Setelah
menguras otaknya saat ujian Fisika tadi, Adrian langsung melengos menuju warnet
dekat sekolahnya. Hal tersebut memang sudah jadi kebiasaannya Adrian setelah
selesai ujian. Ia tak akan langsung pulang ke rumah, melainkan mampir dulu ke
warnet. Biasanya saat tiba di warnet, ia langsung memainkan game favoritnya, Point Blank.
Kalau
sudah bermain game tersebut, matanya langsung fokus ke depan layarnya. Ia tak
akan mengacuhkan apapun yang terjadi. Lapar, dahaga, bahkan hingga sariawan pun
ia tetap berfokus memainkan game
favoritnya tersebut. Tak peduli bisingnya warnet dimana ia biasanya main,
konsentrasinya tetap saja di game
favoritnya itu.
“Bang,
ada yang kosong nggak?” Begitulah pertanyaannya Adrian kepada operator tiap kali
masuk ke warnet tersebut.
Dengan menunjuk ke arah bilik yang
belum digunakan, operator bernama Bang Daud itu menjawab, “Tuh, di komputer
nomor enam,”
“Nih Bang, gue main. Biasa, main
paket yang tiga jam.” Adrian langsung memberikan uang yang ia keluarkan dari
dompetnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Bang Daud
langsung memainkan jari-jarinya dengan lincah di atas keyboard. Ia mengesetkan terlebih dahulu, supaya Adrian bisa main game favoritnya. Adrian pun langsung
bergerak menuju bilik nomor enam yang berada di pojok ruangan. Sesampainya di
sana, ia segera menghidupkan CPU-nya dan menunggu sebentar sampai tampilan
Windows keluar. Kalau sudah keluar, tanpa pikir panjang ia mengklik icon Point Blank.
Lima menit setelahnya, Adrian jadi
anti-sosial. Ia sibuk memainkan game
tersebut. Dari satu arena, ke arena lain. Dari satu misi,ke misi lainnya.
Baginya, permainan perang-perangan tersebut ibarat masalah hidup-matinya. Demi
mendapatkan pangkat yang jauh lebih baik, jangankan kehilangan uang sakunya
selama dua bulan, ia bahkan pernah mencoba bekerja sebagai operator di warnet
dekat saja. Bersyukur ia tak sampai menilap uang sekolahnya hanya untuk game tersebut.
Tak
lama kemudian – setelah Adrian bermain selama tiga puluh menit – masuklah
seorang perempuan. Perempuan tersebut sepertinya sebaya dengan Adrian. Karena
perempuan tersebut masih mengenakan seragam sekolah, namun bukan di sekolah
yang sama dengan Adrian. Penampilan perempuan tersebut juga lusuh. Namun tetap
saja, kelusuhannya tidak mengurangi kecantikannya yang membuat perhatian para gamer jadi teralih, termasuk juga
Adrian. Jarang-jarang ada sesuatu yang
bisa mengalihkan perhatiannya. Untung saja Adrian sempat mem-pause-kan permainannya sebentar.
“Bang,
ada yang kosong nggak?” tanya perempuan berambut panjang sebahu tersebut.
“Ada
tuh. Di komputer nomor tujuh. Tuh di sana.” jawab Bang Daud sambil menunjuk
bilik yang berada di samping Adrian. Adrian jadi nyengir sendiri dan para gamer
memasang tampang iri padanya.
“Main
tiga jam berapa, Bang?” tanya perempuan itu lagi.
“Tujuh
ribu, Neng,” Bang Daud tersenyum nakal pada perempuan tersebut. “BTW mau main
fesbukan, neng? Atau twitteran? FB sama twitternya apa?” Bang Daud
menaik-turunkan kedua alisnya.
“Iih,
sok tahu si abang. Gue mau main game kok. Main PB.” sahut perempuan tersebut.
Kali
ini Bang Daud jadi melongo. Karena baru kali ini, ada perempuan yang masuk ke
warnetnya, tapi malah main online game-nya.
Point Blank pula.
Sedangkan
perempuan tersebut langsung menyerahkan uangnya dan berjalan menuju bilik nomor
tujuh. Di sana, ia duduk dan menghidupkan komputernya. Menunggu beberapa saat
hingga tampilan Windows dan kotak dialog billing-nya
keluar. Barulah setelah itu, sama seperti Adrian, ia mengklik icon Point Blank.
“Hey, lu dari sekolah mana?” ucap Adrian sok
kenal. “BTW baru pertama kali main PB?”
Gara-gara
pertanyaan bernada sindirannya Adrian tersebut, perempuan itu malah menatap
tajam ke arahnya. “Maksud lo? Jadi perempuan nggak boleh ni main PB?”
“Eh
bukan gitu maksud gue. Kok lu malah sewot?” ralat Adrian sambil terkekeh. “Yah
kan siapa tahu aja lu baru pertama kali main.”
“Sembarangan
kalau ngomong. Gue udah lama tahu main PB. Perlu bukti kalau cukup jago
maininnya?” sembur perempuan tersebut.
Adrian
mulai senyum-senyum nakal. “Boleh juga. Berani nggak taruhan?” tantang Adrian.
“Siapa
takut. Apa taruhannya?” tantang perempuan tersebut balik.
“Kita war. Arenanya gue yang tentuin. Kalau
lu kalah, lu jadi pacar gue. Gimana?”
“Oke.
Tapi kalau lu kalah, lu harus pake rok tiap kali masuk ke warnet ini. Yah
minimal selama dua minggu lah.”
“Oke,
nggak apa-apa. Lu pasti kalah kok sama gue.” Adrian terkekeh sendiri. “BTW lu
masuk aja ke room 28. Gue main di room itu. Masih bisa dimasukin juga
lagian.”
Lalu
setelah perempuan tersebut log in, ia langsung memilih room 28. “Udah tuh.
Terus war dimana nih?”
“Bentar,
gue keluar dulu dari arena ini,” Segera Adrian keluar dari arena tersebut. “Oh
yah, nama lu siapa?” Adrian menyodorkan tangan kanannya. “Gue Adrian.”
“Marina.”
“Marina,
yah? Marina kan artinya pelabuhan khusus untuk kapal pesiar. Dan kapal pesiar
yang ada di sana biasanya bagus-bagus. Cocok sama lu. Lu kan cantik.” Adrian
mulai mengeluarkan gombalannya.
Walaupun
masih dongkol, pipinya Marina memerah. Ia tersipu, sepertinya. “Halah, sepik
aja lu. Udah deh buruan. Mau war
dimana?”
“Kita
main di death match. Lu udah gue invite tuh. Masuk aja.” jawab Adrian.
“Siap-siap aja kalah yah. Dan gue udah siap melepaskan masa jomblo gue.”
Marina
langsung menerima invitation
tersebut. “Iih amit-amit deh. Lu kali yang siap-siap pake rok.” ujar Marina
sambil tersenyum sinis.
Tiba-tiba
pundaknya Adrian dicolek. Adrian menoleh. Rupanya yang mencoleknya adalah
seseorang yang cukup akrab dengannya, Dion. Dion membisikan sesuatu padanya.
“Bro lu tahu nggak siapa yang lu ajakin taruhan?”
“Emang
siapa?” tanya Adrian sambil berbisik juga.
“Gue
kenal tuh cewek. Dia tinggal sekomplek sama gue. Di warnet di komplek gue, tuh
cewek cukup jago tuh maennya. Anak-anak di komplek gue udah banyak yang kalah
maen sama dia.” Nada suaranya Dion terdengar seperti mengejek.
“Halah,
gue gak takut.” Adrian begitu optimis.
“Woy,
cowok! Maenin tuh punya lu. Sebelum gue
bikin kalah sepuluh kali. Tuh barusan lu udah kena head shot-nya gue.” Suaranya Marina naik satu oktaf.
Dion
kembali menatap layar komputer dan ia cukup terkejut. Tapi tetap saja ia tak
percaya kalau Marina jago mainnya. Ah itu
kan karna gue diajakin ngobrol sama si Dion, gumam Adrian.
Selanjutnya
setelah itu, Adrian pun terlibat pertempuran seru dengan Marina. Baik Adrian maupun
Marina sama-sama berkonsentrasi penuh. Head shot, chain killer, hingga double shot berkali-kali keluar di layar
komputer masing-masing. Karakternya Adrian berhasil menembak karakternya
Marina, begitupun juga sebaliknya. Permainan semakin memanas. Kata-kata makian
juga beberapa kali keluar, entah dari mulutnya Adrian maupun dari mulutnya
Marina. Hingga akhirnya ronde yang keseratus, pemenangnya pun keluar. Untuk
pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, Adrian kalah.
Yah
Adrian kalah. Adrian yang biasanya selalu menang, kini kalah. Kalah di tangan
seorang perempuan cantik yang tak ada sama sekalipun menyangkan dia begitu suka
main Point Blank. Adrian begitu kecewa, juga malu. Malu karena beberapa
pengunjung warnet kompak meng-huu-kannya. Apalagi dia tahu harus mengenakan rok
selama kurang lebih dua minggu.
“Woy
banci!” tukas Marina dengan sarkastik.
“Nama
gue Adrian, bukan banci,” protes Adrian kesal.
“Iya
lah, what ever. Lu kalah inih. Oh
yah, gue minta nomor lu dong. Yah buat mastiin aja lu nggak ngelak dari janji
lu.”
Dalam
hati, Adrian ingin menolak. Namun tidak dengan otaknya Adrian. Otaknya terus
menyuruhnya agar segera memberitahukan nomor handphone-nya kepada gadis yang membuatnya mabuk kepayang itu. Inilah
kesempatan Adrian untuk pedekatein Marina
dan melepaskan masa jomblonya.
“Iya,
iya, gue sportif kok. Catet nih nomornya gue,” Adrian menyebutkan nomor handphone-nya dan Marina pun mencatat
nomornya di blackberry-nya.
“Besok
jangan kabur lu yah?!” Marina nyengir.
*****
Keesokan
harinya, sekitar jam dua belas, Adrian terpaksa harus kembali ke warnet itu.
Apalagi malamnya Marina sudah menghubungi agar tidak kabur, selain kembali
menghubunginya paginya. Dengan berat hati, Adrian pun harus mengenakan rok. Tak
sekedar rok SMA yang Adrian kira. Karena rok yang dibawa Marina adalah rok mini
yang di atas lutut dan itu harus dikenakannya selama main game di warnet. Itu harus dilakukan Adrian, karena Marina terus
mengontrolnya, dan Adrian tak bisa menolaknya sama sekali. Sepertinya Adrian
telah jatuh cinta, sehingga menjadi setolol itu.
Hingga
dua minggu pun berlalu sudah. Adrian tak harus mengenakan rok tiap kali main di
warnet. Di saat hari terakhir perjanjiannya, Marina mendekati Adrian yang saat
itu sedang main game. Dengan begitu cepatnya, ia berkata bahwa sebetulnya ia
sudah lama suka dengan cowok tersebut.
Hanya saja ia mendadak ilfeel saat cowok tersebut mengeluarkan kata-kata bernada ejekan.
Jadinya ia malah bernafsu untuk menang. Harusnya ia mengalah, sehingga dengan
begitu ia resmi berpacaran dengan Adrian.
Adrian
pun tertawa mendengarkan pengakuannya Marina itu. Namun Adrian juga mengakui apabila ia
juga suka dengannya. Jantungnya berdebar-debar waktu pertama kali melihatnya.
Ia juga mengaku salah, karena tak seharusnya ia meremehkan orang. Apalagi orang
itu sukses membuatnya merasakan cinta untuk pertama kalinya.
Selanjutnya
bisa dipastikan, pertemuan kali ini, Adrian tak melakukan kebodohan lagi. Kali
ini ia tembak Marina dan Marina juga tak melakukan hal tolol juga. Ia terima.
Dan akhirnya Adrian dan Marina pun resmi berpacaran di sebuah warnet, yang lalu
diikuti sorak sorai dan siulan dari pengunjung warnet. Beberapa dari mereka
malah minta ditraktir. Tentu saja karena hari itu merupakan hari istimewa,
Adrian menyanggupinya.
Yah
begitulah cinta. Kadang datangnya suka tak terduga. Ketika cinta sudah datang
ke kehidupan kita, bagaimanakah reaksi kita?
PS: Salah satu cerpen yang ada di e-book Kumpulan Cerita saya yang diterbutkan secara online di Riokta. Tertarik membacanya? Silakan buka pages "MU BOOKS" untuk cara pembeliannya. :D
Ih so sweet bgt :d
ReplyDeletewew, maen pb, :D kisah yang hampir mirip :D
ReplyDeletecinta berawal dari PB ya :)
ReplyDeleteMuahahahahaha
ReplyDeleteAda kagak ya cerita nyata yang beginian.
Wah happy ending deh ceritanya, sepertinya ini ndak jauh berbeda dengan aslinya ya mas, suka maen PB juga di warnet hehehe
ReplyDeleteDulu waktu semester2 awal kuliah, aktif banget di PB. Tapi akhir-akhir ini, udah gak pernah lagi main PB. Hehehe
ReplyDeletedeath match ya, nuel? aku baru tau tentang ini, hehe *ga gaul*
ReplyDeletesudah beberapa kali saya berkunjung ke blog ini, tp mengapa anda tidak pernah berkunjung balik ke blog saya ?? saya sangat sedih :( , mudah2 kali ini anda dapat berkunjung melihat blog saya :) , sukses selalu untuk anda dan keluarga :D
ReplyDeletehaih, unyu-unyu aja cerita lo nuel, hahahah...
ReplyDeleteHahaha.... Kayaknya gue beneran punya bbakat melucu yah? Tiap kali nulis, adaa aja yang ketawa versi tulisan.... Hahaha.. :D
ReplyDeletelebih seru lagi kalau dilamar marina-nya :p
ReplyDeletegw bener2 gak ngerti mainan PB ini, jaman gw muda dulu jamannya RO Ragnarok Online bwahahahaaa... *ketauan jadulnya*
ReplyDeletekalo saya ke warnet pertanyaannya biasanya nggak begitu bro, tapi: penuh ya?
ReplyDeletedan biasanya dijawab tidak
Ceritanya seru. Gue suka bang. Sering sering bikin cerpen yak :D
ReplyDeleteIkutan menyimak...
ReplyDeletewkwkwkwk si eneng... dia main PB :D
ReplyDelete