Genre: Romance
Aku lajang. Sepertinya aku sudah biasa hidup dalam kesendirian. Kala teman-temanku sibuk hang out dengan kekasihnya, atau sibuk menggodai lawan jenis di mal, aku lebih suka berkutat di depan komputer sendirian saja. Tebak, diriku ini siapa?
Yak, aku ini seorang mahasiswa IT. Bahasa Indonesianya, Sistem Informatika. Padahal, mata kuliahnya saja sudah rumit. Kabarnya, ada seniorku sampai ikut pelajaran tambahan agar bisa lulus sebuah mata kuliah tertentu. Namun, aku malah menyukai setiap kerumitan yang ada. Darahku seolah bergelora tiap melihat kode-kode HTML.
Begitulah yang kulakukan di kamarku pada malam minggu kali ini. Tiga hari ada sebuah perusahaan lumayan elit menyampaikan penawaran padaku. Mereka minta dibuatkan satu template. Aku diijinkan untuk membuka harga sendiri. Aku bingung sendiri menentukan harga awalnya. Perundingan lumayan alot, hingga angka sembilan ratus ribu mengakhiri negosiasi. Aku didaulat untuk merancang situs mereka.
Repotnya pekerjaan ini: kita harus berhati-hati. Konsentrasi adalah sesuatu yang mutlak. Salah sedikit, maka tak akan terjajal template buatan kita. Temanku, Alex pernah terisak-isak karenanya. Bayangkan saja, di detak-detik terakhir, template buatannya tak terjajal. Ternyata dirinya salah beberapa karakter. Alex harus mengulang mata kuliah lagi. Dosennya dengan sadis memberikan nilai D.
Aku sendiri tidak pernah mengalami hal seperti itu. Sejak kecil, kata Mama aku, aku dikaruniai tingkat konsentrasi maha tinggi. Nilai Matematika merupakan salah satu buktinya. Sejak SD hingga SMA, nilai Matematika aku selalu nyaris sempurna. Karena itulah, Mama sering memintaku untuk memeriksa pembukuan dari usaha wartel yang dimilikinya.
Namun, ada kalanya kejenuhan melandaku. Kedua mataku mulai berat. Pandanganku jadi samar-samar seperti mata orang berminus tinggi (walau aku sendiri memang berkacamata dengan minus tinggi). Ah sudahlah, aku istirahat saja. Daripada nanti malah menjadi semakin berantakan, klien aku jadi marah besar. Uang tak kudapatkan. Buntutnya aku mungkin bakal disuruh ganti rugi.
Aku buka Youtube. Belum apa-apa aku sudah melihat sebuah MV. Dari sebuah girlband begitu. Jujur saja aku kurang begitu menyukai musik yang seperti ini. Terlalu ramai, menurutku. Tetapi, untuk saat ini, ada dorongan tersendiri untuk menontonnya. Aku penasaran kenapa Alex sangat menyukai hiburan semacam ini. Dia malah bisa seharian menonton video seperti ini. Karena alasan seperti itulah, kuputar.
Aku nyengir sendiri. Asyik juga musiknya. Energik juga. Pantas Alex sangat menyukainya. Isi MP3-nya didominasi oleh lagu-lagu girlband ini. Alex, Alex, aku paham sekarang. Aku bagaikan menjilat lidah sendiri.
Tiba-tiba jantungku berdetak-detak. Lebih kencang daripada yang biasanya. Mataku seperti terarahkan ke arah salah seorang personel. Dia cantik juga. Rambut kuncir duanya itu sangat membuatku terkesima. Namanya siapa perempuan ayu ini?
Oh iya, apakah ini yang disebut eyelock? Mataku terkunci hanya ke seseorang.
*****
[Clara]
Memang ini mimpiku. Aku ingin bisa tampil di panggung, lalu ditonton jutaan pasang mata. Dua tahun lalu, saat aku lolos audisi, aku seperti tengah dipeluk oleh malaikat. Dewi fortuna sangat berada di sampingku. Tapi, itu dulu.
Sekarang, aku merasa hari-hariku seperti neraka. Pulang sekolah, aku sudah dijemput ke tempat latihan. Di waktu-waktu tertentu aku bahkan harus ijin hanya untuk perform. Pernah aku harus bangun pagi-pagi buta. Dikarenakan aku harus tampil di sebuah acara televisi yang tayang tiap jam tujuh pagi. Mata masih mengantuk, sarapan seadanya, mandi seadanya pula. Itulah duniaku. Tak seindah kelihatannya.
Sekarang ini aku tengah berada di sebuah mal. Mal ini dulu sering kudatangi bareng teman-teman SD aku. Aku dan teman-teman asyik ke bioskop atau ke arena bermain. Namun, sekarang aku berada di mal ini sebagai orang yang berbeda. Kalau dulu, aku yang menonton. Kini aku yang ditonton oleh belasan remaja, bahkan ada yang masih seusia pelajar SD kelihatannya.
Tadi aku dan teman-teman sudah perform satu lagu. Kami istirahat dulu. Sebentar lagi aku dan yang lainnya akan naik panggung lagi.
"Giliran kita," salah satu manager kami mengomandoi.
Aku dan yang lainnya naik panggung. Astaga, apa ini? Jantungku kenapa jadi berdebar-debar? Di tengah konsentrasiku untuk menari dan menyanyi, aku coba mengedarkan pandangan ke sekitar panggungku. Mataku tertuju ke seorang pemuda. Pandanganku seolah terkunci ke pemuda tambun dan berkacamata tersebut. Anehnya lagi, gerak tubuhku masih mengikuti gerakan teman-temanku yang lainnya. Yang terkunci hanyalah pandangan mataku saja, yang seratus persen tertuju kepada si pemuda tersebut.
Aku dan si pemuda baru kali ini berjumpa. Aku di atas panggung, dia di bawah panggung. Aku menyanyi, dia menonton--walau aku ragu, dia bagian dari penontonnya. Yang dia lakukan itu hanyalah duduk sambil memperhatikan laptop. Mungkin laptop itu bagian dari pekerjaannya. Sebab, dia tampak serius sekali dengan laptop-nya
Ya Tuhan, siapakah pemuda itu? Kenapa mataku terus menerus tertuju pada dirinya. Aku hampir saja kehilangan konsentrasi.
*****
[Alex]
"Bro," ujarku kepada Theo yang malah asyik sendiri dengan laptop. "Ditonton, dong. Tuh, Red Jungle lagi manggung. Katanya, mau lihat Red Jungle tampil. Tuh."
Aku tergelak. Padahal, yang minta ke PGC juga Theo, eh dia malah sibuk sendiri dengan laptop-nya, walau matanya suka mencuri-curi ke arah panggung, ke arah Clara. Tapi aku senang dia jadi menyenangi apa yang kugemari. Theo sungguh sahabat sejati. Aku juga senang saat mengetahui Theo jatuh cinta. Selama ini, kulihat Theo seperti orang yang buta mengenai cinta. Kukira, selain terhadap kode-kode HTML dan CSS, dia tak bisa jatuh cinta lagi. Theo harus dibantu. Bagiku, itu suatu perkembangan yang sangat bagus untuk temanku yang suka makan, selain hobi ngoding.
"Theo, lihat dulu," Aku menolehkan paksa kepala Theo ke arah panggung. "Nah, cewek yang lu maksud itu, dia namanya Clara. Kabarnya dia masih kelas 11. Nanti, kalau lu mau kenalan, gue bisa bawa lu ke dia. Gue tau caranya ngedeketin cewek kayak Clara ini. Percaya sama gue, Theo!"
"Lu yakin bisa?" Nada Theo terdengar skeptis.
Aku mengangguk mantap. "Percaya aja sama gue. Udah, sekarang lu matiin laptop. Kerjaan bisa dikerjain nanti. Buruan, mereka mau bergegas pergi. Eh, nanti lu yang ngomong sendiri atau gue bantuin?"
"Lu yakin, Lex, bisa?" Theo masih skeptis.
"Percaya sama gue! Gue udah berpengalaman soal hal-hal beginian!" Untuk meyakinkan Theo, kukeluarkan ponselku. Aku tunjukan isi phonebook yang ada di ponsel. Theo sepertinya terperangah. "Ini buktinya, gue sangat berpengalaman dalam hal kayak begini."
"...sampe lu sering ngulang mata kuliah, yah,"
Theo sialan. Sudah dibantu, dia malah mengejekku. Namun aku hanya nyengir saja. Tergesa-gesa aku malah membantu Theo berkemas. Aku dan Theo sedang berpacu dengan waktu. Semoga aku sempat mempertemukan Theo dengan Clara.
PS:
Cerpen ini terinspirasi dari beberapa temanku. Aku memiliki beberapa teman yang hobi ngoding, juga yang terbiasa dengan panggung hiburan. Oh iya, sekali lagi, mohon maaf jika ada yang tak berkenan. Aku menulis tanpa memiliki niat negatif sama sekali.
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^