ANOTHER FICTION: Orang-Orang Antitesis




Genre: Drama



Artwork by: Felix Salvata




Akira menggeleng. Mantap sekali ia menolak sekaleng bir. Aku ingat, waktu itu, aku bersama yang lainnya terpingkal. Itu kali pertamanya aku melihat ada seorang Jepang yang tak suka dengan bir. Sama sekali ia tak pernah kulihat menyentuh kaleng atau botol minuman beralkohol untuk merek apapun. 

Kebanyakan orang Jepang, entah itu berdasarkan pengalaman sendiri maupun dari kebanyakan cerita, amat menyukai minuman beralkohol. Bir menjadi yang terfavorit. Di kampusku saja, tiap ada pesta, dan teman-teman Jepang-ku datang, pasti suasana heboh. Jika sudah mabuk, mereka pasti hilang kendali. Dari yang selama ini suka menjaga citra masing-masing, menjadi pribadi tak tahu malu.



Beda dengan Akira. Akira ini  tak peduli dengan apa kata orang. Apa adanya bukan frase yang tepat sepertinya. Bukan terkadang pula, kata-kata pria yang nyaris tidak pernah bersisir itu suka menyakiti orang yang mendengar. Ceplas-ceplosnya malah jauh lebih parah dari Alfred yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. Pernah--yang kuingat--dia berani sekali mengeritisi gaya penampilan salah satu dosen di "Film and Media Arts". Padahal sudah banyak mahasiswa yang tahu bahwa si dosen itu bertemperamen tinggi. Namun Akira masa bodoh. Ia lantang saja bilang gaya si dosen sangat kuno dan berselera buruk. Bahkan, kacaunya lagi, Akira dan si dosen tak jarang bersikukuh soal beberapa topik. 

Tapi aku tak terlalu memerhatikan gaya Akira yang frontal itu. Yang kupermasalahkan itu soal ketidaktertarikannya dengan minuman beralkohol, termasuk wine yang berkadar alkohol tak terlalu tinggi. Iseng aku bertanya dan langsung saja amat tercenung nyaris membanjiri kedua pipi. 

"Kata dokter, Papa meninggal karena lambungnya sudah penuh sekali dengan bir. Kandungan alkohol dalam tubuhnya sudah tinggi sekali. Walaupun demikian, aku heran mengapa Mama malah melampiaskan rasa kehilangannya ke alkohol juga. Tak hanya alkohol, tapi juga ke rokok dan pil-pil tidur. Padahal, menurutku, ada banyak hal sebagai tempat pelampiasan terbaik. Musik contohnya. Atau, kita pun bisa berdoa ke Sang Pencipta alam semesta ini."

Kepalaku berjengit. Tiap kata yang keluar dari mulutnya itu sungguh kusimak. 

"Kamu tahu, Dion? Walau kebanyakan pemuda di negara asalku sering berkata aku ini seperti anak kecil, aku memilih tutup telinga. Bagiku, melampiaskan rasa kesal dengan berlama-lama berdoa di kuil itu jauh lebih menenangkan. Aku suka suasana di kuil pula. Aku juga senang membantu para pendeta atau miko di sana untuk membersihkan kuil."

Sekali lagi, Akira sudah membuat terkesima. Ia bagaikan sudah menohokku dengan katana supertajam malah. 

*****

Tak hanya Akira.  Aku pun memiliki satu teman semodel Akira. Seperti yang kusebut, namanya Alfred. Alfred ini amat jauh berbeda dengan orang Amerika kebanyakan. Ia jauh lebih pendiam. Yang kutahu, aku tak pernah mendapatinya melontarkan kata-kata yang seenak perutnya saja. Tiap kata-katanya itu selalu saja penuh makna dan sebisa mungkin menjaga perasaan obyek bicaranya. Akibat itulah, aku jadi merasa malu dengan Alfred. 

Seharusnya, kan, aku yang seperti Alfred. Bukankah orang Indonesia sudah terkenal dengan kebiasaannya yang amat menjaga perasaan lawan bicaranya? Terlebih lagi yang terlahir di pulau Jawa, entah itu Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Yogyakarta. Belum lagi aku terlahir di kota Solo yang terkenal dengan sopan santunnya. 

Selain pendiam dan sikapnya yang begitu menjaga perasaan orang lain, Alfred pemalu pula. Ia amat kontras dengan teman-teman senegara dan sebayanya yang sangat menyukai pesta (atau segala hal yang berbau hedonisme). Kalau ada pertemuan untuk sekadar kumpul-kumpul semata, ia selalu tak menghadirinya. Malah acara-acara sejenis yang berasal dari kampus pun, tak pernah ia hadiri kalau tidak ada yang memaksanya hadir. Yah, Alfred harus dipaksa dulu agar mau datang. Jika perlu, lelaki kulit putih yang berkeriting itu wajib dijemput biar mau datang.  

Ada asap, pasti ada api. Saat kutanya mengapa ia tak begitu menyukai acara-acara yang ramai, Alfred hanya tersenyum tipis dan menggeleng. Kudesak lagi, ia memilih berkata, "I don't know, dude. That's probably my character. So get used to, please!"

Iya, aku tahu. Tak ada satu manusia yang sama. Orang kembar pun memiliki perbedaan yang pasti datang dari karakternya. Mungkin saja pembawaan-pembawaan seperti itu datang semenjak Alfred masih bayi tiga tahun. 

Namun tetap saja pasti ada alasannya. Every reason behind anything. Dan, akhirnya aku tahu alasannya. Bukan dari yang bersangkutan langsung. Tapi dari orang terdekatnya. Unca Ben pernah berkata bahwa Alfred mungkin seperti itu karena didikan ayahnya yang sangat militan. Ayah Alfred semasa muda memang terkenal dengan gaya hidup sehatnya: no smoking, no alcohol, no party, and maybe, no party either

Tidak, tidak, tidak. Ayah Alfred bukan seorang tentara berpangkat yang bisa dibanggakan. Pula, ayah Alfred belum pernah masuk barak, naik pesawat tempur, atau menjalankan navigasi kapal. Sebab, ayah Alfred itu seorang pendeta yang menurut penuturan Unca Ben juga, kebanyakan pendeta di Amerika itu jarang yang benar-benar 'bersih'. 

*****

Banyak yang bilang untuk sebaiknya berhati-hati dalam mengobrol dengan seseorang berkulit hitam. Kebanyakan orang kulit hitam itu sensitif. Apalagi yang berhubungan dengan kondisi fisik mereka yang tak seterang umumnya manusia. Mereka amat tersinggung jika kalian menyebut kata 'negro'. Kata 'kulit hitam' saja yang sudah terdengar lembut itu masih bisa bikin mereka tersinggung. 

Tapi Boipelo Emem itu beda (lagi-lagi). Ha-ha-ha. Iya, iya, aku tahu, namanya lucu bagi telinga kebanyakan orang Indonesia. Walau aneh bin lucu, nama temanku yang hobi memanjangkan rambut itu punya makna yang luar biasa. Keduanya dari bahasa salah satu rumpun di Afrika. Boipelo itu artinya kebanggaan. Sementara Emem itu mungkin tepatnya berarti orang-orang yang cinta damai. 

Mungkin karena pengaruh nama, nyatanya kusaksikan sendiri Boipelo tumbuh sebagai seseorang yang sesuai dengan arti namanya. Beda dengan kebanyakan orang kulit hitam yang kukenal, ia sama sekali tak tersinggung jika ada yang berkata, "Black", entah itu sengaja maupun tak sengaja. Malah alih-alih marah, ia lebih memilih untuk mengumbar sebuah senyuman. Tulus sekali senyumannya itu. 

Boipelo--atau aku dan lainnya lebih suka memanggilnya Boy--tak pernah suka memaksa orang. Saat aku dan teman-teman lainnya suka memaksa Alfred untuk datang ke sebuah bar, Boipelo yang melarang. Katanya, "Sudahlah, biarkan saja. Buat apa kalian memaksanya kalau dia memang tidak seperti kita yang hobi bersenang-senang sampai pagi menjelang? Biarkan kita saja yang menikmati hidup. Sementara dia, ah mungkin dia lebih suka terus belajar hingga Grim Reaper datang menjemput."

Kami tertawa mendengarnya. Berikutnya, kami lupa dengan niat awal. Kemudian bersenang-senang tanpa Alfred. Tapi tetap saja, tanpa sepengetahuan pemuda asal Cape Town tersebut, aku dan lainnya terus saja berusaha memaksa Alfred untuk datang ke sebuah klub malam. Bahkan Akira juga sering jadi sasaran. Pernah kucoba untuk membuatnya menelan seicip saja seloki rum, mata Akira langsung menatap nyalang dan aku langsung dimusuhi selama kurang lebih seminggu. 

Kembali ke soal Boipelo. Kebanyakan kulit hitam di Chicago itu tak suka dengan sapaan 'boy'. Kalian tahu kan, sapaan 'boy' itu begitu merendahkan. Namun hal itu tak berlaku untuk Boipelo. Ia malah amat menyukai dipanggil Boy. Dalihnya: "Kenapa harus marah? Nyatanya aku memang laki-laki bukan? Dan dengan sebutan 'anak laki' tersebut, aku malah serasa muda kembali. Aku berterimakasih kepada mereka semua yang memanggilku Boy." 

*****

Juanma tak berbeda dari kebanyakan pria Latin. Sama-sama menyukai pesta. Sama-sama tak menolak saat disodori satu minuman beralkohol, terutama tequila yang berasal dari Meksiko. Yang membedakannya, Juanma ini jauh dari kata romantis. Padahal kita tahu bahwa negara di mana ia lahir itu sudah terkenal akan romantismenya akibat perpaduan dua kultur negara: Spanyol dan Italia. 

Jangankan romantis, aku yang seorang pria ini saja beranggapan bahwa Juanma jauh dari kesan tampan sama sekali. Lihat saja mukanya. Rahang-rahang pipi yang tak rata satu sama lain. Dagu yang tak jelas, entah itu meruncing atau malah membentuk segi empat. Hidung yang agak bengkok. Bentuk cuping telinga yang aneh sekali. Serta, terakhir, kebiasaannya yang hobi memelihara berewok.  

Anehnya, walau hampir jarang sekali gombalan Juanma yang kudengar pernah membuat seorang gadis meleleh, lelaki bersuara cempreng itu malah memiliki satu orang perempuan yang super-duper cantik sekali. Bodi pacarnya itu tak kalah jika kalian mau membandingkannya dengan supermodel-supermodel papan atas Eropa.

Juanma yang bertinggi sekitar 160 cm itu selalu mengangkat bahu saat kutanyakan bagaimana bisa mendapatkan perempuan sesempurna itu. Katanya: "Oh para dios, aku tak tahu. Mungkin perempuan itu memang jodohku, Amigo. Tahu-tahu saja, aku bertemu dengan dia di sebuah klub, iseng mengajaknya bercengkerama, lalu dia sendiri yang bilang padaku, 'Te amo'."

Menyebalkan! Iya, menyebalkan sekali mendengarkan Juanma yang berusaha menjelaskannya sembari terkekeh. 

Hingga akhirnya, aku tahu apa alasan sesungguhnya. Ternyata, Martina, pacarnya dari Kuba tersebut, amat menyukai kepribadian Juanma yang humoris. Yup, Juanma memang sudah terkenal di "Film and Media Arts" sebagai seseorang yang hobi melontarkan guyonan-guyonan. Saking gemarnya, nilai-nilainya selalu saja kebakaran jenggot. Malah candaan-candaannya itu kadang terlewat ekstrem. 

*****

Akira yang tak suka minum bir. Alfred yang anak rumahan. Boipelo yang tak keberatan mendapat perlakuan rasis. Serta, Juanma yang sungguh konyol dan bikin ngakak yang melihat. Keempat temanku itu mungkin bisa dibilang bagaikan sebuah pengingat dari Tuhan untuk menghindari segala hal yang berbau stereotipe. Terkadang, walau ada sebuah stereotipe yag begini-begitu soal seseorang dari suku Y, kita jangan langsung percaya. Bisa saja orang itu berbeda dari kebanyakan suku Y. 

Jangan pernah takut pula untuk pergi ke sebuah negara. Hanya karena negara yang bersangkutan begitu sering sekali terjadi perang antara kartel narkoba dan pihak aparat. Bisa saja walau sering terdengar bunyi torpedo-torpedo, kita masih bisa menikmati keindahan alam negara yang bersangkutan. Pun kondisi negara yang bersangkutan juga tak mencerminkan masyarakanya juga. Meskipun militan, aku percaya bahwa masih ada satu penduduk di sebuah negara antah berantah yang tak bersikap militan, terutama ke wisatawan. 

Sama seperti aku, Dionesius Pratama. Kuakui, aku memang kontras sekali dengan kebanyakan orang Indonesia. Aku lebih berpikiran terbuka (yang agak menyerempet ke liberal). Aku bukan pemuja karet, melainkan lebih menyukai sebotol vodka. Plus, aku ini tipe player sekali. Selama kuliah di Amerika Serikat ini, sudah dua puluh perempuan yang aku kencani. Tak terhitung sudah berapa kali aku mencicipi tubuh demi tubuh di atas sebuah ranjang. Sehingga bisa dibilang, aku ini juga termasuk ke dalam orang-orang antitesis. 

Comments

  1. Bukan kah lebih menyenangkan jika hidup ini berwarna? Apa enaknya semua manusia punya kehidupan yang sama? :D

    Tapi kalok tipe player gitu emang rasanya gimana gitu, Nuel.
    Asal pakek pengaman aja lah. Hahah.. :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mendadak aku ndak paham soal pengaman itu. Maksudnya segitiga pengaman yang ada di mobil-mobil? :p

      Delete
    2. Aku taunya segitiga pengaman yang ada di jalan raya hehehe

      Delete
  2. dengan sifat dan karakter yg berbeda-beda yg dimiliki setiap orang, itu justru membuat hidup jadi lebih indah. :) saling melengkapi satu sama lain.

    cerpennya keren :D sukaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, apalagi kalau nemu pasangan yang bisa melengkapi apa yang kita nggak punya, *eh, malah curcol*

      Delete
  3. cerpennya keren bangettttt nihhhh.... :D di tunggu karya tulis selanjutnya yaa

    ReplyDelete

Post a Comment

Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~