Sudah
sebulan ini, Agustian tidak mengajar di SD Mutiara Bakti. Anaknya yang telah
menginjak kelas delapan di Sekolah Menengah Pertama, sakit keras. Seminggu
lalu, dokter mendiagnosa anak tunggalnya itu terkena leukemia – atau kanker darah
putih. Di dalam tubuh Mayang – nama anaknya itu, jumlah sel darah putihnya jauh
lebih banyak diproduksi oleh sum-sum tulang belakang. Sehingga jumlah
produksinya jauh dari orang normal, dan sudah memasuki tahap akut. Pada
awalnya, Agustian dan istrinya tak menyangka anak semata wayangnya itu bisa
terjangkit penyakit mematikan tersebut. Tiga bulan lalu, Mayang masih terlihat
sehat bugar, sehingga suatu waktu, Mayang mengalami pendarahan hebat; dan
memaksa Agustian untuk membawanya ke rumah sakit.
Agustian kini duduk menatap anaknya
yang terbaring lemah dan ditopang oleh berbagai alat lifesupport. Pikirannya lagi
kacau sekarang. Acara televisi tak ada yang sama sekali ia simak. Hanya lihat
gambar dan suara yang terdengar juga
masuk telinga kanan-keluar telinga kiri. Sebabnya, ia tengah memikirkan dua
problema yang sangat urgen.
Pertama, kelangsungan hidup Mayang.
Dokter memprediksikan anaknya itu tak akan bisa bertahan lama. Usianya hanya
tinggal sebulan lagi di dunia. Kedua, soal tagihan rumah sakitnya. Sebetulnya
untuk masalah yang kedua ini, Agustian tak perlu risau. Pihak sekolah, dimana
ia mengajar, berjanji akan membantu biaya pengobatannya. Yah walaupun uang
tersebut belum ia terima, hingga sekarang ini. Padahal pihak rumah sakit sudah
memberitahukan soal tagihannya tiga hari yang lalu.
“Yah,”
Agustian menoleh ke belakang.
Dijumpainyalah Lina, istrinya, telah berdiri di sampingnya. Istrinya itu
menatapnya dengan tersenyum yang sedikit dipaksakan. Tampak matanya agak
sembap.
“Gimana, Bu? Sudah ada yang beli
mobilnya?” Agustian menanyakan perihal mobil Kijang tua, mobil yang istrinya
beli dari penghasilannya sebagai seorang teller
di sebuah bank swasta. Untuk membayarkan biaya pengobatan awalnya yang
cukup tinggi, Agustian merelakan mobil tersebut dijual. Biarlah mereka tak
punya alat transportasi lagi, asalkan uang tersebut benar-benar dapat
menyelamatkan Mayang dari cengkeraman malaikat maut.
“Sudah, Yah. Walau tua-tua begitu,
alhamdullilah, masih ada yang mau beli. Bahkan yang beli, berani menawar 300
juta.” jawab Lina.
“Lalu sudah dibayarkan uangnya?”
“Sudah. Ini ada di tas ibu,
uangnya.” Lina beringsut mendekati Mayang yang masih terbaring. Dipegangnya
lembut, kaki anaknya itu. “Oh yah, Yah, biaya pengobatannya juga sudah ibu
bayar kok.”
Agustian mengangguk pelan, sambil
memaksakan diri tersenyum.
“Oh yah, Ayah sudah makan? Kalau
belum, makan saja dulu. Biar Ibu yang jaga Mayang.”
Tanpa berucap apa-apa, Agustian
beranjak berdiri. “Ya udah yah, Bu, Ayah makan dulu.” Sebelum Agustian mendekati
pintu ruangannya, Lina bertanya suatu hal, “Yah, jadi kapan Mayang bisa segera
dioperasi?”
“Kata dokternya, kemungkinan rabu
depan, Mayang sudah bisa dioperasi.”
*****
Agustan duduk termenung di bangku
kantin rumah sakit. Dibiarkannyalah, semangkok bubur ayam yang sudah
dipesannya. Dari tadi ia hanya menyeruput kopi pahitnya itu. Ia tak berselera
untuk menikmati sarapan paginya yang cukup telat. Kombinasi nasib yang
menimpanya dan bau rumah sakit yang cukup tajam, membuat hilang nafsu makannya.
Dari tadi, sendok yang berisi bubur tersebut, sudah lama ia pegang untuk
menunggu masuk ke dalam kerongkongannya.
Tiba-tiba saja, terbayang di
pikirannya, kejadian beberapa tahun silam, tepatnya waktu ia memutuskan untuk
masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Waktu itu, ayahnya terang-terangan
tidak suka ia masuk fakultas tersebut. Dengan kecerdasan yang ia miliki, ayahnya
berharap ia masuk Fakultas Kedokteran, atau minimal Fakultas Ekonomi. Namun ia
tetap bersikukuh dengan keputusannya itu. Ia merasa dirinya terpanggil untuk
ikut serta mencerdaskan generasi penerus bangsa. Apalagi ia amat suka mengajar
anak-anak.
Namun
kali ini, baru sekarang ia merasakan bahwa mungkin saja keputusannya untuk
menjadi guru itu suatu kesalahan. Kalau saja, ia lebih memilih mengikuti saran
ayahnya itu: jadi dokter atau masuk Fakultas Ekonomi. Mungkin saja, ia dan
istrinya tak perlu kerepotan mencari uang untuk biaya pengobatannya. Mungkin
benar kata ayahnya, jadi guru itu bukan pilihan yang bagus untuk masa depan.
Aduh, bicara apa sih
aku ini? Kenapa malah jadi ngawur seperti ini?
Agustian
segera meralat kembali pemikirannya tersebut. Tak ada yang salah dengan
keputusannya menjadi guru. Tokh itu juga tak sia-sia. Beberapa anak didiknya
banyak yang ikut andil dalam sejumlah lomba cerdas cermat ataupun olimpiade
tingkat kabupaten. Anaknya, Mayang pun menjadi siswi berprestasi di sekolahnya,
dan itu karena didikan dan ajarannya.
Mungkin
bukan keputusannya menjadi guru yang disesalinya. Mungkin ada baiknya dia
menyesali kenapa penyakit ganas tersebut bisa datang ke anaknya itu. Ya Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan
seperti ini pada keluargaku? Apa salahku?
“Pak…”
Pelayan salah satu kedai itu memanggilnya.
“Yah…”
balas Agustian, sambil menyuapi dirinya sendiri dengan bubur ayam yang dari
tadi masih tertuang di sendok itu.
“Sepertinya
ada yang bapak pikirkan. Sudah hampir dua puluh menit, bapak tak kunjung
memakan buburnya. Ada apa?” ucap pelayan itu. “Eh maaf, kalau saya jadi ikut
campur.”
“Nggak
apa-apa,” kata Agustian. “Saya lagi ada masalah. Dan itu adalah penyakit
leukemia anak saya. Leukemia tingkat akut. Kata dokter yang memeriksa, harapan
hidupnya kecil sekali. Dan selain itu, saya juga pusing memikirkan biayanya.
Untuk bisa membayar pengobatannya itu, saya harus menjual mobil, sebagai alat
transportasi keluarga saya satu-satunya.”
“Oh
gitu…. Yang sabar saja yah, Pak. Perbanyak doa, siapa tahu saja Tuhan mau
mendengarkan dan mengabulkan doa bapak, agar anaknya cepat sembuh.” ujar
pelayan itu lagi.
“Terimakasih.”
“Sama-sama,”
kata pelayan itu, yang sudah duduk di sampingnya. “Oh yah, coba bapak searching-searching di internet. Waktu
itu saya pernah baca di internet, ada obat bagus nan murah untuk mengobati
kanker. Kalau nggak salah, obat itu dijual di Klinik Cheng Feng. Banyak orang
bisa sembuh, waktu berobat di sana.”
“Oh
yah?” Agustian mulai tertarik. “Kalau boleh tahu, ada dimana klinik tersebut?
“Saya kurang tahu pastinya dimana.
Tapi coba bapak cari saja di internet.”
*****
Keesokan harinya, Agustian kembali
mengajar di sekolahnya, setelah satu bulan absen. Sekembalinya dia mengajar,
banyak guru dan murid yang datang padanya untuk menyatakan keprihatinan mereka
terhadap nasib yang menimpanya. Banyak doa yang mereka berikan untuk kesembuhan
Mayang, anaknya itu. Selain itu, ia juga mendapatkan sumbangan yang cukup besar
nilainya untuk biaya pengobatannya, di luar uang yang dijanjikan pihak sekolah
untuk membantu keringanan biayanya.
Selesai mengajar, ia berencana untuk
mampir sebentar ke warnet. Ia berkeinginan untuk mencari informasi soal Klinik
Cheng Feng. Siapa tahu saja, kata-kata pelayan kedai kemarin ada benarnya.
Namun pada saat ia akan bersiap
menuju warnet, ada seseorang yang memanggil-manggil namanya. Ia menoleh ke arah
suara itu. Rupanya Pak Endi, guru Sains, yang selama ini suka menjelek-jelekan
dirinya di depan para guru, sekaligus murid dan orangtua murid. Ditatapnya guru
tersebut dengan menyimpan aura kebencian di dalam raganya.
“Eh Pak Endi,” Agustian mencoba
bersikap ramah padanya, walaupun ia merasa sia-sia saja. Siapa tahu saja kan
guru yang suka mengumpat dan menjilat ini malah mengeluarkan kata-kata dengan
nada sindiran yang menusuk hatinya lagi.
“Katanya anak sakit yah?” tanya
Endi.
“Iya.” jawabnya singkat.
“Oh yah, Pak Agus jangan berburuk
sangka dulu sama saya. Saya nggak ada maksud buat menghina bapak lagi. Saya
justru mau minta maaf atas segala perbuatan tak enak saya pada bapak. Sekaligus
saya juga mau membantu bapak.”
“Membantu?”
“Iya, membantu,” Endi membeo.
“Oh yah, beberapa hari yang lalu, saya baru
saja dapat warisan dalam jumlah yang cukup besar. Tadinya saya mau menggunakan
uang tersebut untuk membeli rumah mewah di kawasan BSD. Tapi saya urungkan,
karena semalam saya mendapatkan wangsit. Almarhum bapak saya yang meninggal lima
bulan lalu, mendatangi saya dalam mimpi dan berpesan agar dengan uang
peninggalannya itu, saya bisa menyelamatkan Pak Agus dari kesukaran ini. Dan
karena ini wangsit dari almarhum bapak saya, paginya itu saya jadi termenung
sendirian di kamar.
Waktu
saya ceritakan mimpi tersebut ke istri saya, dia malah mengikuti saya untuk
mengikuti wangsit almarhum bapak saya itu. Pamali,
katanya. Ya sudah deh, saya jadi berpikir kalau mungkin uang yang saya dapatkan
itu jauh lebih berdaya guna bila bapak yang menerimanya.”
“Bapak
serius?” Agustian serasa tak percaya mendengar ucapannya Endi barusan.
“Iya,
Pak. Lagipula saya murni ingin membantu,
selain untuk menjalankan wangsit almarhum bapak saya. Saya juga tak ada maksud untuk
pamer, kok.” ucap Endi dengan nada meyakinkan. “Oh yah, dimana anak bapak
dirawat? Sudah dioperasi?”
“Anak
saya dirawat di Rumah Sakit Mayapada, dan kata dokternya, rabu depan, dia sudah
bisa dioperasi.”
“Oh
gitu… Oh yah, saya mengusulkan, bagaimana kalau anak bapak diobati di Singapura
saja. Bukankah kualitas dunia medis di sana jauh lebih baik daripada di sini?
Dan soal biaya, biar saya yang tanggung.
Bagaimana, Pak Agus?”
Agustian
menjadi bergeming sesaat mendengarnya. Matanya nyaris tak berkedip, waktu
menatap Endi, guru Sains tersebut. Mimpi apa dia semalam, kalau orang yang
selama ini menjelek-jelekan dirinya malah punya niat untuk menolongnya?
*****
Selepas menjalani operasinya, Mayang
langsung dibawa ayahnya, Agustian menuju Singapura. Akhirnya Agustian sepakat
dengan usul dari seseorang yang bisa dibilang rivalnya itu. Dengan biaya yang
nyaris seluruhnya ditanggung Endi, Mayang ditangani di sebuah rumah sakit elit
di sana dan oleh dokter terbaik.
Namun apa daya. Manusia hanya bisa
berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Mayang sudah tak bisa diselamatkan lagi.
Agustian dan istrinya harus merelakan kepergian putri semata wayangnya itu.
Kini jenazahnya Mayang akan dibawa pulang ke Indonesia untuk dikebumikan.
*****
Setelah jenazahnya Mayang tiba di
Tangerang, tepatnya di rumah ayahnya, Agustian, diadakanlah sebuah pengajian
sebelum dikuburkan. Lalu selesai pengajiannya, jenazah tersebut dibawa ke TPU
untuk dikuburkan. Pada saat penguburannya itu, banyak orang yang datang
melayat. Mulai dari keluarganya Agustian dan istrinya, guru-guru dan
murid-murid di tempatnya mengajar, para tetangganya, hingga….. dia kedatangan
tamu istimewa yang sudah lama tak dijumpainya. Tamu istimewa itu adalah
ayahnya.
Semenjak Agustian memutuskan menjadi
guru, ia sudah lama tak bertegur-sapa dengan ayahnya tersebut. Jangankan
bertegur-sapa, ayahnya itu juga seolah enggan datang menengoknya, ataupun
melihat rupanya seperti apa sekarang.
Saat kelahiran Mayang pun, ayahnya juga tak menjenguknya di rumah sakit.
Sepertinya sang ayah masih belum bisa menerima keputusannya Agustian menjadi
seorang guru.
Melihat
kedatangan ayahnya itu, Agustian langsung berjalan cepat, lalu memeluk erat
ayahnya.
“Agustian… Maafkan Abah, yah, karena
selama ini seolah memusuhimu… Abah tahu abah salah… Jadi guru rupanya juga bisa
jadi investasi bagus untuk masa depan… Apalagi setelah abah lihat foto-fotomu
di beberapa koran dan majalah… Namamu sering disebut-sebut oleh para pemenang
olimpiade atau lomba cerdas-cermat itu sebagai mentor terbaik…” sahut ayahnya
itu sambil terisak-isak.
“Oh
yah, soal Mayang, abah bangga punya cucu sepertinya… Apalagi setelah abah tahu
Mayang pernah menang lomba atletik antar sekolah se-kabupaten…”
Mungkin memang benar kata Endi. Tak
ada yang sia-sia, waktu Mayang dibawa ke Singapura, bahkan walau akhirnya
Mayang tetap meninggal. Selalu ada sisi positif dibalik sebuah musibah. Dan
sisi positifnya itu ialah… ayahnya dan sahabat baru. Setelah kematian anaknya
itu, Agustian jadi semakin akrab dengan Endi, seseorang yang dulunya selalu
merendahkannya.
"Tanpa guru, kita mungkin akan terus hidup dalam tempurung kebodohan. Walau guru merupakan profesi, tak sedikit yang memandang rendah. Banyak sekali yang mencoba menghindari nasib dari profesi yang bernama GURU."
aku suka kutipan nya.....
ReplyDeleteAku memang menghindari untuk berprofesi menjadi seorang guru,tapi aku tidak pernah memandang rendah profesi seorang guru...
Makasih, ^^
DeleteTapi sekarang sudah banyak guru yang makmur kok ya. Ilmunya sangat berjasa, apa jadinya kalau gak ada yang mau jadi guru lagi
ReplyDeleteMasa sih bu? Hehehe
Deleteitu fotonya si mayang kah?
ReplyDeleteKak, aku berasa tersindir, ehehe... soalnya ayah saya juga menyuruh saya untuk masuk FK, tapi saya pengennya jadi jurnalis, dan akhirnya diterima di FKIP... Alhamdulillah banyak hal yang saya terima...
Dan yang saya tahu, Tuhan selalu tahu apa yang membuat hambaNya bahagia dan Tuhan selalu bertanggung jawab atas apa yang telah Ia perbuat untuk hamba-Nya
Hahaha.. Maaf deh kalau buat kamu merasa tersindir. :D
DeleteSedih, selalu ada sisi positif di balik sebuah musibah. Oh iya, guru tuh skrg enak lho, bisa cari duit pas ada siswa yang nilainya kecil, dalam sekejap nilai siswa itu bisa jadi gede.. #LOL
ReplyDeletePlus kalau bisa dapat siswi yang cantik ya. Betah dah ngelesinnya. Hahaha
Deletebagus nih ceritanya, emang abis bencana pasti ada hal baiknya, yah mungkin gak seberapa tp tetep hal baik
ReplyDeletepas di scene pak endi mau bantu gue udah berprasangka ada niat buruk tuh, ternyata emang tulus hahaha :D
Wah ternyata gue sukses ngasih twist. Hahaha
Deletepenyakit kanker itu emang penyakit yang gak hanya berdampak buruk pada tubuh penderitanya, tapi berdampak buruk juga bagi kehidupan ekonomi keluarganya. sayang sekali yah, udah keluar uang banyak tapi malah gak bisa diselamatin. tapi pesan yang lu bagikan melalui cerita ini keren juga nuel. well done
ReplyDeleteMakasih.... ^^
DeleteAku dulu juga mau jadi guru loh
ReplyDeletetapi nasib berkata lain.
gak tembus di kuliah jurusan pendidikan
kayaknya cuma bisa jadi dosen.
atau guru les bahasa inggris.
wkwk
nice story!
Klinik Cheng Fang nya mengganggu cerita nih menurutku --"
haha
Mengingatkanmu sama klinik itu yah? Yang dulu sempat bikin heboh jagat maya.... Hahahaha...
Delete