Genre: Romance
Pelangi. Ada mitos yang mengatakan,
jika kau bisa menemukan ujung pelangi, cinta sejati akan didapatkan. Tak tahu
benar atau tidak. Namun lumayan banyak orang termakan.
Begitu juga dengan Wawan. Seusai
hujan reda, tergesa-gesa ia keluar rumah. Hanya dengan kaos oblong dan celana pendek menyerupai boxer. Tak peduli bagaimana seringaian
orang, ia rela memutari komplek tujuh kali. Hanya demi menemukan ujung pelangi.
Pencarian baru berakhir, saat ia bersua dengan seorang gadis. Ada sesuatu dalam
iris si gadis yang membuat ia berhenti. Pelangi. Beranjak ia beringsut
pinggirkan sepeda motornya.
Gadis itu… Berambut panjang, tirus,
mata menyipit, dan tingginya khas perempuan Indonesia. Juga dengan warna
kulitnya, sawo matang yang eksotis. Cukup sepadan dengan seragam safari ala
pegawai kantor pemerintahan yang dikenakannya. Gadis itu terkejut, saat dihampiri
oleh seorang pemuda asing. Sebab tak sedikit pun ia mengenali siapakah pria itu.
Risih juga, walau dari posturnya, ia tahu pria itu sebaya dengannya.
“Ada perlu apa, yah, Mas?” Tampak
kerutan di jidat gadis itu.
“Tidak apa-apa,” jawab Wawan “Tapi
pernahkah engkau dengar, mitos soal pelangi?”
“Oh, mitos pelangi?” Kepalanya
berjengit pelan. “Banyak yang bilang, siapa yang bisa menemukan ujung pelangi,
ia akan bisa menemukan cinta sejatinya.”
“Baru saja saya menemukan ujungnya.”
“Bukankah itu hanya mitos?”
Disangkanya ucapan Wawan terakhir tadi hanya kelakar – atau mungkin gombalan
belaka. “Tak ada yang namanya ujung pelangi. Pelangi itu fenomena alam, bukan
sebuah benda yang jelas tiap sudutnya.”
Wawan bersikukuh dengan opininya.
“Serius, aku baru saja menemukan ujung pelangi. Dan ujung itu ada di sana.” Ia
mengarahkan jari telunjuknya pada sebelah mata si gadis. Si gadis memerah kedua
pipinya laksana warna buah jambu yang baru saja matang.
Ia menggamit lengan si gadis
mendekati spion sepeda motornya. Si gadis berontak, tapi menurut saja dan
menatapi parasnya di cermin. Alangkah kaget nian gadis tersebut. Ada pelangi
tampak di bola matanya. Wawan jadi cengar-cengir tak jelas.
“Nah sekarang terbukti sudah
kebenaran mitos tersebut. Lagipula selalu ada pepatah yang berkata, ‘ada asap
ada api’. Kalau boleh tahu, siapakah nama anda?”
Masih menatap cermin, ia menjawab,
“Wati.”
Ganti Wawan yang kaget. Apakah ia berjodoh
dengan gadis ini? Inisial gadis ini dan inisialnya sama: W. Hmmm…
![]() |
Dokumentasi pribadi. |
“Hmmm….” Seorang wanita berprofesi
redaktur sebuah harian ibukota bergumam, persis di depan seorang penulis yang
rambutnya acak-acakan. Redaktur itu baru membaa halaman pertama dari salinan
naskah si penulis.
“Seperti biasa, Erland, karyamu itu
begitu manis kesannya. Cerpen-cerpenmu selalu dipenuhi dengan unsur romantisme.
Gara-gara kamu kotak surat elektronik kami jadi kebanjiran pesan. Semuanya berisi
pujian untukmu; dan menurut penelitian kami, tiap kali cerpenmu kami muat,
oplah langsung naik. Padahal harian ini bukanlah harian sastrawi, ini kan
harian umum.”
Erland sumringah.
“Jadi naskah saya dimuat, dong, Bu?”
Seharusnya ia tak perlu menanyakannya, jika mendengarkan kata-kata redaktur
itu. Tapi sebagai seorang manusia, ia butuh sebuah kepastian; bukan kata-kata
gombal yang ia perlukan.
“Pasti-lah, tapi tidak untuk nomor
depan. Mungkin untuk dua nomor lagi. Untuk nomor depan, jatahnya sudah diambil.
Tidak apa-apa, kan?” ujar redaktur itu tersenyum.
“Tak masalah.” balas Erland
tersenyum.
“Oh iya, honornya mau kamu terima
langsung?”
“Tak usah repot-repot, nanti saja
setelah karya saya dimuat.”
“Anda ini kaku sekali, yah?”
Redaktur itu terkikik. “Santai saja-lah. Lagipula dengan pemberian honor di
muka, ini memastikan kalau naskah itu tak dikirim lagi ke media lain. Rugi
kami, kalau sampai kehilangan keuntungan yang besar.”
“Kalau anda tak keberatan saya
sungguh tak menolak.”
Redaktur itu tergelak. “Anda ini
sungguh punya selera humor. Yah tidaklah, saya tak keberatan sama sekali.
Masakan saya keberatan memberikan honor di muka untuk seorang penulis yang
sudah memberikan keuntungan lumayan besar bagi harian ini?”
“Oooh…” Hanya itu yang keluar dari
mulut Erland.
“Oh iya, ada satu hal yang saya mau
tanyakan,” kata redaktur itu setelah tawanya mereda. “Ini menyangkut
naskah-naskah anda. Apakah anda punya seorang kekasih?”
Redaktur itu tahu pertanyaan itu
terlalu privasi. Karena itulah, ia segera menerangkan apa maksudnya, “Jangan
tersinggung dulu. Saya tak bermaksud mengobok-obok privasi anda, hanya saja
telah banyak orang yang bertanya pada kami apakah penulisnya sudah punya
kekasih atau tidak. Bahkan ada yang begitu apriorinya mengatakan anda pasti
memiliki pengalaman bercinta yang dahsyat. Benarkah demikian?”
Erland menggeleng. Mungkin saking
terlalu seringnya cerpen-cerpennya dimuat, ia jadi terbawa suasana yang
menyebabkannya menjawab, “Berpacaran saja saya belum pernah.” Untung saja, ia
hanya berdua saja dengan si redaktur di ruangan redaktur itu sendiri. Sehingga,
rahasia kecilnya itu kemungkinan hanya diketahui redaktur itu saja. Begitu
pendeknya pikiran si penulis.
Mata redaktur menyipit ke arahnya,
seolah tak percaya dengan yang didengarnya.
“Demi apa? Anda belum pernah
menjalin hubungan asmara sedikit pun? Padahal anda ini, saya lihat, tampan dan
memiliki raga yang lumayan perkasa. Pasti banyak wanita yang melirik, saat anda
berjalan melewati mereka. Anda ini masih ‘normal’, kan?”
Penulis itu hanya nyengir. Di kalangan komunitas sastra,
ia memang terkenal supel. Jarang sekali terlihat emosinya membuncah. Mungkin ia
lebih suka melampiaskan emosinya ke dalam sebuah tulisan.
“Saya justru masih mengenangkannya
dalam diri saya. Namun sepertinya, ia tak tahu kalau ia punya pengagum
rahasia.”
Mengertilah redaktur itu soal
masalahnya. “Ternyata jatuh cinta diam-diam… Anda tipe pemalu, rupanya.”
Seperti tak terima, ia protes.
“Bukan pemalu juga, hanya saja saya enggan untuk menyatakannya; lagipula saya
juga bukan tipe orang yang langsung klop dengan seseorang. Saya enggan, karena
cinta saya cinta pada pandangan pertama.”
Bukan maksudnya memotong, hanya saja
mungkin karena terlalu antusias. “Mengapa enggan? Dan memang dimana anda bertemu
dengannya?”
“Di bimbingan belajar semasa SMA
dulu.” jawab Erland. “Ingin saya dekati, tapi saya teringat bahwa perempuan itu
tak terlalu menyukai laki-laki yang suka tebar pesona atau pun bergombal ria.
Saya juga tak ingin dibilang aneh, kalau saya jujur bilang jatuh cinta pada
pandangan pertama dengannya. Sebab banyak yang bilang, cinta pada pandangan
pertama itu omong kosong; itu nafsu, bukan cinta.
Redaktur itu berusaha menahan tawa.
“Lalu bagaimana dengan gadis itu?”
“Entahlah,” Erland mengedikan bahu.
“ Menurut gosip yang saya dengar, dia sudah punya kekasih yang merupakan
temannya semasa kuliah.”
“Apa dia tahu soal perasaan anda?”
Ia menggeleng.
“Apapun statusnya, anda sebaiknya
tetap memberitahukan soal perasaan anda. Jangan biarkan dia memiliki delusi
dirinya punya penggemar rahasia. Dan satu lagi, mungkin sebaiknya anda perlu
mencari seorang kekasih. Ini demi cerita anda agar terkesan alami.”
“Apakah seorang penulis cerita
misteri, harus jadi detektif atau kriminal dulu agar ceritanya alami?” tantang
balik Erland.
“Jangan marah dulu,” Redaktur itu
berusaha mengondusifkan keadaan. “Ini juga demi kepentingan anda. Karena
menurut saya, anda berhak juga mendapatkan akhir bahagia seperti kebanyakan
cerita yang sudah anda buat. Bukankah akan jadi seimbang jikalau antara fakta
dan fiksi berada dalam suatu garis lurus?”
Tutur kata terakhir sang redaktur membuatnya
terpekur. Tak hanya terpekur, namun itu juga terus terngiang-ngiang di
telinganya, bahkan saat ia sudah berada di kamar apartemennya. Ia renungkan
baik-baik, ucapan tersebut benar adanya. Ia berhak juga merasakan indahnya
keindahan berasmara seperti layaknya tokoh-tokoh rekaan yang ia buat. Apalagi
memang sudah saatnya ia memikirkan urusan hati. Karir menulisnya juga sudah
aman. Ia sudah bisa hidup dari menulis. Dalam benaknya, mulai besok, ia harus
lebih menyeriusi kehidupan asmaranya. Ditambah lagi, bukankah mereka sering
bilang ‘di balik kesuksesan pria, ada seorang wanita hebat’?
Comments
Post a Comment
Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^