Genre: Romance
GINGHAM CHECKBaju lengan pendekYang dirimu pakaiTampak sangat kerenRasa sayang dan kepedihanHati ini berpola kotak-kotak
Aku terbangun. Kulihat sekeliling aku. Masih tetap seperti itu. Ya iyalah, tidak mungkin pemandangan berubah drastis. Aku masih tetap berada dalam sebuah KRL. Alunan lagu itulah yang membangunkanku. Sebetulnya laki-laki dengan headset ala DJ ini tidak terlalu mengganggu sekali. Dia, kan, sudah mengenakan headset. Tapi tetap saja, karena aku duduk di dekatnya, aku jadi terganggu. Lirik demi lirik dari lagu tersebut, membangkitkan suatu kenangan dalam otak. Aku teringat dia.
Dia. Dia itu perempuan yang sangat menggemaskan. Aku ingat, aku selalu ingat tiap detail pertemuan kami berdua. Terutama saat aku datang lebih dulu ke gedung gereja itu. Untuk belajar sidi (yang konon merupakan syarat untuk menikah di agama yang kuanut). Yang kuingat, aku duduk di pinggir kolam. Belum ada satu pun teman yang datang. Aku bebas merenung. Biasanya yang kurenungkan itu setiap pengalamanku di sekolah barusan. Betapa sulitnya seorang Juan mendapatkan nilai tujuh untuk satu mata pelajaran. Aku bosan remedial. Aku jenuh dimarahi Bunda terus menerus. Aku juga takut tinggal kelas. Yah, kurang lebih itulah yang kulakukan. Merenung sambil memandangi pemandangan. Yang paling aku sukai itu menyaksikan pembangunan sebuah gedung pencakar langit. Kabarnya gedung ini akan dijadikan apartemen--atau pusat perbelanjaan, yah?
Lima menit kemudian, Ibu Mina datang. Dia itu salah satu pengajarnya. Cara mengajarnya lumayan enak. Tidak kaku. Ibu Mina lebih sering bercerita mengenai setiap pengalamannya. Selalu ada yang bisa kupetik tiap mendengarkan ceritanya. Penjelasannya juga amat mudah dicerna. Aku menyukai Ibu Mina selayaknya Bunda.
Bu Mina lalu duduk di dekatku. Aku dan dia terlibat obrolan singkat. Awalnya dia banyak bertanya mengenai kehidupan sehari-hari aku. Dia bertanya aku tinggal di mana, aku sekolah di mana, ayah bekerja apa, dan bla-bla-bla. Aku menjawabnya sejelas mungkin, sesopan mungkin. Sejak dulu, aku tak masalah ditanya-tanya seperti ini. Aku senang diwawancarai. Lagipula setiap pertanyaannya tak sulit sampai dia menanyakan satu hal padaku. Dia bertanya apa aku pernah jatuh cinta. Selanjutnya dia bertanya apakah ada yang kusukai di kelas sidi.
Bibirku kelu. Aku sulit menjawabnya. Jantungku mendadak berdebar-debar. Bayangan seorang perempuan menghampiri pikiranku. Perempuan berkulit mulus, berkacamata, dan berambut panjang berurai-urai. Aku tak berani bilang ke Bu Mina, bahwa aku sangat jatuh hati ke Hanna. Namun, Bu Mina menunggu jawabanku. Dia mendesakku. Aku tergeragap. Pada saat itulah, Hanna muncul. Sebuah mobil Kijang berwarna hijau berhenti. Hanna keluar dari Kijang itu. Dengan sebuah tas tangan tersampirkan di bahunya, dia berjalan. Mataku melotot saja, memandangi cara berjalan Hanna yang perlahan-lahan mendekati aku dan Bu Mina. Ingin kubilang, "Bu, itu perempuan yang aku suka," Terpaksa aku urung. Aku menganggap itu sebuah perbuatan bodoh sekali.
Satu kenangan berakhir. Kenangan lainnya bermunculan. Kali ini aku meloncat ke sebuah masa. Itu berjarak beberapa bulan sesudah kejadian Bu Mina bertanya padaku mengenai cinta. Kali ini latarnya itu sebuah hotel. Aku bersama teman-teman tengah ret-reat di Hotel Justin. Ini kali pertama aku pergi ke luar komplek tanpa keluarga. Pasti aku gugup. Ketakutan demi ketakutan bergentayangan di pikiranku. Yang menyenangkanku itu hanyalah satu. Hanna ikut dalam rombongan. Malah Hanna duduk di depanku. Aku sangat bahagia. Beberapa kali aku curi pandang ke Hanna, yang mengenakan kardigan merah, topi lusuh, baju lengan pendek (atau mungkin itu you-can-see), celana di atas lutut yang bermotif Hawaii, dan sepatu sneaker. Amboi, manis sekali kamu Hanna. Suaranya sangat merdu saat dia tengah mengobrol dengan Ina, temanku yang sangat menghibur (Kabarnya Ina sering menyanyi di kafe). Hanna, tahukah dirimu, aku sangat mencintai dirimu? Bagaimana caranya agar perasaan ini tersampaikan kepada kamu, Hanna? Aku takut, aku malu. Aku merasa tak layak mendapatkan perempuan semenawan Hanna.
Selepas itu, sesudah ret-reat, selesai aku dan teman-teman ditahbiskan, aku tak berjumpa dengan Hanna lagi. Namun, pertemuan dengan Hanna selama empat-lima bulan itu sudah cukup untuk aku. Bayangan wajah manisnya selalu terbayang di benak aku. Itu merupakan pembangkit semangat luar biasa untuk aku. Aku sering termotivasi untuk mendapatkan nilai bagus karena sosok Hanna. Aku juga selalu memiliki keyakinan tinggi kelak akan berjumpa dengan Hanna lagi, yang entah kapan. Tenang saja, Hanna, aku selalu menjaga hati ini. Kelak, bersiaplah, Hanna, aku akan menembak kamu.
Aku tak tahu apakah ini jawaban Tuhan atau tidak. Setahun-dua tahun kemudian, di sebuah kampus swasta, aku dan Hanna berjumpa lagi. Ini sebuah keajaiban luar biasa untuk aku. Intuisi aku benar. Malam sebelum hari ujian pertama, sebelum tidur, aku berandai-andai mungkin saja aku bakal bertemu dengan Hanna. Aku tidak tahu ini namanya apa. Yang jelas, kerinduanku terbayar. Aku senang bisa bertemu dengan Hanna lagi. Bahkan, di kemudian hari, salah satu teman sekolah Hanna akan menjadi teman kuliahku di fakultas Hukum (nama temannya itu Flora).
Walau aku dan Hanna itu berbeda fakultas, aku tetap bahagia. Ada saja aku dan Hanna bertemu. Pernah aku tak sengaja bertemu Hanna di lorong gedung BKS. Aku hendak pulang, Hanna baru tiba di kampus. Saat aku tengah jengkel dengan satu-dua teman kuliah, senyuman Hanna menenteramkan batinku. Aku seolah melihat bidadari dari kahyangan. Hanna sungguh seorang tuan putri untuk seorang Juan. Hanna, maaf yah, aku masih belum berani menyatakan cinta ke kamu, yang selain aku masih terbakar api kecemburuan melihatmu berjalan berdampingan dengan laki-laki lain. Mungkin, ke depannya, aku akan menyatakan perasaan tertunda ini ke kamu dengan beraninya.
Walaupun aku sangat menyukai dirimuKu s'lalu menyembunyikannya
Aku tertawa mendengarkan lirik itu dinyanyikan oleh beberapa perempuan. Itu sangat tepat sekali dengan yang kualami bersama Hanna. Mungkin aku hanya sekadar teman untuk seorang Hanna. Sampai sekarang pun, aku masih belum berani menyatakan perasaanku ke Hanna. Aku ini seorang penakut, yang kisah cinta seperti ini sudah membuatku sangat bahagia. Kesempatan terakhir untuk menyatakan perasaan ke Hanna, malah kubuang. Aku hanya membiarkan Hanna lewat. Yang kuucapkan hanyalah, "Selamat, yah, Hanna." Hanya itu. Selanjutnya, setelah upacara wisuda di Jakarta Convention Center tersebut, aku tak pernah bertemu dengan Hanna lagi. Kontak terakhir dengan Hanna adalah SMS aku saat tahun baru enam tahun lalu. Hanna tak membalas. Aku coba berpikir positif. Mungkin saja Hanna kehabisan pulsa. Walau demikian, setan di pundak kiriku selalu memprovokasiku bahwa aku sudah ditolak oleh Hanna. Mana yang benar? Apakah aku masih harus menunggui Hanna? Atau, sudah saatnya aku menutup rapat-rapat pintu hatiku untuk Hanna? Bagaimanapun perempuan itu banyak, bukan? Aku jadi galau di dalam KRL ini.
Hanna, kamu di mana? Apakah kamu sudah menikah? Begitulah gumamku sembari melihat sisa-sisa foto Hanna yang ada di dalam ponselku. Aku menyimpan foto-foto ini dari setiap media sosial Hanna. Entah itu dari Facebook, Twitter, atau Instagram Hanna sendiri. Ada ratusan foto Hanna tersimpan di folder ponselku. Aku lalu iseng membuka Facebook Hanna. Lagi-lagi Hanna tak memperbaharui halaman Facebook-nya. Hanna bagaikan ditelan angin.
Hanna, tahukah kamu, karena kamu, aku tertarik belajar bahasa Perancis. Aku sempat ingin mengunjungi Kanada karena dirimu. Montreal dan Toronto merupakan dua contoh kota yang sangat ingin kudatangi. Dulu kamu pernah tinggal di sana, kan, Hanna? Apa mungkin kelak kita bertemu kembali di sana--Kanada, maksudku? Aku siap beranjak ke Kanada demi kamu, Hanna!
Lamunanku terhenti. Petugas KRL memperingatkan bahwa kereta akan bersiap memasuki stasiun Rawa Buntu. Aku pun bersiap berdiri, juga lelaki berbaju merah dan kaligrafi yang sangat menarik hati.
PS:
Cerita ini hanyalah fiksi belaka yang tak ada kaitannya dengan tempat, kejadian, atau tokoh apapun. Walaupun demikian, beberapa hal tertentu dari cerita ini mengacu ke pengalaman aku sendiri.
Cerita ini hanyalah fiksi belaka yang tak ada kaitannya dengan tempat, kejadian, atau tokoh apapun. Walaupun demikian, beberapa hal tertentu dari cerita ini mengacu ke pengalaman aku sendiri.
Maka mangga yang mana lagi yang kau dustakan?
ReplyDeleteXD
#Salfok
Btw ini nama-nama idol favoritku semua deh
Mina dari TWICE
Hanna dari GUGUDAN
Nggak usah digoogle nanti pindah oshi XD
Ini sebetulnya true story loh. Penamaan tokoh-tokohnya ga sengaja mirip. Aku cuma comot dari nama-nama orang yang pernah masuk ke hidup aku. Hehe. Ga ada kaitan ke sana. Ini bukan fan fiction juga, maaf.
DeleteThank udah komen juga, Aul.... 😄
Delete