Tak sia-sia, Ucha – panggilan dari
Kautsar – bersolek di atas jok motor sport-nya.
Pacarnya, Rena yang berwajah khas Jepang – tapi tak bisa ngomong Jepang itu
keluar juga dari rumah bak istana. Nyaris saja, kepalanya terantuk setang
saking terpesonanya dengan penampilan Rena dalam gaun terusan berwarna orange terang.
“Kamu cantik banget, Ren,” puji
Ucha.
Rena mesem-mesem, papanya
dehem-dehem. Sepasang kekasih yang baru saja merayakan anniversary mereka jadi salting. Salah tingkah.
“Eh, Om,”
Ucha menganggukan kepala pada Pak Norishima.
“Ingat, lho, pulangnya jangan
kelamaan. Batas toleransi keterlambatan hanya sampai jam sepuluh.” Pak
Norishima sudah mewanti-wanti Ucha. “Kalau
ada apa-apa sama Rena, awas kamu yah!”
“Santai aja, Om,
kayak di pantai,” Ucha nyengir-nyengir. “Rena aman sama saya.”
Di balik wajah yang sangar, papa
Rena bisa tersenyum juga.
“Oya, Ren, ingat yah, jangan
kelamaan di sana.
Ingat janjimu ke Papa. Hapemu jangan di-silent,
apalagi dimatikan.”
Rena tersenyum. “Beres, Pa.”
Rena memang anak rumahan. Statusnya
yang sebagai anak rumahan itu seringkali jadi objek bullying teman-temannya di sekolah, apalagi sama geng Lolita yang
berisi oleh sekumpulan cewek memesona nan seksi yang kesemuanya tergabung dalam
ekskul Modern Dance. Mereka berlima berpandangan anak rumahan itu identik
dengan kuper – alias kurang pergaulan – dan norak. Ih sok tahu deh mereka itu. Sudah
pengin setahun berpacaran dengan Rena, Ucha merasa pacarnya itu tak kuper
apalagi kampungan. Justru sebaliknya..
Dua bulan awal pacaran, Ucha melihat
Rena sebagai seorang gadis yang berwawasan. Ceweknya itu cukup update sama yang namanya fashion, entertainment, bahkan
sepakbola. Selain itu, ia juga fasih berbahasa Inggris dan Spanyol – tapi enggak
sama bahasa Jepang. Padahal papanya itu keturunan Jepang, tepatnya turunan
tentara Jepang di masa pendudukan Jepang di tanah air. Ucha sering meledeki
pacarnya itu ‘Jepang-Nggak-Jadi”.
“Anata
wa kawaii…” ujar Ucha sambil menyetarter motor kebanggaannya itu.
“Artinya apa?” Rena mengernyitkan
jidatnya.
. Ucha terkekeh-kekeh. “Dasar
Jepang-Nggak-Jadi!”
Rena merengut. Ia pura-pura turun,
walau sebetulnya pantatnya masih tetap didaratkan di jok.
Ucha cuek. Ia malah mengenakan
helmnya dan menjalankan motornya itu. Baru setelah rumah Rena sudah tak berada
di pandangan ia dan pacarnya, Ucha menoleh pada Rena. Di tengah-tengah suasana
yang agak bising dan mulutnyab yang tertutup separo helm, ia mengucapkan lagi
kata-kata dalam bahasa Jepang itu, “Anata
wa kawaii. You’re cute, Rena. Kamu manis sekali dengan gaun itu,”; kali ini lengkap dengan
terjemahannya dalam Inggris dan Indonesia.
“Sankyu,”
jawab Rena tersenyum.
“Kamu tuh orang Jepang, tapi bisanya
cuman sankyu, arigatou, konnichiwa,
ohayoo gozaimasu, atau sumimasen
aja. Dasar Jepang-Nggak-Jadi!” ledek Ucha.
“Biarin, yang penting kan ngerti dikit-dikit.
Lagian kamu tahu sendiri aku juga enggak seratus persen orang Jepang. Papaku kan cuma keturunan. Mamaku
aja juga orang Batak.” bela Rena.
“Tapi masak Papa kamu enggak
pernah bicara Jepang sedikit pun?”
“Kan aku udah bilang, Papa aku tuh keturunan.
Beliau dan Kakek udah tinggal di Tangerang ini cukup lama. Mereka malah belum
pernah sekali pun ke Jepang. Pengin sih aku bisa ke Jepang, negeri leluhurku
itu.”
Rena bisa merasakan dari
genggamannya, kalau Ucha ngakak.
“Kalau bahasa Batak, bisa enggak?”
“Kamu sendiri bisa enggak?” tantang
balik Rena.
“Aku kan lahir di Jakarta, wajar dong enggak bisa
bahasa Batak. Bapak-Ibu aku juga sehari-hari ngomong Indonesia.”
“Sama kayak aku, berarti. Aku juga
lahir di Jakarta, Papa-Mama juga ngomong bahasa Indonesia –
bukan Batak atau pun Jepang.”
Ucha terkekeh-kekeh. “Kamu emang
enggak mau kalah yah?”
Rena merengut, ia mencubit perut
datar Ucha. Ucha pun meringis.
*****
Walau malam minggu, nyatanya jalanan menuju sekolah mereka yang ada di bilangan Gading Serpong benar-benar bebas macet. Tak heran, kurang lebih hanya setengah jam Ucha dan Rena sudah sampai. Rena turun dari motor sport Ucha dengan hati-hati. Ia kan pakai gaun dan high heel, yah walau haknya itu tak terlalu tinggi.
“Huh! Kenapa sih kita enggak pakai mobil sedanmu itu? Gara-gara naik motor, rambutku kan jadi berantakan.” Rena sewot.
“Aku kan udah bilang, mobilnya dipakai abangku buat acara reat-reat di kampusnya.,” kata Ucha yang beringsut pada Rena. “lagian kalau soal rambut yang awut-awutan itu, sini aku rapiin.”
Sigap Ucha mengeluarkan sisir dari kantong belakang celana denimnya. Rena terlihat agak risih.
“Ih kamu mau ngapain? Malu tahu, aku kan bukan anak kecil lagi.” protes Rena.
“Ya kan aku mau beresin rambutmu yang acak-acakan,”
Di saat bersamaan, terdengar suara deheman. Baik Rena maupun Ucha menoleh ke suara deheman tersebut. Ternyata si gendut Roni. Karena fisiknya dan namanya itu, ia sering mengasosiasikan dirinya dengan pesepakbola ternama Indonesia dulu, Gendut Doni. Faktanya, mendribel bola pun ia tak bisa.
Roni berdehem, walau terdengar menggeram. “Ingat, lho, kalau orang lagi pacaran, yang ketiganya itu setan.”
“Iya, setannya itu elo,” lempar Ucha.
“Sialan!” rengut – sekaligus nyengir – Roni.
Rena terkikik-kikik sembari
merapikan kembali make-up-nya lewat
peralatan make-up yang tersimpan di
tas tangan kecilnya.
“Eh Rena, malam ini cantik juga
dirimu yah?!” Roni menyodorkan tangan pada Rena, tapi ditepis Ucha. “Apaan sih,
Cha? Ganggu aja deh.” Kembali mengangsurkan tangan pada Rena. Rena membalas jabat tangan itu seraya
terkikik-kikik.
Malam ini, Rena benar-benar jadi primadona. Semua mata tertuju padanya, termasuk
Geng Lolita yang suka mem-bully
dirinya. Rambut yang mengular ke bawah, gaun orange terang, high heel
golden, serta wajahnya yang dipoles make-up
seadanya benar-benar bikin teman-teman dan guru-guru jadi terpana. Ada yang kagum, ada yang
sirik.
“Tuh, apa kubilang,” bisik Ucha.
“kamu tuh cakep sebetulnya. Ngapain sih minder selama ini?”
Rena tak menjawab, hanya saja
wajahnya berona merah.
Roni memiringkan kepala pada Rena.
“Kayaknya Prom Queen-nya udah
kelihatan nih?!”
Entah pura-pura enggak tahu atau
memang enggak tahu sama sekali, Rena bertanya pada Roni, “Memangnya siapa?”
Roni nyengir. “Kasih tahu enggak
yah?” Ia langsung ngibrit ke meja prasmanannya. Tampaknya ia sudah tak tahan
melihat deretan makanan enak nan menggiurkan di meja tersebut.
“Ya udah yuk, kita makan dulu. Kamu
pasti belum makan?” ajak Ucha.
“Kok kamu tahu?”
“Ya iyalah, kamu dandan secantik ini
aja pasti makan tenaga banget. Dari yang wajahnya standar, bisa jadi secantik
ini.”
Rena mencubit lengan Ucha. “Iiiih….
Apaan sih kamu ini?”
Ucha meringis. “Auw…. Cakep-cakep,
cubitannya kayak drakula nih…”
“Masak bodoh!”
“Ya udah, kamu makan sendiri aja
yah?!”
Bukannya Rena yang menimpali, malah
David, cowok berkacamata yang sering kebagian jadi MC di tiap pentas seni a. k. a. pensi. “Bro-Sis sekalian,
puncak acaranya masih lama, lho. Eh ini udah mesra banget. Ato kayaknya ini nih
yang bakal jadi Prom King sama Prom Queen kita.”
Ucha nyengir, Rena mesem-mesem.
“Bisa aja, lu, Vid,” ucap Ucha.
Saat tiba di gedung TK Tarakanita
yang jadi tempat pelaksanaan Prom Nite, waktu di arloji Ucha sudah menunjukan
pukul 19:05. Kalau kita tak terlalu memperhatikan bagaimana waktu itu berjalan,
waktu sering membuat kita terheran-heran dengan kecepatannya. Tak terasa sudah
sekitar satu jam, Rena dan Ucha berada di acara prom nite. Mereka berdua juga sudah makan malam. Sayang, suasana
tak mendukung untuk candlelite dinner.
Acara puncak dimulai, yaitu saat dimana tiap pasangan
berkumpul di tengah ruang dan ber-slow
dance. Dari sesi acara yang satu inilah, nanti akan dipilih siapakah prom king dan prom queen. Siapa sangka pula, si anak rumahan Rena jago berdansa.
Ditengah-tengah dansa mereka itu, Ucha mendesah, “Kamo jago juga dansanya,
Ren?!”
“Iya, soalnya waktu kecil dulu,
keluarga Papa-ku suka bikin acara-acara seperti ini tiap malam tahun baru.”
balas lirih Rena.
“Ooooh…” Hanya itu yang keluar dari
mulut Ucha. Ucha merasa terhina. Bayangkan saja, cowok yang dulunya terkenal
sebagai seorang cassanova ini kali
ini kalah dansa dengan seorang cewek rumahan. Tapi karena sudah kadung cinta,
ia rela martabatnya jatuh; asalkan Rena selalu ada di sisinya selamanya.
"Oh iya, Cha, sekarang jam berapa?”
tanya Rena yang merusak suasana romantis ini.
Ucha melirik sekilas arlojinya.
“Udah jam setengah sembilan.”
“Sudah saatnya aku pulang.” Rena
menghentikan dansanya, hanya saja masih dalam posisi berdansa.
“Kenapa?” Ucha agak kesal.
"Kamu lupa sama kata-kata Papa-ku
itu? Aku sudah harus di rumah, sebelum jam sepuluh.”
"Santai aja, Ren, mending nikmati prom-nya. Nanti aku kebut deh.”
“Tapi sekarang malam minggu.
Jalanannya pasti rame. Aku bisa telat ke sana,
Cha.”
“Tapi tadi aku enggak telat, kan, bawa kamu ke prom ini? Buktinya kita masih sempat
ikut acara puncaknya. Malah sebentar lagi kamu bakal dianugerahi gelar prom queen. Aku janji deh, kamu enggak
bakalan telat pulangnya.”
“Cha… aku mau pulang…” rajuk Rena.
Ucha paling tak tahan melihat wajah
cewek yang lagi merajuk. Ia mengembuskan napas seraya berkata, “Oke, terserah
kamu aja,”
Mereka berdua harus menanggung
konsekuensinya akibat meninggalkan acara prom. Suara huuuu mengiringi kepergian
mereka menuju areal parkir, dimana motor sport Ucha berada. Ucha pasrah. Yah
beginilah menjalin cinta dengan cewek rumahan nan patuh terhadap orangtuanya.
Pacarannya tidak bisa seenak bodong. Tapi bagi Ucha, di situlah sensasinya.
Apalagi, kenyataannya, Rena berhasil mengubah Ucha menjadi pribadi yang lebih
baik. Dari cowok ogah-ogahan belajar yang suka telat, menjelma menjadi cowok
yang nilainya sekarang tak pernah merah. Lagipula ada untungnya juga pacaran
dengan cewek rumahan macam Rena. Rena tak seperti cewek kebanyakan yang selalu
posesif. Selama ini, Rena selalu percaya akan kesetiaan Ucha.
*****
Jam 21:26. Rena tiba di rumah
sebelum waktu yang ditentukan Papanya. Di depan pagar rumahnya yang bercat
emas, Rena menatap tersenyum Ucha.
“Maaf yah, Cha, gara-gara Papa aku,
kita jadi disoraki teman-teman tadi,”
“Enggak apa-apa, kok. Lagian kalau
sampai aku nganternya telat, bisa ribut Bapak aku sama Papa kamu. Kita satu
gereja, kan?”
Rena memegangi tangan Ucha. Ucha
menduga, mungkin inilah saatnya ia merasakan yang namanya first kiss. Jujur saja, selama berpacaran dengan lima cewek sebelum Rena, belum sekali juga ia
first kiss atau making love. Ia memang terkenal playboy,
tapi playboy-nya bukan playboy tipe
cabul. Status playboy-nya hanya di
kebiasaannya yang suka bergombal ria. Istilah sekarangnya, suka sepik.
“Terimakasih yah, Cha…”
Tubuh Rena dan tubuh Ucha nyaris
merapat. Ucha jadi tegang menantikan momen first kiss-nya. Hanya saja
khayalannya kelewat jauh. Harus sirna, saat terdengar suara deheman gahar khas
orang Jepang. Mereka berdua pun langsung salah tingkah memencarkan diri.
Ternyata Pak Norishima.
“Sudah pulang kalian berdua?” tanya
Pak Norishima yang sejak kapan sudah berdiri di dekat pagar.
“I-iya, Pa.”
jawab Rena gugup.
“Gimana? Asyik, enggak, acaranya?”
tanya Pak Norishima lagi.
“Gimana mau asyik, Pa? Kami berdua
ajan harus pulang di tengah-tengah acaranya. Kami melewatkan penganugerahan
gelar prom king dan prom queen-nya.” Rena terlihat kecewa.
Sepertinya ia yakin sekali bisa meraih. Namun apa daya. Kepatuhan terhadap
orangtuanya mengalahkan minatnya pada gelar itu.
“Itu juga sudah bagus menurut Papa.
Karena tak baik anak perempuan pulang malam. Papa tak mau saja anak Papa
mengalami hal tak menyenangkan. Apalagi Papa cukup tahu apa yang akan dilakukan
sepasang kekasih kalau sudah di atas jam sembilan malam.” Pak Norishima mulai
nyinyir ala seorang ayah yang memproteksi anak gadisnya dari hal-hal negatif.
Ucha mau sekali mencak-mencak. Tapi
ada sesuatu yang menahannya dan membuatnua hanya menerbitkan sebuah cengiran.
Kalau mau hubungannya langgeng, baik-baiklah dengan calon mertua.
“Ya sudah, Om,
aku pamit dulu,” sahut Ucha.
Papa Rena acuh tak acuh. Ia lebih
memilih menjawabnya dengan senyuman, lalu menatap anak gadisnya lagi.
“Rena, sebaiknya kamu tidur. Besok kamu harus berangkat pagi-pagi, kan?”
“Rena, sebaiknya kamu tidur. Besok kamu harus berangkat pagi-pagi, kan?”
Ucha kaget mendengarnya. Ada apa ini? Kenapa Rena
tak pernah memberitahukannya kalau ia mau pergi besok.
“Memangnya Rena mau pergi kemana, Om?”
“Lho, Rena tak pernah
memberitahukanmu kalau besok ia mau berangkat ke Jepang buat kuliah?”
Ucha menggeleng, ia mengamati wajah
pacarnya itu untuk meminta jawaban.
“Maaf, Cha, aku baru kasih tahu
kamu. Soalnya aku lupa aku harus berangkat ke Jepang besok.” jawab Rena.
“Sekali lagi maaf yah aku lupa kasih tahu kamu soal hasil tesnya waktu itu.
Hasil tesnya juga baru dikirimkan dua
hari lalu. Pas aku mau kasih tahu ke kamu, eh kamu juga mengarahkan pembicaraan
ke soal prom.”
“Kamu berangkatnya jam berapa? Biar
aku antar.” Ucha menawari diri supaya bisa melihat wajah pacarnya untuk kali
terakhir, sekaligus untuk mengucapkan kata-kata perpisahan.
Papa Rena langsung menyambar,
“Enggak usah repot-repot kamu. Rena diantar sama Om besok jam lima pagi. Mana bisa kamu bangun pagi. Lagian
Om juga ragu kamu mau ke sini sebelum jam lima.
Dilihat dari jawaban Rena barusan, Om rasa
kamu belum pernah tanya sama sekali soal ujian Rena itu. Iya, kan?”
Ucha tak bisa mendebat. Bukan karena
berhadapan dengan orang tua, melainkan karena ucapan papa Rena barusan memang
benar adanya. Seingatnya, selepas mengantar Rena ke tempat tes itu, ia belum
pernah menanyakan pada Rena soal kapan hasilnya keluar. Bertanya soal kesusahan
Rena pun tak pernah. Kali terakhir, ia bertanya soal kondisi Rena itu pada
masa-masa awal berpacaran atau pas pedekate.
Selebihnya hubungan mereka sepertinya terus berputar-putar di dirinya seorang. Pacar
macam apa Ucha ini. Ia menunduk. Rasa-rasanya ia bukan pasangan ideal untuk si
Cinderella Moderen ini.
“Ayo, Rena, masuk. Besok kamu harus
bagun pagi.” ajak Pak Norishima yang sudah berada di depan pintu depan rumah.
“Maaf yah, Cha.. kalau kamu mau
datang, datang langsung saja ke bandara. Toh pesawatnya baru take-off jam 07:15.” kata Rena
tersenyum.
Rena berjalan masuk ke rumah, Ucha
menggas motornya pulang.
*****
“Bah!” seru Bapak Simaungunsong heran menatap anaknya, Ucha
keluar rumah di saat derasnya hujan. “Mau kemana kau, hujan-hujan begini?”
“Bandara.” jawab Ucha di balik
helmnya. “Tenang aja lagi, Pak. Aku pake helm sama jas hujan ini.”
Pak Simangunsong berdecak. “Ke
bandara? Mau ngapain, bah? Jangan bilang, mau ketemu pacar kau itu?”
Ucha hanya nyengir, Pak Simangunsong
geleng-geleng kepala.
Ia tak peduli hujannya begitu
mengamuk sekali sampai-sampai tak ada yang berani mengadangnya. Ia nekat saja
menerobos lebatnya hujan tersebut. Bertubi-tubi kulitnya digempur titik-titik
air yang jatuh ke tanah. Petir yang terus menyalak. Ia tetap saja menggas motor
sport-nya menuju bandar udara. Tak
sia-sia memang pengorbanannya. Ia tiba dengan utuh.
Eh tapi, siapa bilang? Sesampai di
salah pintu masuk bandara, blackberry
yang ia taruh di kantong dalam berdering. Ternyata ada SMS masuk. Dari Rena.
Dan jam di blackberry-nya sudah
menunjukan pukul 07:03.
“Kamu dimana? Jadi ke bandara?
Kayaknya enggak deh. Sekitar jam enam tadi, hujan mulai turun deras. Mungkin di
sana juga
hujan. Sebaiknya kamu enggak usah ke bandara. Aku juga sudah ada di pesawat. See you few months later.
Walau Rena berkata seperti itu dalam
pesan singkatnya, Ucha tak segera pulang. Ia harus bisa menemui Rena untuk kali
terakhir. Ia tetap berlari-lari kesetanan di dalam area bandara. Dalam
pencariannya itu, ia bertemu keluarga Rena.
“Om,
Tante, Rena-nya sudah berangkat?” tanya Ucha agak panik.
Ibu Norishima geleng-geleng kepala,
sedang suaminya menjawab, “Rena sudah sejak lima menit lalu masuk. Mungkin pesawatnya
akan lepas landas. Itu pesawatnya.” Ia menunjuki pesawat yang dinaiki Rena.
Benar saja. Pesawatnya akan mau
lepas landas. Ah mengapa Ucha bisa bangun kesiangan di saat hari terakhir ia
bertemu pacarnya? Ia agak menyesali keputusannya bermalas-malasan di atas
ranjang. Ditatapnyalah pesawat itu dengan mata berkaca-kaca. Terasa juga
pundaknya dirangkul seseorang.
“Ucha… Om
jadi merasa muda kembali melihat perjuanganmu ke bandara ini…”
“Kamu ada-ada saja, Cha. Kayak mau
kiamat aja. Padahal kalian kan
masih bisa berhubungan lewat internet. Desember nanti, Rena juga balik kok.”
timpal Ibu Norishima.
*****
Satu dekade berlalu. Ucha dan
Rena. Siapa sangka cowok berandalan bisa
cocok juga dengan cewek rumahan – bahkan hingga pelaminan. Kini mereka berdua
telah berada di singgasana sepasang mempelai. Mereka berdua saling bersitatap.
“Ren,” desis Ucha. “akhirnya kita
menikah juga yah, walau ribet juga prosesnya itu. Lagian kenapa juga mau nikah
aja dipersulit?”
“Tapi akhirnya nikah juga, kan?” Rena terkikik.
“Yah mungkin juga proses ritual; adat yang cukup melelahkan ini ingin
mengajarkan bahwa hidup setelah pernikahan itu jauh lebih rumit daripada
pernikahannya itu sendiri. Kalau prosesnya aja udah ngeluh, gimana nanti
setelah nikah?”
Ucha tersenyum. Dalam hati, ia membenarkan
ucapan pacar – eh istrinya itu. Ia jadi merasa tak enak saat cemberut menjalani
tahap demi tahap ritual adatnya. Semoga saja ‘cemberut’ tak akan ditemukan
dirinya dalam perjalanan pernikahannya kelak.
Bak cerita Cinderella, sepasang
sepatu kaca telah bersatu kembali setelah beberapa kali terpisah.
wah, seneng banget ya sama nuansa jepang :D
ReplyDeletenice story :D
Suka banget keknya nulis beginian. Kenapa nggak bikin buku aja hhe
ReplyDeleteMantaaap... romantisnya dapet, Bro.... :)
ReplyDeleteKayaknya seneng bikin cerpen2 romantis kayak gini, ya....
Jadi kapan ke Jepang, Bang? :D *ngga nyambung*
ReplyDeleteBayarin ya? :p
DeleteNgga ada duit. Bahahah :D
Deletekisah rena dan ucha yang asyik diikuti...hingga ke pernikahan mereka...great story....
ReplyDeletekeep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
Awal baca judulnya gue pikir ini genre nya bakal romance-humor kayak cinderela yg pernah gue tulis di blog juga bang.. yang endingnya gue sama kuda -___- hahahah
ReplyDeleteternyata cerita serius ya..
Nice story!
Cuman korelasi alur sama judul atau inti ide sama judulnya mesti diperkuat lagi kayaknya bang.
Biar lebih nonjok. hehe
Iya sih, hahaha.. Tahun lalu pas bikin, kepikiran aja kasih judulnya itu. And then, sekiranya dipublish di sini, gue jadi tahu kenapa kalah. Hahaha... Thank a lot. ^^
Deletepasanga alarm yang banyak dong biar gak telat bangun hehehe. yang penting ucha sama rena bersatu ya happy ending
ReplyDeleteI recommend you to create Wattpad account, and share your stories there. :D
ReplyDelete