ANOTHER FICTION : Sekar Cilik yang Terlalu Cepat Mekar



Genre: Drama-Komedi


Artwork by: Felix Salvata


Tangerang, 12 Januari 2005

PRAAANG!!!



Bunyi guci pecah itu semakin menghirukkan suasana dalam mobil antar jemput. Enam gadis kecil jadi semakin riuh saja. Keributan kecil terjadi. Satu-dua anak SMA tampak tengah sibuk membantu adik kelasnya untuk membersihkan serpihan-serpihan yang bertebaran di lantai mobil. Untungnya itu berbahan dasar keramik. Kalaupun terkena kaki, sakitnya tak begitu parah. 

"Aku minta maaf, Gin," ujar seorang gadis kecil yang bertubuh lumayan subur. Namun dikatakan gendut, tidak bisa dibilang juga. Berambut panjang dan bertampang agak blo'on.

Gina, temannya yang berambut panjang dan berkulit agak gelap itu menyeringai dengan tajam. Langsung saja si Blo'on itu disemprot tanpa kenal ampun.

"Lu apaan sih, Viola? Guci kecil ini dibeli mahal-mahal sama Mama gue, tahu. Capek-capek juga gue menghiasnya. Apalagi asal lu tahu yah, ini guci bakal jadi tempat abu kalau meninggal nanti."

Entah serius, entah bercanda, kata-kata Gina itu bikin kakak-kakak kelasnya yang sudah berseragam putih abu-abu jadi mulas perutnya. Mereka berusaha menahan tawa. Kalau tertawa nanti, mereka tak akan menikmati lagi dagelan gratis yang disuguhkan oleh Gina, dkk yang masih SD.

Salah seorang bocah SD lainnya ikutan anak SMA untuk tertawa. Seolah sudah tahu mengapa kakak-kakak kelasnya itu tertawa, gadis bernama Dian itu menimpali, "Lebay lu. Emang lu tahu kapan meninggal? Dan emang juga guci itu bakal tetap ada kalau lu tua nanti?"

"Pastilah, Dian. Guci ini bakal gue simpan selamanya." kata Gina ofensif.

Yang lain menimpali pula, "Pasti lu simpen karena hasil kerja kelompok bareng si Pochi kan?"

"Apaan sih lu, Tina? Suka enggak jelas gitu deh. Kan gue udah pernah bilang berapa kali, gue enggak suka sama si Pochi gukguk itu." Gina makin sewot. Makin sewot lagi saat melihat Viola terkekeh.

"Idih nih anak, malah cengar-cengir. Ganti nih guci gue."

Viola langsung menekuk bibir. "Yaaah... Gue kan enggak sengaja, Gin."

"Masa bodoh sih gue. Pokoknya ganti. Atau guci lu itu buat gue, gimana?" tawar Gina yang tak biasanya melunak. Biasanya gadis kecil yang satu ini tegar tengkuk.

Viola sebetulnya ikhlas untuk memberikan prakaryanya itu ke Gina. Tapi Dian mencegatnya.

"Apaan sih lu, Dian? Pake dihalang-halangi. Viola-nya sendiri yang ikhlas kasih ke gue." protes Gina yang meradang makin parah.

"Lu tuh yang apaan? Kenapa juga Viola harus ganti? Lagian cuma guci doang kok. Lu kan tinggal beli yang baru." Dian menanggapi Gina dengan sengit.

"Enggak bisa seenaknya itu diganti tahu. Guci itu istimewa, bakal gue jadikan tempat abu kalau gue meninggal nanti." kata Gina yang tatapan nyalangnya tak kunjung mereda.

"Bakal buat tempat abu atau karena pemberian Pochi?" ledek Tina nyengir. Dan Gina tak suka dengan cengiran Tina yang berambut panjang keriting.

Sementara itu, Viola kembali cengar-cengir. Di sebelahnya, temannya yang lain, yang asyik baca komik Girls, hanya tersenyum tipis. Sesekali ia mengintip wajah Gina yang masih dongkol. Semenit kemudian, gadis yang berambut panjang juga--serta berkulit paling putih di antara teman-temannya--ikut juga menyumbangkan keramaian.

"Gin, kata Mama gue, pamali mikirin soal abu gitu. Apalagi di usia kayak kita sekarang. Ntar dicabut nyawanya sama Dewa Ema, mau lu Gin?"

"Ini lagi si Vandra, ikut campur aja. Mending diem aja deh, kayak biasanya." tukas Gina yang juga berkacamata.

Kakak-kakak kelas mereka yang sudah SMA itu makin tak kuasa untuk menahan rasa geli. Apalagi yang sekarang sudah kelas 7 SMP. Namanya Helen, yang mengenakan kacamata dengan minus cukup tinggi. Di antara mereka yang ikut mobil antar-jemput Om Surya, sudah tahu bahwa Helen itu jauh lebih pendiam daripada Vandra atau yang lainnya. Helen jauh lebih suka mengamati bagaimana adik kelasnya itu saling berceloteh tak keruan. Walaupun sesekali Helen melontarkan kata-kata untuk menanggapi. Itu pun kata-katanya selalu terdengar istimewa.

*****

Jakarta, 16 Mei 2015

Gara-gara pembawaan Helen yang pendiam, juga kata-kata yang dikeluarkannya selalu istimewa terdengar, aku merasa pepatah itu ada benarnya. Itu lho yang berbunyi: "Diam adalah emas," Dan kata-kata yang keluar dari mulut seorang pendiam itu selalu bernilai seperti emas. Sangat berharga. Sebab dalam maknanya.

Aku terkikik sendiri. Terimakasih untuk anak-anak yang sangat menikmati bermain di taman ini. Mereka sudah mengingatkanku pada enam orang gadis cilik semasa aku SMA dulu. Enam gadis cilik dengan lagak sok dewasa yang sudah bikin suasana pergi dan pulang di dalam mobil Suzuki Carry kepunyaan Om Surya jadi tak membosankan.

Enam gadis cilik itu bagaimana kabarnya sekarang? Si Gina, gadis yang sok dewasa nan suka dengar lagu-lagu Rossa; Si Dian yang centil dan bawel, yang kalau bicara itu suka ceplas-ceplos; Tina yang selalu sengit dalam menanggapi tiap kata dari Gina dan Dian; Si Pendiam Helen; si Dungu Viola yang selalu saja mengiyakan tiap kata-kata Dian. Padahal Dian tak selalu berkata benar. Dan terakhir, yang paling waras di antara semuanya, yang lumayan manis, Vandra.

Kubilang paling waras, sebab Vandra tak berlebihan. Sungguh perwujudan dari anak SD yang semestinya. Tak centil seperti Dian. Tak sok dewasa seperti Gina. Vandra selalu senang membicarakan soal topik-topik yang anak SD seharusnya bahas. Yah itu soal pelajaran, kegiatan di sekolah, hingga tentang kartun-kartun. Meskipun Vandra pun tak canggung dengan obrolan teman-temannya.

Ah mungkin yang lebih berwujud anak SD itu si Dungu Viola. Waktu itu, saat kuamat-amati, tampang Viola sungguh selugu anak SD lainnya. Tak tampak suatu aura kedewasaan seperti yang terlihat pada rupa Gina, Dian, Vandra, atau Tina. Sering kusaksikan Viola hanya bisa termangu-mangu saat mendengar Dian begitu lincahnya menyanyikan sebuah lagu dari Linkin Park. Viola pun anteng mendengarkan cerita ulang Gina dan Tina atas drama Korea kesukaannya, "Princess Hour". Namun mata di si dungu langsung terbelalak dan antusias sekali kala Vandra bercerita soal "Kungfu Panda", "Shrek", atau "Madagaskar". Sepertinya yang kulihat, di saat teman-temannya tengah memasuki proses pendewasaan dini (bagaimanapun Gina, Dian, Vandra, dan Tina sudah kelas 5 SD yang akan menjelang usia akil baligh), aura pelajar sekolah dasar masih menaungi diri seorang Viola. Mungkin Viola mengalami telat perkembangan usia mental. Mungkin usia si dungu itu sama persis dengan usia seorang murid kelas 1 SD; atau mungkin usia TK. 

Kira-kira bagaimana kelanjutan kisah dari enam gadis cilik tersebut? Semenjak lulus dari SMA Teratai Merah, aku tak pernah tahu kabar dari para adik kelasku yang suka bikin aku cengar-cengir. Ralat deh, hanya Vandra yang aku tahu. Sekitar lima tahun lalu, aku menemukan akun media sosialnya. Yang kuingat, Vandra yang tumbuh jelita itu melanjutkan pendidikannya di negeri tirai bambu. Dan dari akunnya itu, Vandra tumbuh menjadi sosok perempuan yang sungguh bijak. Tak usah ayal, dari kecil Vandra memang sudah terlihat begitu dewasa. 

Dewasa yah? 

Mendapati satu kata itu muncul di benak secara sekelabat, aku kembali menekuri anak-anak yang tengah bermain di taman ini. Sebetulnya salah tidak seorang anak usia SD yang berkelakuan dan berpola-pikir seperti orang dewasa? Salahkah seorang murid SD menyukai hal-hal yang lazim disukai kaum dewasa? Apakah dosa jika seorang pelajar SD sudah paham beberapa istilah yang hanya dimengerti orangtua atau mungkin kakak mereka yang sudah mahasiswa? 

Kadang kuberpikir, dengan anak-anak itu sudah mengalami proses pendewasaan dini, itu membuat mereka bisa berpikir secara matang di kehidupan mereka kelak. Sama seperti Vandra yang berubah menjadi gadis muda yang bijak dan tak gegabah. Atau jangan-jangan bisa sebaliknya? Mereka malah dengan mudahnya jatuh ke lubang bernama hedonisme. Karena merasa sudah memiliki pola pikir seorang dewasa, mereka malah mengakrabi kehidupan malam yang penuh dengan bau-bauan alkohol dan drugs

Aku hanya bisa terkikik mendengar filosofi yang datang begitu saja. Aku sendiri juga tidak tahu mana yang jauh lebih baik. Apakah seorang anak SD harus berkelakuan layaknya anak SD? Atau mereka diperbolehkan untuk berkelakuan dan berpemikiran seperti orang dewasa? Atau kita biarkan saja mereka tumbuh dan berkembang semau mereka. Biarkan tangan-tangan tak kelihatan yang memandu hidup mereka seterusnya. 

"Maaf," Seorang gadis hitam manis beringsut padaku. Rambut panjang dengan ujung bergelombang, mata sipit, dan mengenakan kacamata. "Mas ini Ferdi, bukan? Mas Ferdi yang dulu sekolahnya di SMA Teratai Jaya?"

Aku mengangguk. Sepertinya dari ciri-ciri tersebut, aku mengenali siapa gadis ini. Spontan aku berkernyit. Gadis itu tampak berbinar-binar. Mulutnya membentuk sebuah senyuman lebar. 

"Ini aku Mas, Gina. Gina Tabitha yang dulu sekolah di SD Teratai Jaya. Mas, masih ingat enggak?"

"Kamu Gina?"

Ia mengangguk.

"Wah sekarang sudah jadi cantik kamu yah? Kuliah di mana sekarang kamu? Kuliah kan, bukannya kerja?"

"Kuliah sambil kerja, Mas. Jurusan Accounting." jawabnya. Dan kuamati, Gina semakin riang saja. Siapa sangka aku malah berjumpa dengan salah satu dari sekar cilik yang dulu begitu cepat mekar tersebut. 

Kepalaku berjengit. 

Angin semilir mulai bertambah kencang. Langit pun mulai berubah warna. Suara burung-burung semakin kencang saja. Mengiringi proses berganti menjadi malam itu, terlihat Gina begitu gelisah. Sepertinya ada yang ingin diutarakannya. Atau mungkin itu perasaan semuku saja. 

"Mmmm," Gina mengawalinya dengan sebuah dehaman sebelum berujar dengan sangkilnya, "Bagaikan takdir yah, Mas? Aku tidak menyangka bakal bertemu dengan Mas Ferdi di sini. Apa mungkin ini sudah menjadi takdir kita?"

"Takdir?" Aku mengernyit bingung. 

"Iya, takdir, Mas." kata Gina tersenyum. "Aku tak menyangka akan bertemu dengan lelaki yang dulu menjadi cinta pertamaku itu di sini. Aku kira, sejak Mas lulus, tidak akan pernah bisa bertemu Mas Ferdi lagi. Tapi ternyata tidak." 

Cinta pertama? 

"Tuhan baik yah? Setelah sekian lama menanggung rindu yang tak tertahankan, sekian tahun membawa rasa yang tertunda ini, Tuhan memberikan kesempatan padaku untuk bertemu dengan Mas yang sejak dulu aku sudah cinta. Mungkin ini kesempatanku."

"Ka-ka-kamu..." Agak tercekat, sebelum keluar begitu saja dari mulut. "...sudah lama suka sama aku?"

Kepala Gina tertunduk penuh malu-malu. Kulihat ia tersenyum seraya tersenyum. Kemudian aku kembali terbawa ke masa sepuluh tahun lalu. Atau tepatnya mundur setahun lagi. 

*****

Tangerang, Juli 2004

Suzuki Carry berwarna merah tua itu keluar dari perumahan elit tersebut. Selesai sudah menjemput sekumpulan anak dari SD hingga SMA, lalu akan diantar ke sekolah Teratai Jaya. Duduk di depan, persis samping sopir, seorang pelajar SMA. Sementara di bangku penumpang, ada tiga murid SMA, dua murid SMP, dan tujuh pelajar SD. 

Salah seorang murid SMA, seorang lelaki, menggeser pandangannya ke arah anak-anak SD tersebut. Ia berusaha menahan tawa mendengar obrolan dari mereka yang katanya masih kelas 4 SD. Anak-anak ini, begitu pikir si remaja lelaki itu. 

Seorang bocah lelaki berusaha tetap kalem saat salah seorang temannya sepertinya tengah menggodainya. Yah seorang bocah perempuan berambut panjang keriting dengan suara cadel itu berseloroh, "Cie, Gina, yang berbagi bekal sama Pochi. Mesem-mesem tuh mukanya. Lu suka, yah, sama Pochi?"

"Apaan sih lu, Tin? Gue sama dia juga cuma temenan, kok. Ya kan, Pochi?"

Pochi mengangguk kaku. Senyuman keci diumbarnya. 

"Alah, bilang aja lu suka kan sama Pochi?" sela Dian dengan suara cemprengnya. 

"Cie, Gina,..." timpal Viola ikut-ikutan. 

"Iiih, apaan sih?" kata Gina yang terlihat sewot. Lalu perlahan pandangannya teralih ke seseorang yang sudah lama mengawasinya. Gina tersenyum untuk menahan sesuatu yang ia mungkin mengapa jadi seperti ini. Dadanya berdebur keras saat memandangi orang itu. 




* Cerpen ini terinspirasi dari enam orang bocah SD yang aku temui saat masih berseragam SMA dulu. 

Comments

  1. Sedap, menurut gw ini lebih ke drama. Porsi genre komedinya lebih sedikit jadi lebih baik tarok di belakang jadi romantis-komedi atau drama-komedi. Cuman pendapat gw aja sih.. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha... Oh gitu, thanks ya. Iya sih, gue sempet mikir gitu juga. Thanks ya udah nyimak, i really owe you all. ^_^

      Delete
    2. peletakan komedi emang susah - susah gampang biar bener - bener nendang bahkan untuk yang genre ceritanya emang komedi sekalipun. Jadi ibarat stand up comedy, punch linenya musti cantik. Kadang ditaruh di belakang cocok, kadang juga enggak. Tergantung pinter2 penulisnya juga sih.. Gue sendiri gak tau apa emang ada rumus baku untuk peletakan unsur komedi.. hehe

      Delete
    3. Sebetulnya sih, kalau menurut gue, ukuran lucu-nggak lucunya itu, relatif. Tapi kalau yang gue lihat ini, well kayaknya emang kurang lucu. Gue emang rada susah sih nulis komedi. Hahaha. -_-

      Delete
  2. Kalau menurut gue malah unsur komedinya nggak terasa lho bang
    Ada part lucunya sih, tapi masih dalam skala normal. Belum pas rasanya kalau disebutkan dalam genre nya

    Btw kalau boleh kritik sedikit, sebenernya semua tokoh figurannya nggak harus dibahas kok. Disebutin aja dalam beberapa part udah cukup. soalnya ini kan cuma cerpen. Satu masalah dan satu tokoh penting udah cukup. Keseringan bikin novel sihhh... semua tokoh termasuk figuran jadi detail gitu kharakternya wkwk

    trus satu lagi, hubungan antar tiga sub-bab ini belum nonjok banget. nonjok sih, tapi belum bikin abak belur.
    agak bikin bingung. gue baru ngerti banget setelah baca dua kali dan sadar ternyata ini alur maju mundur haha

    maybe it is just me

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank a lot for the critic. Jujur, komentar-komentar model gini tuh gue seneng banget. Itu artinya cerpen-cerpen gue itu beneran disimak. ^_^

      Oke, sarannya ditampung dulu buat penulisan cerpen selanjutnya yah.

      Delete
  3. Terinspirasi atau kisah nyata nih hehehe. btw jadi naksir sama siapa dianatra keenak cewek itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa dua-duanya, Bu. Hahaha. Yah kalau boleh jujur sih, dulu sempat suka gitu sama seorang anak cewek yang jadi model tokoh Gina ini. ._.

      Delete
  4. keren nih cerpennya :)
    maju terus buat bikin cerpen yang lebih bagus :))

    ReplyDelete
  5. keren, kerenn

    kok bisa ya nulis cerpen sampe habis gitu. Aku kalo nulis cerpen, sering kehilangan ide tiba-tiba gitu. Jadinya masih setengah jalan, gak bisa diterusin lagi. Hikss :(
    Gak berbakat banget aku yak,
    pengen kayak kamuuu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin kamu nggak tau ending cerita lu itu kayak gimana. Makanya stuck gitu. Aku juga ngalamin sih. Hehehe.

      Delete
  6. Gue nulis cerpen malah sering hilang dibagian tengah dan berakhir cuma jadi draft....

    Btw, komedinya kurang bang...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin lu nggak tau ending cerita lu itu kayak gimana. Makanya stuck gitu. Gue juga ngalamin sih. Hehehe.

      Delete
  7. Pasti keren nih tulisannya bang Immanuel

    ReplyDelete
  8. pas sd aku masih main bikin serabi pake tanah hehe tv cuma dibolehin pas hari minggu

    ReplyDelete
  9. Aku malah kepo sama kabar temen-temennya Gina, terutama Viola.. Hahah :D

    Eh tapi hebat banget si Gina bisa tetep menyimpan rasa selama bertahun-tahun gitu.. Kalok aku sih uda bakalan lupa trus move on :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebetulnya waktu bikin tokoh Gina itu, ada sedikit unsur pengalaman pribadi. Ada lho orang kayak Gina itu, BENERAN ADA. Ini yang lagi balesin komen kamu, -_-

      Delete

Post a Comment

Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~