliahan, deh," sindir Mas Andri. Brengsek kamu, Mas, batinku terkekeh.
Setelah
Mas Andri, aku membuka modul dan membuka beberapa materinya, yang mana
aku lebih terpaku di materi Sejarah. Sembari membaca modul, aku
terbayang wajah seseorang yang nun jauh di sana. Rachel, aku kangen
kamu, kapan kita bisa bertemu lagi.
Pintu
digeser. Aku terbangun. Jantungku berdebar-debar. Tak mungkin, kan,
doaku langsung dijawab Tuhan. Kilat sekali. Untuk memastikannya,
kuangkat kepala. Ternyata bukan Rachel. Tapi, sih, entah kenapa wajah
perempuan berambut ikal ini begitu mirip dengan Rachel. Senyumannya sama
manisnya. Ingin kutelan layaknya Pop Ice rasa Melon.
"Belum
mulai, yah?!" tanya perempuan berambut ikal tersebut. Perempuan itu
tampaknya lebih tinggi dari aku. Mungkin tingginya sekitar 170 cm. Dia
mengenakan kaus berwarna hijau tua dan berkacamata. Kacamata yang
dikenakannya itu sangat modis sekali. Sangat cocok untuk parasnya yang
lumayan ayu.
"Be-belum, kok." Aku gugup sekali. Keringat mengucur deras.
Dia tertawa terbahak-bahak. "Nggak usah kaku begitu. Aku nggak gigit, kok. Oh iya, kenalin nama aku Amel."
"Farhan." Aku menyorongkan tangan untuk berjabat tangan.
Amel bergegas duduk. Dia duduk di belakangku persis. Aku mengintip sekilas. Amboi, cantiknya ciptaan Engkau ini, Tuhan.
Aku
tak tahu kenapa gadis itu suka langsung menengok ketika kita begitu
intens memandangi. Aku langsung panik saat dia menatapku balik. Oh,
jantung ini, semoga makin kuat berdetak beberapa kali lagi.
"Sekolah dari mana?"
"SMA Kelapa Cengkir."
"Oh, aku dari SMA Musafir. Nggak jauh, kok, dari SMA kamu."
"Iya, aku tahu. Apalagi, ada adik kelas sekolah di SMA Musafir."
Pintu
lalu digeser lagi. Gurunya datang. Ternyata Mbak Fifi yang menjadi
pengajar hari ini di ruang kelas Hijau ini. Kekeliruan kedua adalah
dirinya mengajar Matematika. Ada juga guru Matematika yang bawel. Aku
malu sendiri dalam hati.
Selanjutnya,
olala, sepertinya aku mulai jatuh hati dengan Amel. Menurutku, dia itu
cantik, cukup ramah, memiliki selera humor yang sangat bagus, dan tahu
kapan waktu terbaik untuk bercanda dan serius. Dia juga jago sekali
dalam mengajar. Penjelasan dari Amel malah cukup efektif daripada dari
tiap pengajar di Opsha.
Karena
itulah, sepulang dari Opsha--yang mana jam belajarnya berdurasi hampir
jam, aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi warnet yang tak jauh
dari Opsha. Apa yang kulakukan? Aku diam-diam menyelidiki lebih jauh
tentang Amel. Aku berhasil mendapatkan alamat Friendster-nya. Astaga,
cowok ini siapa dia? Dia punya pacar? Cowok ini pacarnya atau temannya?
Tuhan,
apakah ini yang dinamakan patah hati? Sakit tak terperikan. Aku
mendadak hilang selera makan, yang sebelumnya perutku keroncongan. Aku
benar-benar bingung. Sebab, aku tak cukup berpengalaman dengan cinta,
khususnya dengan patah hati. Berkali-kali aku memandangi foto Amel
bersama cowok yang ternyata bernama Febrian. Ah, mungkin seperti itu.
Berbekal
dugaan seperti itu, rasa patah hati ini sedikit berkurang. Sejak
itulah, aku makin intens mendekati Amel. Di pikiranku, bergaung-gaung
pemikiran bahwa Amel masih jomblo dan cowok itu hanya teman sekolah
Amel. Mungkin teman dekat Amel, cowok berkacamata tersebut. Itulah yang
membuat hari-hariku belajar di Opsha menjadi seperti sebuah petualangan
saja. Bunda, maafkan anakmu ini. Bukannya belajar untuk SPMB, eh dia
malah mengejar-ngejar cewek. Keterlaluan memang aku ini!
![]() |
Nuel Lubis tengah berada di Kedai Kopi 4D yang terletak di belakang Perumahan Taman Anyelir, Pinang, Tangerang. |
Tiga bulan kemudian,
Cinta
oh cinta. Cinta seringkali mengubah seorang penakut menjadi pemberani.
Otakku telah dikuasai oleh wajah manis Amel. Posisi Rachel jadi sedikit
tergantikan. Padahal aku lumayan sering berjumpa dengan Rachel selama
ospek tempo lalu. Lucu juga, yah?!
Aku
juga bingung ini maksudnya apa. Banyak sekali bantuan yang kudapatkan
agar segera bertemu dengan Amel. Mulai dari tak sengaja bertemu dengan
teman satu sekolah Amel (yang bernama Rudolf) hingga aku berhasil
mendapatkan nomor telepon Amel. Aneh, kenapa Mas Andri mau saja
memberikan nomor telepon Amel kepadaku? Tak takutkah dia, aku akan
berbuat macam-macam? Ah, itu nanti saja kupikirkan. Sekarang inilah
saatnya kujajal nomor telepon tersebut.
Ternyata
nomornya aktif. Mas Andri tak berbohong. Dasar aku yang sedang
beruntung. Amel sendiri yang menjawab. Jantungku berdebar-debar. Kujawab
saja, aku Farhan dari Opsha. Aku dan dia lalu berada dalam sebuah
obrolan yang cukup lama. Kurang lebih lima belas menit, aku dan dia
mengobrol. Di akhir obrolan, dia memberikanku nomor ponselnya. Harapanku
membuncah hingga melampaui langit ketujuh.
Amel, tolong jangan angkat aku setinggi-tingginya. Kalau jatuh, sakit, Mel!
PS:
Cerita
ini hanyalah fiksi belaka yang tak ada kaitannya dengan tempat,
kejadian, atau tokoh apapun. Walaupun demikian, beberapa hal tertentu
dari cerita ini mengacu ke pengalaman aku sendiri. Cerpen ini pula terinspirasi dari pengalaman seorang teman saat aku masih belajar di sebuah bimbingan belajar. Beberapa nama dan tempat di dalam cerpen ini sengaja disamarkan.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^