ANOTHER FICTION: Bidadari dari Toilet






            Hari ini merupakan hari pertama Ujian Akhir Semester Semester di kampusnya Fega. Hari pertama masa ujiannya itu dimulai pada pukul 08.00 pagi. Apes sekali buat Fega. Dari dulu ia memang bermasalah dengan bangun pagi. Hari ini pun juga, Fega begitu ogah-ogahannya berangkat ke kampusnya. Saking malasnya, saat mendengar alarm di ponselnya berbunyi, ia tak mandi dahulu. Ia hanya ganti pakaian, berparfum, dan langsung menyalakan mobil Avanza-nya tercinta untuk pergi ke kampusnya yang ada di kawasan Jakarta Selatan.

            Di parkiran lantai 11 Gedung Yustinus, mobilnya terparkir. Dan di sinilah keapesan lainnya Fega berlanjut. Saat ia kembali menarik rem tangannya, perutnya serasa dililit ular piton. Di tengah lilitan ular yang sepertinya seberat bayi baru lahir itu, ia memandang langit-langit mobilnya. Ia berusaha mengingat apa yang dimakannya waktu di rumah tadi. Seingatnya, ia hanya makan roti tawar dan segelas tes manis hangat.

            Ah! Fega baru saja mengingat sesuatu. Roti yang dimakannya barusan, bukannya tanggal kadaluwarsanya itu tanggal 24 Juni 2012. Tanggal 24 Maret itu kan besok. Alamak, apa gara-gara itukah ia menderita sakit perut?

            Karena sakit perut itu sudah tak bisa ditahan lagi – dan bahaya pula bila terus ditahan, Fega keluar dari Avanza-nya. Bagaikan dikejar setan parkiran, ia berlari lebih cepat dari kilat menuju toilet kampus yang berada di lantai satu. Di depan pintu lift-nya, ia melihat jam di ponselnya. Masih jam 06.30. Pada jam segitu, belum banyak mahasiswa yang menggunakan lift. Memang benar. Hanya menunggu sepuluh menit, ia sudah berada di lift yang akan mengantarkannya ke lantai satu.

            Saat penunjuk lift telah menunjuk angka satu, Fega langsung saja berjalan cepat menuju toilet. Toilet itu memiliki tiga stall dan  sekurangnya ada lima belas kakus khas toilet pria. Dilihatnya dengan seksama masing-masing stall. Satu stall sudah terisi. Tersisa dua. Tanpa berpikir siapakah yang berada di dalam stall tersebut, Fega langsung masuk ke dalam salah satu stall yang masih kosong. Satu stall yang berada dekat toilet.

            Fega masuk ke dalam stall tersebut. Karena hari ini ujian, dia tak membawa tas sama sekali. Ia hanya membawa segala yang diperlukan – alat tulis, kartu mahasiswa, dan tentunya kertas contekan – ke dalam kantong celana jins belelnya yang memiliki empat buah kantong. Tak repotlah ia saat harus membayar ‘utang’nya di stall itu. Ia hanya tinggal buka celana, menggantungnya di gantungan yang tersedia, dan jongkok di kakus jongkok.                     

           Lalu ia mulai berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan sesuatu dalam perutnya yang menyebabkan perutnya melilit. Pada saat proses mengeluarkannya itulah, ia merasakan ada keanehan di stall sebelah kirinya. Dari tadi, ia mendengar sebuah suara yang tak lazim didengar di dalam sebuah toilet pria.  Bukan suara juga sih – karena banyak pria bersuara mirip wanita. Mungkin lebih tepatnya itu, apa yang dibicarakan. Sosok misterius itu sepertinya tak sengaja berbicara sendiri. Dan yang ia bicarakan ialah mengenai segala hal yang hanya diketahui oleh wanita. Mendadak bulu kuduk Fega jadi berdiri, waktu membayangkan kalau yang sedang buang air besar di sebelahnya itu adalah…
       
     Masak sih gay? Setahunya juga, ia amat jarang melihat mahasiswa atau dosen yang gay di kampusnya. Tapi bisa jadi kan tamu. Maksudnya itu, bukan dosen, bukan mahasiswa, dan bukan pula karyawan atau office boy di kampusnya.

            Ah daripada terus su’udzon dan makin menambah dosa, Fega beringsut ke dinding stall. Dirapatkannyalah telinganya. Ia samar-samar mendengar sosok tersebut menekan tombol per tombol ponselnya. Lalu…

            “Halo, Mel… Lu dimana? Gue lagi ada di kampus lu nih… Oh, ya udah, buruan yah…”
           
            Hah? Mau didengar berapa kali pun, itu tetap suara wanita. Fega mulai berpikir. Apa jangan-jangan ia salah masuk ruang toilet. Tapi rasanya tak mungkin. Dia kan sudah kuliah selama nyaris tiga tahun. Sekarang ini saja, ia sudah duduk di semester enam. Benar-benar tak mungkin, bila ia salah masuk toilet. Sungguh pagi ini benar-benar terasa aneh sekali. Ia mengacak-acak rambutnya, pertanda ia benar-benar pusing dan gelisah, saat membayangkan sosok di sebelahnya. Ia merasa tak salah masuk toilet, tapi entah kenapa ada suara yang begitu feminin di sebelahnya.

            Daripada hanya berpikir dan membuatnya semakin sakit kepala – apalagi hari ini memang sedang ujian, Fega menyudahi kegiatan nongkrong-di-jambannya itu. Ia bergegas mengenakan kembali celana jins belelnya itu. Saat ia keluar dari stall, ia melihat banyak mahasiswa yang sama herannya dengannya, tengah berdiri di depan stall misterius itu. Ia mendengar desas-desus yang keluar dari tiap mahasiswa itu. Mereka semua sama penasarannya dengan Fega. Sebagian besar dari mereka mengira sosok tersebut adalah hantu.

Tak bisa disalahkan juga. Menurut penuturan beberapa mahasiswa yang berdiri menatap stall mencurigakan itu, sudah terdengar suara-suara feminin dari balik stall tersebut. Mereka semua juga sepakat bahwa rasanya tak masuk akal, jika ada kejadian salah masuk toilet. Saat ini semester enam. Enam itu angka genap. Keberadaan mahasiswa baru hanya ada di semester ganjil. Juga mustahil, kalau sosok itu gay. Semua yang ada di dalam toilet itu juga sama-sama belum pernah melihat gay di kampus mereka. Oleh karena itulah, satu-satunya alasan yang masuk akal bagi mereka itu jika sosok misterius itu ialah hantu.

            Karena tak ada yang berani mendekati stall tersebut, Fega memberanikan diri untuk mendekatinya. 
Fega hanya nyengir – melihat mereka semua yang entah kenapa begitu pengecut dan malah terjebak dalam mistisisme. Aduh, masak seorang mahasiswa bisa mempunyai otak sedangkal itu? Lagipula kan sudah jam 06.50 pagi. Bukankah tak ada setan di jam segitu? 

            “Hey! Siapa di dalam?” sahut Fega dengan lantang. “Sorry, mbak. Tapi kayaknya mbak salah masuk toilet. Udahan belum bokernya?” Fega begitu percaya dirinya bahwa yang di dalam stall tersebut adalah seorang wanita yang sedang buang air besar.

            Kemudian hening sejenak. Setelah itu, hening itupun tergantikan oleh desas-desus dari mahasiswa-mahasiswa yang begitu percaya dunia gaib. Karena itulah, Fega mengetuk sekali lagi. Tak hanya sekali, tapi juga beberapa kali. Hingga akhirnya sosok misterius yang sepertinya salah masuk toilet, itu keluar.  Benar dugaannya Fega. Sosok misterius itu memang seorang wanita. Seorang mahasiswi, tepatnya.

            Mahasiswi itu mengenakan cardigan berwarna merah jambu dengan bawahannya itu ialah rok jins selutut. Dengan membawa tas tangan khas wanita dan sebuah binder, ia keluar dari stall tersebut. Mukanya merah, saat melihat beberapa mahasiswa menatapnya dengan penuh heran dan kelegaan. Selain itu, ada pula beberapa dari mahasiswa tersebut yang berusaha menahan tawa. Bahkan ada juga yang mengeluarkan celetukan tak lucu, “Wah nih cewek nganter dirinya sendiri nih buat diperkosa,” – Memang mahasiswi tersebut berwajah lumayan jelita dengan rambut panjang yang lurus bagaikan di-rebonding.

            Mendengar celetukan tak lucu itu, Fega langsung menyahutinya, “Woy! Jangan sembarangan dong kalau ngomong. Nih kayaknya dia juga emang salah masuk toilet?!” Lalu Fega beringsut ke arah mahasiswi tersebut. “Oh yah, mending mbak keluar dulu aja deh,”

            “I-iya, Mas.” ucap mahasiswi dengan gugup dan pipi masih bersemu merah. Untunglah stall tadi dekat pintu toilet. Jadi ia hanya tinggal membikin tiga-empat-lima langkah kaki untuk keluar.

            Fega menoleh ke arah mahasiswa-mahasiswa penakut itu. “Hu-uh! Dasar penakut kalian ini. Masak sudah mahasiswa, pada masih percaya takhayul. Lagian ini kan masih jam 7.00 pagi.” Lalu Fega melengos pergi keluar toilet. Fega boleh berkata seperti itu. Padahal sejujurnya, dia juga sama dengan mereka. Awalnya dia juga beranggapan penghuni stall tersebut itu hantu.

            Kerumunan mahasiswa itu hanya merah mukanya – entah malu, entah kesal.


*****


Dari arah mading yang berada dekat kedua toilet – toilet wanita dan toilet pria, Fega melihat sosok mahasiswi yang tadi salah masuk toilet, sedang duduk di bangku besi panjang, yang berada dekat tangga. Wajahnya masih bersemu merah. Sepertinya mahasiswi itu masih menahan malu, akibat peristiwa memalukan. Yah bisa dimaklumi. Fega mungkin juga akan seperti itu, andaikan ia salah masuk toilet juga. Fega membayangkan, ia akan dipukuli ramai-ramai oleh segerombolan wanita. Dan serangan wanita itu, katanya, lebih dahsyat dan mengerikan daripada serangan pria.

Tanpa pikir panjang lagi, Fega mendekati mahasiswi tersebut. Mahasiswi itu sedang mengutak-atik ponsel cerdasnya. “Hey!” Fega menyahuti mahasiswi tersebut, sambil menepuk pundaknya.

Mahasiswi tersebut menghentikan aktivitas memencet-mencet blackberry-nya. Ia menoleh ke arah Fega, yang berdiri dengan agak membongkok, di samping kirinya. Ia menatap Fega, dengan kedua pipi masih seperti berlumuran selai stroberi. Mahasiswi itu hanya mendesah pelan, “Eh,”               

“Kok lu bisa salah masuk toilet?” kata Fega tanpa basa-basi terlebih dahulu dan langsung menyapanya dengan bahasa gaul – lu gue. Karena dari penampilannya juga, wanita itu seorang mahasiswi yang sudah terbiasa dengan kehidupan di metropolitan. “Oya, kayaknya lu juga bukan mahasiswi sini yah? Soalnya kalau benar mahasiswi sini, harusnya mau buru-buru pun, pasti tahu mana toilet wanita, mana toilet pria.”
         
         “Eeeeh….” Mahasiswi itu mengertakan giginya, selain pipinya yang semakin merah seperti buah jambu. “I-iya.. Tadi buru-buru dan gak lihat tanda di toiletnya. Kirain tadi, yang dimasukin itu toilet wanita.” Ia gugup menjawabnya. “Oya, benar kata lu. Gue memang mahasiswi luar. Sengaja datang kemari mau ngunjungin perpustakaannya. Tapi kayaknya perpustakaannya belum buka yah?!” Mahasiswi itu membalasnya dengan bahasa gaul juga.

            “Perpustakaan di sini memang bukanya jam delapan,” jawab Fega. “Oya, daripada lu bengong aja nungguin perpusnya buka atau teman lu dateng, mending lu ikut gue ke kantin, yuk.”

            Mahasiswi itu hanya nyengir dengan pipi semakin memerah.

            “Trus, lu ngapain juga kemari?”

            “Gue mau nyari bahan data,”

            “Tapi kok datangnya pagi amat? Lu kayaknya juga masuk toiletnya itu lebih lama dari gue. Dugaan gue, lu masuk toilet waktu toilet masih sepi banget. Yah sekitar jam enam atau lima kurang gitu.” Fega semakin menginterogasi mahasiswi itu.

            “I-iya. Habis rumah gue kan di Bogor. Takut kena macet aja.”

            Fega terkekeh sendirian. “Macet? Kan lu ke sini juga mau ke perpusnya, kan? Nggak ada kata terlambat kali. Oh iya, tadi lu bilang bahan data kan? Bahan data buat tugas kuliah? Wah, lu niat juga yah sampai dibela-belain ke kampus gue?” Fega berdecak kagum.

            “Bukan, kok. Tapi buat skripsi.” balas mahasiswi itu, tanpa bermaksud menyombongkan diri. “Dan setelah dari perpus sini, gue juga berencana ke kampus gue lagi. Jam 11, ada bimbingan skripsi. Dosen pembimbing gue ini orangnya disiplin banget soal waktu. Eh, bukan disiplin juga sih. Lebih tepatnya itu, dia sibuk banget. Makanya gue berangkatnya agak pagian. Plus, takut juga kalau nanti agak dipersulit, pas minjem bukunya.”

            “Hah, skripsi? Serius?” Fega memasang muka heran. Ia tak percaya mendengarnya. “Soalnya dari muka lu nih, kayaknya lu itu sebaya sama gue. Yah, usia-usia 22 atau 23-an gitu. Yang palingan juga masih semester enam. Skripsi palingan diurus mulai semester depan.”

            “Iya, gue serius, kok.”

     Melihat tampangnya mahasiswi itu barusan, rasanya tak ada alasan bagi Fega untuk tidak mempercayainya lagi. Fega menatap Sisca dengan tatapan kagum. “Wah lu hebat juga yah berarti? Bisa tiga tahun lulusnya.”

            “Biasa aja lagi,”  Ia merendah. “Lagian kalau memang ada niat, siapapun bisa kok lulus cepat. Lulus tiga tahun juga bukan untuk mahasiswa yang pintar aja. Dan untuk kasusnya gue, gue emang sengaja matokin supaya bisa lulus cepet. Soalnya gue anak sulung, dan bokap gue juga udah lama meninggal. Gue harus buru-buru lulus gini, yah karna gue nggak mau ngebebanin nyokap. Apalagi gue masih punya tiga orang adek. Satu SMA, satu SMP, dan satu lagi kelas enam SD.  Kasihan nyokap, kalau gue lama-lama kuliahnya. Dia juga hanya buka salon aja di rumah. Nggak cukup lah buat biayain empat orang anak.” Sisca jadi keceplosan curhat pada orang yang baru ia kenal pagi ini.
          
          Fega tertegun mendengarnya. Mendadak sekujur badannya jadi bergetar hebat. Air matanya pun juga mau keluar. Untuk menahan agar jangan sampai keluar, ia menggigit bibir bawahnya.

            “Eh, kok lu jadi melamun sih?” Mahasiswi itu mengayun-ayunkan tangannya di depan Fega.

       “Gak apa-apa, kok.” jawab Fega. “Oya, nama lu siapa? Gue Fega. Pakai F, bukan V.” Fega menyodori tangannya untuk berjabat tangan.

            “Gue Sisca,”

            “Eh ke kantin yuk. Lu kayaknya perlu makan juga. Kan tadi habis pengeluaran.” ajak Fega, sambil cengar-cengir.

            Penyakit pipi-merah Sisca kambuh lagi. “Eh tapi gue lagi nunggu teman gue.”

            “Udah, ntar di-BBM aja lagi. Dugaan gue, teman lu itu mahasiswi sini juga.”

            Sisca masih terlihat agak ragu-ragu. Maklum saja, pria yang mengajaknya itu baru ia kenal pagi ini. Begitu riskan, apabila ia mengiyak ajakan Fega barusan. Apalagi akhir-akhir ini sedang marak kasus hipnotis.

            “Udah, lu tenang aja. Gue nggak bakal ngapa-apain lu, kok. Yah gue hanya butuh teman doang aja buat makan. Kan lumayan makan ditemani cewek secantik lu.”

            Rupanya hanya siluman gombal. Dan jarang ada siluman gombal yang perlu diwaspadai. Paling mereka hanya menggoda dengan kata-kata saja, dan tak sampai ke tindakan fisik. Sehingga keraguan Sisca mulai sirna. Apalagi ia baru ingat peristiwa di toiket tadi. Fega-lah yang menyuruhnya keluar dengan sopan.

           
*****


Seperti pagi-pagi sebelumnya, kantin kampusnya itu belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa-mahasiswi dan juga dosen, yang bertandang ke kantin. Mungkin mereka tak sempat sarapan, atau hanya membuang waktu dengan mengisi perut sekali lagi.

“Oh yah, IP lu berapa?” tanya Fega, sambil meletakan semangkok bubur ayam di meja. Dilihatnya juga, Sisca sedang menikmati bubur ayamnya.

“Nggak tinggi-tinggi amat juga, sih. Hanya 3, 16. Itu juga lebih banyak B-nya daripada A-nya. Kalau lu sendiri?”

Fega meneguk ludahnya sendiri. “Eeeeh… Yah gue cuman separo dari lu. 2, 60.”

“Yah itu juga lumayan. Apalagi kebanyakan perusahaan minta lulusan dengan IP minimal 2, 5. Lagian, kan juga masih ada kemungkinan bertambah juga.” Sisca tersenyum, tapi bukan senyuman ejekan. “Oh yah, lu nggak apa-apa makan dulu di kantin? Tadi bukannya lu bilang sendiri, ada ujian jam 8 pagi. Sekarang udah jam 07.40. Nggak takut telat?”

“Ujiannya take home ini. Gue cuman disuruh ngumpulin makalah, dan waktu pengumpulannya itu kan sampai jam ujiannya berakhir. Sampai jam setengah sepuluh. Makalahnya itu juga tugas kelompok, dan ada di teman gue.”

            “Lu nggak ngabarin dia?”

           “Tadi sih waktu masih di jalan, gue udah kabarin. Katanya dia datang agak telat. Soalnya masih harus nge-print dulu makalahnya.”

            “Oooh…” Sisca kembali menyantap bubur ayamnya.

Tiba-tiba blackberry-nya Sisca bordering nyaring. Sisca buru-buru mengeluarkan blackberry dari tasnya. Dengan mulut masih mengunyah bubur, ia menyahuti panggilan tersebut, “Iya, halo…. Oh lu Mel… Gue lagi ada di kantin. Lagi makan dulu. Lu ke sini aja… Oke, gue tunggu yah…” 


*****


“Eh itu teman lu, bukan?” Fega menunjuk ke arah seorang mahasiswi berambut pendek yang mau menghampiri mereka berdua.

Sisca menoleh ke  belakang. Memang betul mahasiswi tersebut ialah temannya Sisca. 

“Eh,Sis, udah lama nunggu?” tanya temannya Sisca itu.

            Sisca menggerutu. “Udah sekitar satu jam gue nunggu lu, Mel. Lu kemana aja sih?”

            “Maaf deh, maaf. Gue kesiangan dan kena macet pula.”

            “Dasar.” desah Sisca. “Oya, Ga, kenalin teman gue. Namanya Melanie. Dia mahasiswi sini juga. Dia anak Ekonomi.”

            “Ooh… Gue Fega, anak Hukum,” Fega tersenyum pada Melanie.

            Temannya, Melanie tersenyum padaku, sebelum akhirnya beringsut pada Sisca. Ia berbisik pada Sisca, namun masih bisa kudengar, “Eh, udah yuk, langsung ke perpus aja. Sepuluh menit lagi juga mau buka perpusnya. Apalagi jam setengah sepuluhnya, gue ada ujian juga.”

            Tanpa mengiyakan terlebih dahulu, Sisca langsung beranjak berdiri. “Eh Fega, gue pamit dulu. Oh yah,” Ia membongkar-bongkar tasnya lagi. Rupanya mau mengambil dompetnya. “Nih uangnya. Tolong yah, sekalian bayarin bubur ayamnya. Maaf yah, gue tinggal.”

            “Iya kok, nggak apa-apa,” ujar Fega, sambil mengambil uang tersebut dari tangannya Sisca. “Gue juga masih harus nunggu teman gue juga, kok.”

            Kemudian Sisca dan temannya, Melanie itupun telah pergi menjauh. Sedangkan Fega? Setelah membayar dua mangkok bubur ayam itu, ia sibuk dengan game poker yang ada di blackberry-nya, hingga ada telepon yang masuk. Dilihatnyalah, nama yang muncul di display. Sumitomo. Temannya yang kebagian tugas untuk mengerjakan makalah, yang merupakan hasil revisi setelah presentasi sebulan lalu. “Yah, Mit,”

            “Lu dimana, Ga?” tanya Sumitomo, dari balik sebuah blackberry. Sebab hanya suaranya saja yang terdengar. Aslinya, orang yang bersangkutan berada jauh dari Fega.

            “Gue di kantin,”

            “Gue udah sampai kampus, nih. Udah di parkiran motornya. Lu ke sini buruan.”

            “Siap bos.”

          Beranjaklah Fega meninggalkan kantin tersebut, untuk menghampiri temannya di parkiran. Di parkiran, atau tepatnya di bangku batu yang panjang, Sumitomo sudah duduk sambil menyunggingkan sebuah senyuman.

            “Eh, Mit. Gimana? Makalahnya udah lu print sama dijilid belum?”

            “Udah, kok. Lu tenang aja lagi.” jawab Sumitomo.

            “Oooh, ya udah, kita langsung aja ke ruang ujiannya. Lebih cepat, lebih baik. Kan katanya Pak Jaka, dia bakal kasih nilai tambahan ke kelompok yang ngasih lebih dulu.” ucap Fega. “Oh yah, jadi berapa yang harus gue ganti biayanya?”

            Sumitomo melongo. Ia mendelik ke arah Fega. “Tumben lu inisiatif mau ganti. Biasanya juga, gue tagih dulu, baru lu bayar. Dan tumben juga, lu inisiatif ngajakin gue ke ruang ujiannya buru-buru. Biasanya kan lu selalu bilang, “Nyantai aja sih”.”

            Fega tak menjawab. Ia hanya berkata, “Buruan, Mit. Si Edo juga udah nungguin di bawah, katanya. Lagian udah jam 8, nih. Gue pengin juga dapat nilai bagus. Kan lumayan bisa ngatrol IP gue. ”

            Sumitomo tak berkata apa-apa lagi, selain beranjak berdiri dan berjalan bersama menuju ruang ujiannya yang berada di basement gedung Yustinus.  Selama perjalanan singkatnya itu, Sumitomo benar-benar keheranan dengan sikap temannya barusan yang mendadak jadi peduli itu.

            Asal Sumitomo tahu, Fega mendadak jadi perhatian seperti itu, karena telah bertemu seorang bidadari dari kampus lain. Dan bidadari tersebut telah menyadarkan dirinya dari segala tindakannya yang salah. Ia kini sadar kalau selama ini kuliahnya hanya main-main saja.

Tiap kali berangkat ke kampus dari rumah, ia tak jarang tidak mengikuti perkuliahannya. Seringkali ia malah nongkrong sambil merokok di pintu gerbang kampus bersama teman-temannya. Tugas pun jarang ia kerjakan. Hingga akhirnya, ia menuai perbuatannya itu. Ia jadi harus menyelesaikan 40 SKS lagi. Padahal tak sedikit temannya yang tinggal akan menyusun skripsi saja. Untuk tugas inipun, ia melemparkan tanggung jawabnya pada kedua temannya, yang juga anggota kelompoknya. Sumbangsihnya itu hanya berbicara seadanya waktu presentasi.  

            Namun setelah bertemu dengan Sisca barusan, ia jadi tersadar sekaligus tertantang. Tertantang untuk segera lulus juga. Ia juga membayangkan, jika ia mengalami situasi yang mirip dengan situasi Sisca, dimana ayahnya sudah tak ada, ibunya hanya buka salon, dan masih menyisakan adik-adiknya yang masih mau merasakan bangku kuliah. Beruntungnya Fega yang merupakan anak tunggal, orangtuanya masih lengkap dan ayahnya juga belum pensiun. Dalam hatinya, terbersit keinginan untuk lulus sesegera mungkin. Sebelum ayahnya nanti pensiun atau salah satu dari keduanya meninggal, ia ingin sekali merasakan mengenakan toga dengan berdiri berdampingan bersama kedua orangtuanya. Ia tak mau merasakan kesulitan yang dihadapi Sisca.

            Begitulah tekadnya Fega, seusai bertemu Sisca. Pokoknya mulai semester depan, ia harus lebih rajin lagi kuliahnya dan tak boleh bermalas-malasan lagi. Seperti katanya Sisca tadi, kalau ada niat, dua semester pun, ia bisa segera skripsi dan lulus sarjana hukum. Namun sebetulnya tekadnya itu sudah ia laksanakan sekarang ini. Yaitu pada saat ujian sekarang. Setelah bersama dua orang temannya itu mengumpulkan makalah – sekaligus merupakan materi ujiannya, Fega mengikuti Sumitomo ke perpustakaan, tepatnya di ruang diskusinya, yang berada di lantai dua gedung perpustakaannya. Sumitomo tambah keheranan, waktu Fega berkata ingin belajar bersamanya dan teman-temannya yang lain. Namun ia tak menolak, bila Fega memang berniat belajar bersama. Tak baik, bukan, menghalangi niat baik seseorang?

            Sebelum masuk ke perpustakaannya, terlebih dahulu Fega menghampiri tong sampah yang berada tak jauh dari perpustakaan. Dikeluarkannya kertas contekan untuk ujian Hukum Persaingan Usaha, yang sudah ia persiapkan semalam suntuk. Lalu dibuanglah kertas contekan tersebut ke dalam tong sampah yang terbuat besi itu. Sebagai ganti kertas contekan itu, ia bertekad akan belajar sekeras mungkin di waktu yang tersisa. Ujian Hukum Persaingan Usaha-nya itu dimulai jam 12.30. Cukup banyak waktunya untuk bisa memahami materinya. Ia berharap, dari sebagian materi yang ada di buku paketnya itu, ada yang bisa menempel di otaknya dan bisa ia gunakan untuk menjawab soal ujiannya. Tak peduli betapapun sakitnya kepalanya untuk menghapal. Karena yang jelas, ia harus membuktikan kata-katanya Sisca tadi pagi.  Lagian kalau memang ada niat, siapapun bisa kok lulus cepat.

            Lulus cepat seperti Sisca sih, mungkin sudah mustahil. Tapi lulus tepat waktu, yaitu empat tahun, yah siapapun bisa. Termasuk Fega, mahasiswa yang selama ini kuliahnya ogah-ogahan. Kalau ada niat untuk lulus tepat waktu, Fega merasa ia bisa melakukannya.

            Di ruang diskusi, beberapa temannya menatap heran padanya. Mereka baru pertama kalinya melihat Fega menghadiri ruang diskusi itu. Untuk belajar bersama pula. Namun Fega mengabaikan segala keheranan teman-temannya itu. Ia kini sibuk membaca, memahami, dan juga menghapal materi ujiannya dari buku paket dan catatan yang ia pinjam dari Sumitomo.

            Oh yah, mengenai Sisca sendiri. Ia tak hanya kagum dengan semangat belajarnya yang luar biasa. Ia juga tak hanya tertantang untuk membuktikan kata-katanya Sisca itu. Dalam sebagian hatinya, ia sebetulnya…


            … Sebetulnya ia jatuh cinta juga dengan gadis misterius yang tak sengaja masuk ke toilet pria itu. Aduh mana ia lupa lagi minta nomor ponselnya atau pin BB-nya. Tapi biarlah. Karena Fega masih punya harapan akan bertemu lagi dengan Sisca suatu saat nanti. Kalau jodoh, tidak akan pergi, bukan? 

Comments

  1. Hahaha... Lucu... Teruskan, mas...

    ReplyDelete
  2. Well.. Makanya langsung sepik dongs, Fega.. Jadi nyesel kan? Hihihi :P

    ReplyDelete

Post a Comment

Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~