ONE STORY ONE PHOTO: Mesin, Persahabatan, dan Waktu




Genre: Fantasi


Dokumentasi pribadi. 






Krieeet...

Persahabatan tak akan lekang oleh waktu; bahkan tak berbau debu seperti gudang tua ini. Itulah yang dirasakan oleh tokoh utama kita, William--seorang laki-laki bergaya rambut ala pria era 70 dan 80-an--begitu memasuki gudang tua yang terletak tak jauh dari bangunan utama rumahnya. Ternyata teman-teman lamanya sudah ada di dalamnya. William tersenyum lebar menatap satu demi persatu. 

Ada sang teknisi yang memang lulusan Teknologi Informatika. Namanya Dodo. Seraya mengumbar senyuman, kedua tangannya masih sibuk membenahi sebuah kapsul mesin yang sudah cukup lama tak tersentuh. Ada kali sekitar sepuluh tahun. Dan laki-laki berkacamata itu makin canggih saja otaknya dalam hal reparasi mesin. Terutama untuk sebuah mesin yang mana teknologinya itu tak semua orang bisa pahami. 

Tak jauh dari Dodo, duduk seorang perempuan berambut panjang dan berponi. Perempuan yang masih serpihan masa lalu William itu duduk di sebuah sofa mera tua yang sedikit berdebu (walau sudah dibersihkan mati-matian saat ketiga temannya itu masuk duluan). Perempuan itu menelengkan kepala ke kanan sembari tersenyum. Ah, senyuman cewek tersebut... telah melemparkan kembali William ke sebuah masa tanpa mesin itu. 

"Hana, Hana,..." desis William sepelan mungkin. Tetap saja masih terdengar hingga telinga yang bersangkutan. Apalagi William pun berjalan menuju sofa di mana Hana duduk. Bersamaan dengan sahabat sekaligus pacarnya, Mey. 

Mey itu seorang perempuan yang luar biasa. Dibilang pecicilan, tapi juga di waktu lain, Mey bisa menjelma menjadi seorang yang kalian tak akan pernah bisa bayangkan. Anggap saja telah menjadi sosok Bunda Teresa yang selalu mendengarkan tiap keluhan dengan seksama dan tanpa merasa terbebani. Tiap rahasia aman. Itu pun kalau tidak terpaksa sekali untuk membocorkannya. Menarik untuk mengetahui bagaimana bisa seorang perempuan seperti Mey bisa berpacaran dengan seorang laki-laki pendiam yang perhitungan dan lebih suka berkutat di balik kamera--di sebuah tempat-tempat tertentu. Apa pendiam dan bawel itu bisa menjadi sebuah kombinasi yang serasi? 

"Do, gimana?" tanya William pada Dodo yang masih sibuk mengecek bagian-bagian dari mesin tersebut. "Nggak rusak parah kan?"

Dodo menggeleng. "Untungnya sih enggak. Cuma butuh maintenance saja sedikit."

"Enggak sia-sia si Dodo berguru sama paman elu yah, Wil," ujar seorang laki-laki yang sedikit terlupakan. Tak hanya oleh William, namun juga oleh sang narator sendiri. Hehehe. 

Nama laki-laki itu Toni. Toni dan William itu memang sama-sama pendiam. Tapi Toni jauh lebih pendiam. Teramat sukar untuk membuat Toni jadi mengeluarkan sebiji kata. Toni hanya mau bicara jika dirinya ingin bicara di saat-saat tertentu saja. Gara-gara itulah, semasa hendak masuk taman kanak-kanak, Toni sempat dikira tidak normal. Ada yang mengira Toni itu bisu, ada pula--dan tak sedikit--mengira Toni itu autis. Kenyataannya Toni memang tipikal orang yang pelit mengumbar kata. Bicara benar-benar seperlunya saja. Walau begitu, walau lebih sering mendengar, Toni bukan seperti Mei yang enak dijadikan teman untuk mencurahkan isi hati. Alih-alih mendapatkan sebuah saran yang mencerahkan, Toni hanya angguk-angguk dan tersenyum. Itu saja. Persis seperti sebuah tembok kosong, lalu kalian berbicara sendiri tak keruan. 

William terkekeh. Sementara Toni--lagi-lagi dan seperti biasanya--hanya tersenyum. Mungkin sebetulnya itu sebuah tawa. Bagaimanapun jika kita teliti mengamati, leher Toni sediki bergetar. Sama seperti orang yang tengah berusaha menahan tawa. Terkadang tertawa lepas itu bisa menjadi sebuah hal memalukan. Apalagi untuk orang seperti Toni yang lebih mementingkan citra. 

"Bisa bercanda juga yah, lu?" seloroh William sembari menepuk pundak Toni. Toni tak tersinggung. Ia sudah hapal dengan gaya William. Sebagai gantinya, sebuah senyuman Toni daraskan pada William. 

Dodo juga ikut terkekeh, namun tak ikut menimbrung. Ia malah berujar sesuatu yang lain, "Kayaknya udah bisa dipakai nih. Jadi nih berarti kita mulai lagi petualangan waktunya?"

"Ya iyalah. Udah lama tahu, Bro, kita enggak bertualang waktu ke jaman-jaman tertentu, entah itu masa depan, entah itu masa lalu." jawab William, yang lalu menekuri mesin waktu peninggalan sang paman yang sudah meninggal dan peristiwa itu menyebabkan petualangan waktu lima sahabat jadi berakhir. 

"Memang ada angin apa, sampai-sampai kamu mengumpulkan kita kembali ke gudang ini, lalu membicarakan lagi soal sesuatu yang sudah sekitar sepuluh tahun tidak kita lakukan?" tanya Dodo yang masih ditutupi kabut rasa penasaran yang muncul saat dihubungi William seminggu yang lalu. 

William tak langsung menjawab. Matanya malah sibuk menjelajahi jengkal demi jengkal mesin tersebut. Rasa haru kembali menyergap. Hampir saja ia menitikkan butiran-butiran H2O bercampur rasa NaCl. Bersamaan dengan itu, kedua perempuan yang tadi sibuk bergosip, menghampiri para laki-laki. Mey sekonyong-konyong merangkul William seraya melirihkan sesuatu. Entah apa yang dilirihkan, yang jelas yang lainnya sepertinya memendam rasa iri.

Toni berdeham, tersenyum, dan berkata, "Hello, guys. Please yah, kita-kita di sini masih single. Hargai perasaan yang single di sini."

"Biarkan sajalah, Ton. Tak berhak kita melarang orang lain untuk berbahagia." bela Dodo.

"Oh iya, gue lupa. Yang single di sini kan cuma dua orang yah," ujar Toni tersenyum. Mungkin bagi yang tak mengenal, cara bicara Toni dan senyuman itu seperti seorang yang sinis. Tapi Toni bukanlah orang sinis. Seperti itulah caranya melontarkan candaan.

Dua obyek yang diserang malah cengar-cengir saja. Segera Mey melepaskan rangkulan itu. Tentunya setelah memberikan satu buah kecupan yang tentunya bikin seseorang cemburu. Seorang itu seorang perempuan yang dulu cukup begitu dekat dengan William. Sampai sekarang pun, William masih menganggap perempuan itu sebagai adiknya untuk sebuah alasan khusus (alasan yang bisa diterima oleh Mey juga). Tak usah tanya kenapa jika kalian menyimak cerita ini. Yah perempuan ini lumayan rapuh, polos, tak mandiri, dan bahkan sulit untuk memiliki pendirian sendiri. Ia gampang ikut-ikutan orang lain yang dirasanya itu keren; atau karena hal itu termasuk sesuatu yang jamak dilakukan banyak orang sehingga wajib diikuti.

Sebetulnya perempuan itu menyukai William. Hanya saja perempuan itu lebih merasa untuk tak perlu menyatakan perasaannya. Baginya, perhatian William sudah jauh lebih cukup. Terlebih perempuan itu juga merasa bahwa William jauh lebih pantas untuk Mey. Ia menganggap dirinya itu tidak pantas mendampingi William. Sebagai seorang sahabat saja, ia sudah banyak merepotkan. Apalagi jika naik status sebagai seorang kekasih--atau istri. Tentunya akan menjadi sebuah beban untuk William. Dan ia tak mau itu terjadi. William berhak mendapatkan pasangan yang jauh lebih bisa diandalkan. Bukan seperti dirinya yang selalu merepotkan teman laki-lakinya itu dengan hal-hal yang sebetulnya ia bisa lakukan sendiri. Masa sampai sekarang pun dirinya masih meminta pertolongan William untuk sekadar mengikuti sebuah tes wawancara? Bahkan ke job fair juga masih minta ditemani temannya itu.

"Woy, Hana!"

Hana tersentak. Ia kembali melemparkan senyum ala anak kecil. Spontan ia menjerit kecil. Seekor laba-laba kecil loncat ke dahinya. Rupanya perempuan itu masih tak menyukai laba-laba. Aksi Hana itu membuat teman-temannya tergelak.

William beringsut pada Hana. Lelaki itu membantu temannya itu yang susah payah sekali menyingkirkan sang laba-laba dari tubuh si perempuan. Sesekali William iseng menyodori kembali laba-laba kecil yang dipegangnya hati-hati. Hana langsung menutup mata dan berteriak kecil, "Wil, buang dong. Gue kan takut sama laba-laba. Please, buang itu laba-labanya. Pleaseeeee!!!"

"Iya, iya, gue buang. Lagian punya phobia itu dilawan dong. Masa udah gede, masih takut sama laba-laba sih?" Kali ini William menyentil laba-laba itu sejauh mungkin dari Hana.

"Biarin aja. Lagian laba-labanya enggak selucu Hello Kitty juga. Yeee!!!" kata Hana defensif.

Tawa itu meledak lagi mendengar balasan dari Hana itu. Apalagi juluran lidah dari Hana. Ya ampun, Hana memang tak berubah. Kalau pun berubah, hanya sedikit sekali. Selebihnya Hana masih tetap seperti Hana di era 90-an. Masih tetap saja seperti seorang anak-anak. Bedanya, anak yang satu ini hobi sekali menghabiskan waktu di mal, salon, dan bioskop.

"Hana, Hana," Dodo menggeleng-geleng gemas. "Kamu itu yang paling tua di antara kita, tapi yang paling kekanak-kanakan. Dan kamu juga yang bikin kita semua jadi ngakak lihat segala kelakuan absurd kamu itu."

"Absurd? Absurd apaan sih?" kata Hana dengan tampang yang lagi-lagi bikin teman-temannya terbahak. Untung saja William segera mengambil kendali dengan kata-katanya.

"Udah, udah, cuekin aja. Sekarang sebaiknya mending kita kembali fokus ke tujuan awal kita kumpul bareng lagi." kata William yang pandangannya langsung secepat kilat berubah dari Hana menuju mesin waktu berbentuk kapsul itu. "Gue udah enggak sabar untuk menjelajah waktu lagi."

Hana menekuk bibir. Mey mendekati Hana, lalu mengatakan sesuatu secara bisik-bisik. Mungkin untuk pertanyaan konyol yang diajukan oleh seorang perempuan yang sudah mendapatkan gelar S1, namun malah tak tahu istilah 'absurd', Keterlaluan!

Sementara William kembali menatap mesin itu lagi. Kali ini tidak dengan cara menekuri, melainkan dengan memandangi mesin itu dengan sorot binar dan senyum lebar membahana. Sekonyong-konyong ia memukuli mesin itu--bagian pintu masuknya. Terdengar nyaring sekali. Seperti sebuah tiang listrik yang dihajar dengan sebuah tongkat besi.

"Bro, enakan kita menjelajah waktu ke mana? Apa kita pergi ke jaman Renaissance aja? Atau jaman saat Krakatau mau meletus? Atau pergi ke jaman Jepang menang melawan bangsa Rusia? Atau saat-saat perang terakhir Napoleon di Waterloo? Atau juga, gimana kalau kita pergi menyaksikan konser terakhir Elvis Presley?" William berbalik dan menanyai saran teman-temannya.

Tak biasanya, Toni yang angkat bicara. Masih dengan wajah nonekspresi, ia memberikan usul, "Gimana kalau pergi ke masa depan? Kan dulu kita sudah sering pergi ke masa lalu. Jaman-jaman yang lu sebutin tadi itu juga sudah kita kunjungi, kan? Mending kita pergi ke masa depan--yang belum pernah kita lihat seperti apa juga keadaannya."

Seluruh sorot menatap Toni. Kali ini lelaki itu tak risih lagi dengan pandangan-pandangan yang tertumbuk padanya. Tapi tetap Toni yah Toni; seorang lelaki yang masih pelit kata. Oh iya, pandangan-pandangan itu, maksudnya teman-teman Toni, sungguh terbelalak dengan aksi Toni barusan. Nyaris tak pernah Toni memberikan usul saat mereka tengah menjelajahi waktu. Toni selalu ikut saja apa kata teman-temannya.

"Wah, Ton, lu benar-benar udah berubah yah?" William tersenyum nan begitu terpana.

Kepala Dodo berjengit. "Aku setuju sama saran Toni tadi. Kita kan memang belum pernah melihat masa depan itu seperti apa. Apalagi jujur, aku juga kepengin lihat masa depan dari kita semua itu seperti. Terutama aku--" Dodo terkekeh. "--Pengin tahu, aku ini kelak jadi apa. Apa bakal sukses jadi mekanik kenamaan? Apa jangan-jangan aku bakal jadi seorang penemu?"

"Gue juga pengin tahu masa depan gue kayak gimana." timpal Hana.

"Alah, lu mah paling jadi ibu rumah tangga dengan suami ganteng yang kaya raya, yang gue harap bisa selalu ada jagain lu dari lakuin hal-hal konyol." ledek William terkekeh.

"Apaan sih? Lu kok gitu banget sama gue, Wil? Salah gue apa sama lu?" protes Hana.

"Lho, emang gitu kan faktanya--" kata William, yang lalu dipotong oleh kekasihnya. Mey ikutan merespon untuk membela Hana, "Wil, kamu itu selalu saja jahat banget sama Hana. Kasihan kan Hana."

Dodo hanya terkekeh. Sementara Toni berinisiatif untuk melerai. "Guys, guys, enggak usah ribut-ribut gitu. Jadi gimana? Kita mau ke masa lalu atau masa depan nih?"

"Karena sebagian besar sepakat milih pergi ke masa depan, ya udah, kita pergi ke masa depan. Gue juga penasaran sama masa depan gue. Ada sesuatu yang mau gue pastikan juga." ucap William yang selalu seperti itu, selalu menjadi seseorang yang mengambil keputusan akhir layaknya seorang pemimpin.

"Eh aku enggak ditanyain nih pendapatnya?" Mey tersenyum yang rada tersinggung. Tapi perempuan itu sepertinya tahu apa jawaban dari sang pemimpin ekspedisi waktu. Apalagi kekasihnya itu sendiri yang menjawab, "Kan kamu pacar aku, Mey-chan Sayang. Jadi aku rasa, jawabanku pasti mewakili kamu juga."

Dodo nyengir. "Pret, gombal!"

"Bikin perut gue mules," timpal Toni pelan.

"Ih apaan sih kamu?" balas Mey mengikik. "Mulai deh gombalnya."

Hana memaksakan diri untuk nyengir.

William terbahak. "Ya udah, ya udah. Yuk kita berangkat."

Begitu William langsung membuka pintu, yang lain menyusul. Mulai dari Toni, Mey, Hana, dan Dodo. Saat giliran Dodo, William langsung mencegat. "Do, lu ngapain? Lu tunggu di sini kayak biasanya. Kalau lu ikut, yang jalanin mesin waktunya siapa?"

"Tenang, Wil. Berhubung aku yang datang lebih dulu, pas datang tadi, aku sempat utak-atik mesinnya supaya juga bisa ikutan menjelajahi waktu." jawab Dodo nyengir. "Bosan kali cuma bisa bengong dalam gudang sambil nunggu kalian pulang."

"Memang hebat teman mekanik kita yang satu ini,"


*****


Tahun 2215. Bulan April. Tanggal 21. Tadi sebelum berangkat, sepertinya Dodo menyetel acak waktu pastinya. Yang penting mereka pergi ke masa depan, entah itu kapan. Begitu tiba, untung mesin waktu itu tiba di sebuah ujung taman yang cukup sepi, mereka langsung mencari informasi soal waktu mereka tiba.

"Untung aja, kita nemu koran di dekat taman ini," ujar William yang menyiratkan perasaan lega. "Lagian lu gimana sih, Do?  Kenapa nggak milih waktu yang pas? Malah random lagi milihnya."

"Kok salah aku?" Dodo tampak keberatan. "Kan enggak satu pun dari kalian yang kasih usul soal tanggal. Bukannya tadi cuma pengin pergi ke masa depan kan, tanpa tahu waktunya kapan."

"Ya tapi--" William masih punya hasrat untuk melanjutkan debat, sebelum disela oleh Mey. "Udah enggak usah ribut. Mending kita lihat-lihat sekeliling yuk. Gue penasaran sama jaman ini. Kayaknya Jakarta udah berubah menjadi kayak kota-kota di science-fiction. Lihat aja koran ini,"

Semua mata tertuju pada koran itu lagi, koran yang menjadi petunjuk soal waktu yang mereka datangi. Koran ini bukan seperti koran dari jaman mereka berasal, 21 April 2015. Tidak terbuat dari kertas, melainkan dari sekumpulan kabel, baut, dan segala bahasa yang Dodo cukup fasih menjelaskannya, yang mana itu membentuk sebuah tablet lumayan besar namun masih bisa ditenteng.

Dari koran berbentuk tablet beralih pada situasi di sekitar. Pohon-pohon yang berada di taman yang menjadi target mata mereka. Ya ampun, mereka semua terperanjat ketika menyentuhnya. Ini bukan pohon alami. Ini pohon buatan. Dan nyaris keseluruhan pohon yang mereka temukan itu buatan manusia. Dari mesin yang butuh perawatan dari seorang mekanik.

Toni berdecak-decak, geleng-geleng kepala tak percaya. "Apa yang terjadi sebetulnya? Kenapa taman ini penuh dengan mesin, mesin, dan mesin?"

William, Mey, Dodo, dan Hana memandangi Toni. Tak biasanya Toni menggerutu seperti itu. Tumben lelaki itu mengeluarkan emosinya. Sepertinya kunjungan ke masa depan sudah membuat Toni bisa lega untuk mengeluarkan emosi.

"Apa sebegitu parahkah kerusakan lingkungan di jaman kita--tahun 2015?"

Dodo mengangkat bahu. Ia menekuri kata-kata Toni seraya mendesiskan sesuatu, "Entahlah. Tapi mungkin situasi ini kan cuma sebagian. Siapa tahu, saat kita menyelidiki lebih lanjut, tahun 2215 ini tak seburuk yang kita bayangkan. Daripada menyimpulkan yang bukan-bukan, lebih baik kita menjelajahi lebih setuju."

"Gue setuju sama lu, Do," timpal Mey.

"Kenapa, Hana? Celingak-celinguk kayak gitu?" goda William yang menelengkan tubuh lebih erat pada Hana hingga hampir menyentuh kuncir kuda perempuan itu.

Hana menggeleng, tersenyum. "Gue cuma pengin tahu aja, mal di tahun ini tuh kayak gimana? Penasaran juga sama fashion style-nya. Pasti keren-keren."

Gedubrak! Mendengar celetukan Hana itu, tak hanya William, namun baik itu Mey, Toni, dan Dodo jadi ingin sekali menjitak ramai-ramai kepala Hana. Di saat yang lain tengah membicarakan soal lingkungan, Hana malah lebih fokus pada mal dan fashion style. Bukan sekali itu saja, Hana tidak bisa menyinkronkan diri dengan kawan-kawan, tapi sudah berkali-kali.

Seseorang mendekat. Seorang lanjut usia. Dan lansia itu begitu menyeringai sehingga tak satu pun dari mereka yang tak terganggu.

"Maaf, Kek, ada apa yah?" tanya Dodo tersenyum. Tak hanya Dodo, yang lain juga berusaha menjaga sikap agak tak terlihat norak.

"Kalian ini aneh sekali." ucap si kakek yang masih terpana.

"Aneh kenapa, Kek?" William nyengir.

"Dandanan kalian itu yang aneh. Tak biasanya orang-orang sekarang yang masih berpakaian seperti kalian ini. Kalian baru datang dari kampung yah?"

Mereka semua saling berpandangan.

"Tapi sepertinya bukan. Bahkan yang dari kampung pun, tidak berdandan seaneh kalian. Kalian seperti..." Sang kakek berpikir sebentar. Sepuluh menit mereka menunggu, dan, "...kalian seperti datang dari masa lalu."

Baru saja salah satu dari mereka hendak membenarkan, sang kakek sudah terbahak dan melanjutkan kembali kata-katanya, "Hahaha... tapi itu tidak mungkin kan. Mesin waktu juga baru tercipta di tahun 2200."

Si kakek seksama memerhatikan sekali lagi. Dan ia beringsut pada Hana yang berdiri paling ujung. "Tapi... dandanan kalian ini jauh melampaui orang-orang yang hidup di tahun 2200 juga. Lihat saja ini,"

Sang kakek menyentuh jaket bulu wol yang dikenakan Hana. "Jaket ini seperti dari..."

Mungkin sudah tak sabar, William ambil alih percakapan, "...dari kain wol. Enggak ada yang aneh kan dengan bahan pakaian dari kain wol?!"

Kakek itu terbelalak. "Apaaa??? Dari kain wol??  Kalian dapat bahan itu dari mana? Sudah lama sekali, tak ada pakaian dari bahan seperti itu? Kalian pasti kaya raya sekali."

Dibilang kaya raya, sepertinya tidak juga. Di tahun 2015, pakaian yang mereka kenakan itu masih dianggap standar dan belum mencapai standar fashion era 2000-an. Apalagi dandanan Dodo yang malah cenderung kolot. Lelaki itu hobi sekali mengenakan baju terusan ber-suspender yang melengkapi kacamata tebalnya tersebut.

"Sebetulnya enggak kaya-kaya amat sih, Kek," sahut Dodo. "Tapi..."

Dodo takut-takut untuk berkata jujur. Bagaimanapun, seperti pengalaman yang sudah-sudah, mereka semua harus mengusahakan agar tak terlihat mencolok. Sayang, lagi-lagi Hana yang suka error itu kembali berulah.

"...kami dari tahun 2015, Kek. Kami datang dengan mesin waktu yang ditemukan sama Om-nya William dulu." kata Hana seraya menunjuk pada William yang agak protes dengan kepolosan Hana. Semoga saja tidak terjadi masalah.

"Apa? 2015? Kalian serius?" konfirmasi si kakek sekali lagi.


*****


Terkadang segala hal butuh waktu untuk dicerna dan dipahami. Itu salah satunya mengenai suatu hal yang diingat oleh Dodo dari seseorang. Seorang sahabatnya.

Napas Dodo menderu hebat. Laksana sebuah knalpot yang memuntahkan karbon monoksida demi bisa satu mobil melaju di jalan. Yang bicara soal mobil, sebetulnya di jaman ini, mobil-mobilnya berbeda dengan versi tahun 2015. Mobil-mobil di sini sudah tak lagi beroda. Alias sudah setengah seperti terbang. Di jaman ini, kata Opa Gorgon, terbang sudah miliki siapapun. Yang kaya, yang miskin, semuanya bisa menyentuh angkasa luas. Berbeda sekali dengan jaman Opa Gorgon masih muda.

Opa Gorgon terlahir di tahun 2120. Katanya, situasinya itu tak seperti sekarang ini. Kurang lebih kondisi Jakarta--sebagai perwakilan Indonesia secara keseluruhannya--mirip seperti New York, London, atau Tokyo di tahun 2015. Tak hanya Indonesia, namun memang negara-negara berkembang seperti itu. Selalu terlambat dalam menerima kecanggihan teknologi. Apa yang mahfum di negara-negara maju, gegap gempitanya suatu teknologi baru dirasakan oleh masyarakat negara-negara berkembang. Ah Toni mendadak teringat saat blackberry eksis kali pertama di Indonesia. Semuanya heboh. Padahal di Amerika Serikat sendiri, blackberry sudah menjadi bak mainan. Sama persis dengan mobil terbang ini. Di Tokyo saja, ada kendaraan yang lebih canggih. Mau tahu apa? Itu sapu terbang. Yah, sapu terbang merupakan kendaraan yang paling sering digunakan di sana. Sementara di San Fransisco, orang-orang lebih gila lagi. Mereka bahkan sudah bisa menerbangkan diri sendiri. Oh, di tahun 2215 ini, penyihir tak lagi dikucilkan seperti era pertengahan. Kaum itu malah disinergikan dengan para mekanik. Hasilnya, manusia terbang.

Sesungguhnya mereka berlima tak mau menarik perhatian. Tapi karena kata-kata Hana yang selalu saja ceplas-ceplos, mereka jadi menarik perhatian dan harus mau datang ke rumah Opa Gorgon yang menurut gaya tahun 2215 ini dikatakan sebagai gubuk. Beda sekali dengan pengertian gubuk di dua ratus tahun sebelumnya. Dua ratus sebelumnya, gubuk yah gubuk. Rumah seadanya yang malah terbuat dari kayu dan seng yang sering Hana temukan di pinggir kali Ciliwung. Sementara pengertian gubuk di tahun ini ialah semacam rumah minimalis yang di tahun 2015 itu berada di kawasan perumahan kluster.

"Opa, rumahnya masih jauh?" tanya Dodo yang dahinya mulai basah. Napas tersengal-sengal tapi tak mengeluh. Di saat seperti ini, ia merasa tak sia-sia dulu William selalu memaksanya untuk pulang dengan berjalan kaki, alih-alih naik ojek atau angkot. Oh, rumah Dodo dan lainnya memang tak jauh dari SMP Yasmine. Dan Dodo selalu saja suka malas untuk berjalan kaki pergi-pulang dan lebih memilih untuk naik kendaraan. Padahal jarak rumah ke sekolah tak terlalu jauh. Cukup lima belas menit waktu tempuh dengan berjalan kaki.

"Sedikit lagi." Gorgon tersenyum. "Kalian harusnya sudah terbiasa berjalan kaki daripada orang-orang di jaman ini. Heh,... Apa-apa naik kendaraan terbang. Entah itu mobil, motor, atau sepeda terbang. Tidak ada lagi yang mau jalan kaki."

"Memang Opa tidak punya?" tanya Dodo yang dirundung penasaran. "Kan lumayan, bisa meringkas waktu." Dodo terkesima dengan pemandangan langit 2215. Parade kendaraan ber-wuuus di hadapan matanya. Dan tak ada polusi udara tertangkap hidung.

"Sebetulnya Opa punya kendaraan, tapi kendaraan beroda yang asapnya mengganggu kata petugas aparatnya. Dan Opa tak mau membuangnya walau terus dipaksa. Opa juga tidak mau menggunakan kendaraan terbang tersebut. Asal kalian tahu saja, kendaraan itu jauh lebih berpolusi daripada kendaraan roda empat yang Opa miliki."

"Kok begitu?" Kali ini Toni juga penasaran. "Yang saya lihat, kendaraan terbang itu tidak berasap."

"Kelihatannya saja seperti itu," Opa Gorgon menghela, lalu pandangannya teralih pada William yang malah asyik menggodai Hana yang terus terpana dengan pemandangan tahun 2215 seraya terus berkomentar ini-itu. William membalasnya dengan sekenanya saja. Kadang sesekali merespon dengan guyonan-guyonan garing ala William. Walhasil komentar tak penting dibalas dengan guyonan garing.

"Cocok." ujar Opa Gorgon tersenyum. "Kalian ini cocok sekali. Kalian tidak sedang berpacaran kan?"

William sekonyong-konyong melepaskan tangannya yang sibuk mempermainkan kuncir kuda Hana. Tapi bukan William yang menjawab, melainkan Mey, "Bukan kok, Opa. Yang pacarnya itu saya. Sementara William cuma berteman saja dengan Hana yang kebetulan juga sahabat saya waktu kecil."

"Kamu tak sedang membercandai saya, kan?" Opa Gorgon mendelik tak percaya. "Yang mata saya tangkap, justru sebaliknya. Kamu yang malah jadi temannya. Sementara teman perempuan kamu itulah pacar dari lelaki bernama William itu. Atau jangan-jangan saya lupa sama kata-kata opa saya dulu, Opa Dodo Darmanto yang dulu sering bercerita soal masa kecilnya? Dulu Opa Darmanto pernah cerita juga bagaimana orang-orang di masanya itu menjalin hubungan asmara. Mungkin jangan-jangan seperti yang kami bilanglah, bagaimana hubungan asmara itu terjalin di 2015?

Tak hanya Mey yang tersentak (pun tertegun), Dodo juga.

Dodo Darmanto? Bukankah itu nama lengkapnya? Berarti lelaki berkacamata itu akan panjang umur sampai tahu 2100-an dong? Hidung Dodo mulai kembang kempis.


*****


Dua hari sudah, mereka semua berada di dua ribu dua ratus tahun kemudian. Sekembalinya, ternyata mereka hanya pergi selama dua jam lebih beberapa menit sedikit. Mereka sudah tak heran lagi karena saking seringnya menjelajahi waktu. Pernah mereka berhari-hari di suatu masa, ternyata mereka baru hanya pergi selama beberapa jam saja.  Kadang, definisi waktu memang sering membingungkan manusia.

""Ah, akhirnya, pulang juga kita," William menengadahkan kepala, merasa lega. "Seru juga bertualang ke masa depan. Enggak sia-sia ide lu, Ton."

Toni hanya tersenyum, mengangguk.

"Tapi gue belum lihat gimana kabar dari keturunan gue. Gue kan perlu tahu kelak masa depan gue gimana. Apa gue--?" keluh Hana.

"Kan gue udah bilang, paling juga lu jadi ibu rumah tangga dari seorang pria kaya raya yang tampan rupawan, yang bisa jagain lu selama dua puluh empat jam dari sekiranya melakukan hal-hal konyol yang tak bermanfaat sama sekali." William mulai gencar kembali menyerang Hana.

"Apaan sih lu, Wil? Sok tahu banget. Siapa bilang gue mau jadi ibu rumah tangga. Gue kan pengin banget bisa jadi bintang televisi. Bisa jadi aktris, model, penyanyi, sampe presenter. Kan lu juga udah pernah gue ceritain mimpi gue itu?!"

"Oh jadi lu masih ngarepin bisa jadi bintang televisi?" William nyengir.

Hana sewot. "Ya iyalah."

"Udah deh, lupain aja mimpi lu itu. Lu enggak cocok jadi aktris. Akting lu itu payah; plus juga punya kelemahan dalam mengingat. Lu juga enggak cocok jadi penyanyi. Suara lu enggak bagus-bagus amat. Lu juga enggak pantes jadi model atau presenter. Lu itu kan ceroboh dan demen banget lakuin hal-hal konyol. Yang ada juga, lu malah mempermalukan diri lu sendiri di depan kamera."

"Lu kenapa sih antipati banget sama gue? Sebagai sahabat, harusnya lu dukung mimpi sahabatnya dong."

"Gue support lu kok. Justru karena gue support lu, gue harap lu lebih baik cari suami, terus nikah deh. Setidaknya dengan lu nikah, gue merasa aman. Gue nggak perlu takut lagi, lu jadi kenapa-kenapa akibat dari kekonyolan lu sendiri."

Hana memonyongkan bibir. Perempuan itu memilih duduk di sofa seraya mendengus beberapa kali. William beringsut lagi. Kali ini berbarengan dengan Mey yang amat memerhatikan sekali percakapan antara Hana dan William. Mey jadi teringat kata-kata Opa Gorgon dan istrinya--juga cucunya, Tristan.

Benar juga. Selama ini, Mey sering merasa perhatian William ke Hana itu biasa saja layaknya perhatian seseorang ke sahabatnya. Namun kunjungan ke masa depan tadi sudah membukakan pikirannya. Mey sadar, perhatian William ke Hana sudah kelewat batas. Mau di jaman apapun, oleh orang negara mana pun, bentuk perhatian William itu lebih mirip sebagai sebuah bentuk ungkapan cinta.

Tapi Mey kan perempuan yang ditembak sama William sebelum mereka memulai kehidupan jadi seorang mahasiswa dulu. William sendiri yang jujur mengatakan bahwa Mey-lah perempuan yang sudah membuat jantungnya kembang kempis tak keruan; bukannya Hana. William juga sering mengatakan bahwa Hana itu sudah dianggap seperti adik sendiri akibat dari tingkah kekanak-kanakan Hana sendiri.

Memikirkan soal perasaan sesungguhnya William itu sudah membikin kepala Mey terasa sakit sekali. Hati mengatakan bahwa tak sepatutnya Mey mempertanyakan soal perasaan William lagi. Namun tidak dengan otak yang mendadak terus mengatakan bahwa perhatian William ke Hana itu sebuah kejanggalan besar.

"Eh aku pulang dulu yah," pamit Mey tersenyum. "Aku baru ingat, Mama sudah mewanti-wanti agar enggak lama-lama. Soalnya di rumah juga lagi sibuk nyiapin pernikahan kakak aku lusa nanti."

Mey melengos. Toni beringsut pada William. William menurut saat Toni meminta waktu untuk membicarakan sesuatu pasca Hana menyusul pergi pula. Itu terjadi setengah jam kemudian. Hanya ada William, Toni, dan Dodo.

"Lu serius?" konfirmasi William yang masih rada tak percaya.

Toni mengangguk mantap. "Emang lu pikir, cewek bakal ngomongin gitu aja apa yang ada di hatinya?"

William tak mendebat, hanya tercenung. Ia pikirkan baik-baik kata-kata temannya tersebut. Walau masih lajang, Toni tetaplah seorang introvert. Kalian tahu, terkadang seorang introvert--terlebih yang melankolis--dapat melihat sesuatu yang awam lewatkan. Apalagi Toni juga tak sepenuhnya hijau soal kehidupan asmara. Pengalaman cintanya lumayan banyak.

"Mungkin perkataan si Tristan itulah penyebabnya," ujar Toni tanpa senyum. Nyaris dari rupanya, Toni seperti bisa merasakan apa yang Mey rasakan.

"Kalau menurut aku sih, mungkin gara-gara ucapan si Opa. Habis aku lihat, setelah si Opa yang rada enggak percaya kamu sama Mey itu yang pacaran sebetulnya, Mey jadi lebih sering diam dan bengong." timbrung Dodo.

"That's why, Bro, gue enggak begitu suka pas lu cerita soal peristiwa lu jadian sama Mey itu."

William tetap bergeming. Ia masih menekuri segala informasi yang keluar dari mulut kedua sahabatnya.

"Gue takut aja bakal jadi kayak gini. Apalagi..."

Andai kata mereka ada di lapangan penuh jangkrik, keheningan ini sudah menyebabkan jangkrik mengerik sepuasnya. Keheningan yang menyebalkan. Terutama untuk Toni yang mendapatkan seringaian maut.

"...gue tahu soal perasaan Hana ke lu, Wil. Dia suka sama lu sebetulnya."

Seolah ada kontak batin, Dodo yang menggantikan peran William untuk menanggapi, "Seriusan, Ton?"

Toni terkekeh. "Lu tahu kan, gimana Hana itu sendiri. Suka ceroboh. Ngomong asal njeplak aja. Enggak pernah mikir dulu. Karena kebiasaannya itulah, gue jadi tahu perasaan dia ke lu."

Kemudian hening.

"Kalau kamu mau, aku dan Toni bisa jadi semacam fasilitator untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini. Aku juga enggak mau persahabatan kita hancur karena persoalan cinta segitiga ini."

William tak menjawab, hanya tersenyum. Entah apa maksud senyuman itu. Apakah jawaban "ya" atau jawaban "tidak"?


*****


Keesokan harinya, dan mungkin seterusnya dan selamanya, ada yang sedikit berbeda dari persahabatan lima orang yang sudah dipupuk semenjak bangku sekolah dasar. Apalagi kalau bukan tentang kisah cinta segitiga itu. Soal William, Mey, dan Hana.

Semenjak kunjungan ke tahun 2215, sikap Mey jadi berubah. Drastis? Mungkin tidak juga. Tapi Mey seperti menganggap Hana sebagai saingan dalam memperebutkan hati William. Perempuan itu selalu jadi insecure tiap William kembali memperlakukan Hana secara aneh--untuk yang tidak terbiasa dengan pemandangan seperti itu (atau hal biasa bagi mereka yang sudah melihatnya, apalagi untuk yang bersahabat dengan keduanya).

William yang tiap kali tersentak, langsung merasa tak enakan dengan Hana. Lelaki itu tak enak hati karena telah menempatkan Hana dalam posisi sebagai orang ketiga secara tak langsung. Ah kenapa kunjungan ke masa depan itu malah bikin Mey jadi insecure? Begitu mungkin yang ada dalam pikiran seorang William.

Kaum perempuan juga seringkali membuat kaum lelaki jadi gemas sekali. Mengapa mereka selalu saja sulit mengungkapkan sesuatu yang mengganjal dalam hati? Terkadang apa yang tampak itu taklah menggambarkan apa yang berada di dalamnya. Jauh, jauh sekali bedanya. Malah sepertinya bukan terkadang lagi. Fenomena itu sudah menjadi sebuah kecenderungan yang melanda tiap kaum perempuan. Itu menyebabkan para Adam kebingungan setengah mati dalam berhubungan dengan kaum Hawa.

Sampai sekarang pun, sudah berjalan selama tiga bulan, Mey juga belum mau jujur. Perempuan itu tetap saja menolak untuk melepaskan uneg-unegnya, termasuk pada sahabat-sahabatnya. Tidak ke Toni, tidak ke Dodo, apalagi ke William dan Hana--perempuan yang perempuan itu mendadak jadi sebal sekali.

Untuk Hana sendiri, tanpa perlu disadari, perempuan kekanak-kanakan itu akhirnya sadar sendiri. Ada yang berbeda dari perempuan sahabatnya. Hana merasa sepertinya dirinya sudah melakukan suatu kesalahan yang bikin Mey membencinya. Saat dikonfirmasi, sia-sia saja. Mungkin sampai kapan pun, Hana tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Atau mungkin siapa tahu Toni mengetahui sesuatu.

Hana menghampiri Toni selepas menyelesaikan satu petualangan waktu lainnya. Tentunya itu terjadi saat dirinya hanya berdua saja dengan Toni.

Toni menghela napas. "Lu yakin mau tahu?"

"Ya iyalah, Ton," kata Hana yang sudah tidak sabar. "Gue penasaran kenapa akhir-akhir ini sikap Mey jadi dingin gitu ke gue. Perasaan gue enggak pernah bikin salah sama dia. Tapi dia udah memperlakukan gue kayak musuh abadi dia aja."

Hening datang. Hana terus tak melepaskan sorot matanya yang indah pada Toni. Toni hanya tersenyum tipis sekali.

"Ton,"

Toni masih belum mau menjawab. Embusan napas sekali.

"Toni,"

Embusan napas untuk kali kedua.

"Gimana, Ton? Sebetulnya ada apa?"

Toni mengangkat bahu. Lelaki ini sungguh tak enak hati untuk menyampaikannya. Toni tahu seperti apa Hana itu. Mereka kan berteman sudah lama sekali. Satu dekade telah terlewati. Tak ayal, Toni tahu luar-dalam Hana. Kalau diberitahukan, mungkin--benar yang selalu dibilang William--Hana akan melakukan hal-hal konyol yang tak penting. Seperti tidak lagi mau kumpul bareng dan malah menghabiskan waktu untuk hal-hal seperti perawatan di salon sebanyak lima kali seminggu dan dua kali sehari.

"Ton, menurut gue, angkat bahu itu bukan jawaban. Gue juga bukan anak kecil lagi kali. Yang namanya jawaban kan harus terdiri dari kata-kata." wanti-wanti Hana yang bercampur juga dengan desakan.

"Eh Hana," kata Toni melepaskan senyuman tipisnya kembali. "Omong-omong, lu pernah ditembak sama cowok enggak? Lu pernah pacaran kan?"

Dasar Hana? Kalian tahu Hana kan? Perhatiannya mudah sekali teralih. Yah beginilah jawabannya kira-kira.

"Hmm, digodain sih sering, tapi sampai ditembak?" Hana memutar bola matanya, lalu mengendikkan bahu. "Kayaknya sampai sekarang belum pernah deh."

"Kalau misalnya ada yang nembak lu, gimana?"

"Siapa?"

"Gue misalnya,"

"Elu?"

Toni mengangguk. "Soalnya udah sejak lama gue suka sama lu. Dan mungkin ini bukan sekadar perasaan suka lagi. Mungkin udah masuk taraf sayang kali yah. Apalagi, asal lu tahu, gue agak kesal aja sewaktu lihat kedekatan lu sama William."

Hana melongo. Pun dengan William yang mendadak kembali ke gudang itu.

Selanjutnya? Menurut kalian, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah persahabatan lima orang yang tak habis dihajar waktu itu masih akan bertahan? Atau malah akan tinggal nama? Cinta benar-benar sudah mengobrak-abrik rasa persahabatan tersebut.






PS: Akhirnya selesai juga bikin cerpen ini. Jujur saja, tema cerpen ini dulu terinspirasi dari sebuah telenovela yang berjudul "Aventuras en el Tiempo". Dulu aku pernah bikin cerpen bertema seperti ini juga. Sayang hanya kuat menulis sebanyak dua-tiga halaman, lalu ditinggal begitu saja, hingga kembali terpikirkan untuk melanjutkannya dengan memanfaatkan ingatan-ingatan yang tersisa. Sebabnya file bersangkutan sudah lama hilang. Aku juga lupa dulu itu cerita awalnya seperti apa. Bodohnya! xD

Comments

  1. Jadi Toni diterima gak sama Hana? trus William sama Mei lanjutkan :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca komentar-komentar seperti ini, jadi sadar banget bahwa ternyata cerpen-cerpenku memang disimak sampai habis. Thank for the appreciation! Jadi semangat buat terus berkarya! ^_^

      Delete
  2. Mungkin 2215 mustahil ada gara-gara warisan generasi kita hari ini. Tapi moga aja supranatural dan mekanik bisa bersinergi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga nggak kejadian kayak Dunia Anna-nya Jostein Gaarder. Tapi susah sih, bumi pasti akan hancur karena ada virus bernama manusia.

      Delete
  3. Hihihi, jadi ingat "The Last Mimzy" :)

    ReplyDelete
  4. Sesuai ya sama peribahasa 'ngga akan ada persahabatan antara pria dan wanita, kecuali salah satu dari mereka menyukai sesama jenis'.. :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Entah kenapa nggak 100% setuju. Cuz aku punya banyak temen perempuan, dan masih menjalin hubungan baik, bahkan ada yang sudah menikah.

      Delete

Post a Comment

Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~