ANOTHER FICTION: Masa Depan yang Ingin Kulihat.... Dirimu


"Iya, iya. Naskahnya masih dalam pengerjaan, Mas Teguh; paling selesai lusa-lah yah... Sip, nanti aku kirim ke e-mail Mas yah..."

Kutaruh lagi ponsel pintar itu di dekatku - persis di samping kiri. Kuseret lagi pandangan mata ke layar laptop. Ah, ini kan malam minggu, dan aku harus kerja menyelesaikan naskah untuk penerbit Barakokok (Nama fiktif). Pekerjaan ini memang sudah kuimpi-impikan sedari kecil, tapi letih juga badan jika tiap detik duduk dan menatap pancaran sinar radiasi laptop. Enak sih mengerjakan project yang sudah ditetapkan sebuah penerbit pada kita.

Penerbit Barakokok memintaku untuk terlibat dalam sebuah project "Pencarian Soulmate", dimana beberapa penulis yang naskahnya pernah diterbitkan mereka diminta untuk menuliskan novel romantis yang berkisah tentang... yah sesuai topik itu.

 Soulmate yah? Hah...

Bayangkan wajah Rena itu seperti ini yah. Rena-nya manis dan eksotis.
Kuambil ponsel itu lagi. Kubuka segera folder 'My Photos'. Ada satu foto yang ingin kulihat: Rena Shiratori. Gadis Jepang berambut panjang yang suka sekali memelihara poni, dan jangan lupakan jidat lebar serta lesung pipitnya tersebut. Oh senyum manisnya yang sungguh polos jangan dilupakan. Kekasihku yang tinggal di Kyoto - yang kali pertama kutemui saat acara meet and greet. Satu dari beberapa naskahku jadi best seller. Laris manis bak gorengan. Siapa sangka naskah itu sudah diterbitkan di beberapa negara, salah satunya Jepang. Dan Rena Shiratori adalah editorku untuk novel tersebut dalam edisi berbahasa Jepang.

Rena Shiratori... editorku, kekasihku dalam hubungan long-distance, soulmate-ku dan calon istriku. Aaaah...

Aku ingat, si Jangkung itu rewel sekali saat aku berada di Jepang. Aku nyaris tak bisa menikmati keindahan Kyoto, negeri seribu kuil. Tak bisa menyaksikan meranggasnya pohon kesemek. Buah kesemeknya pun tak sempat merasakan. Tak hanya Kyoto, selama di Jepang, aku juga mengunjungi beberapa kota - dan itu untuk kepentingan meet and greet. Kyoto, Sapporo, Nagoya, Osaka, Fukuoka, Nagasaki, dan Tokyo. Tujuh kota harus kudatangi, tapi tak ada waktu untuk merasakan aura keindahannya.

"Hey,"

Kuingat, itu satu kata pendahulu saat aku berada dalam sebuah mobil - bersama Rena.

"I'm tired. Capek." Rena bisa bahasa Inggris dan Indonesia. Dulu gadis yang jarak usianya denganku itu sepuluh tahun itu pernah tinggal di Indonesia selama enam tahun dan bersekolah di sekolah internasional. "Could we take a break? You know, i have even not enjoyed the beauty of Japan. I have the list of places that i want to visit."

Brengseknya, ia malah hanya tersenyum dan berkata, "Ganbatte!!!"

Kepalan tangannya itu menjengkelkan sekali. "Hey, i don't need 'ganbatte', i need a time to take  some of day-offs. Please, gimme time to spend at the interesting place. Boleh yah?"

Dia mengeluarkan sesuatu dari ranselnya, yang berada tak jauh di dekat joknya. Sehelai kertas yang tertulis dalam aksara Jepang yang sama sekali tak kupahami.

"Lihat, kamu itu punya banyak sekali kegiatan yang harus dilakukan tahu. Ada enam lagi meet and greet yang harus ditemui. Mengalahlah sedikit demi para fanmu yang ingin sekali melihat penulis favoritnya." ujarnya dengan mimik serius. Tanpa senyum.

Aku memutar bola mata. Kubuang pandangan ke jendela di sampingku. Bisa kulihat sekelompok remaja berseragam sekolah hitam-hitam tengah jalan di trotoarnya. Untung kaca mobilnya kaca film, jadi mereka tak melihat, sehingga jadi menyeringaiku. Saat itu, pundakku ditepuknya. Ia tersenyum.

"Semangat yah, Reno," kata Rena dengan tatapan yang sungguh membuat hatiku meleleh. Baru kali ini kurasakan perasaan yang sungguh aneh pada editorku ini. Tak terdeskripsikan dengan kata-kata, yang jelas.... baru kusadari satu hal: tiap aku melihat parasnya, rasa penatku hilang. Mood-ku yang tadinya negatif jadi positif lagi. Apa aku jatuh cinta dengannya? Tapi bagaimana bisa, aku berjumpa dirinya baru selama sebulan. Memang sih, dia tipeku sekali: berkacamata, berambut panjang, dan kutu buku - khususnya komik.
Selera kami dalam menonton juga sama; sama-sama penyuka film apa saja, terutama jika alurnya bagus.

"Kenapa sih kamu lihat aku seperti itu? Risih tahu." tukasnya. Hilang sudah senyumannya yang mengalahkan keindahan bunga sakura.

"Suka-suka aku dong, aku juga lebih tua sepuluh tahun dari kamu," kataku enteng. Aku nyengir puas.

"Begitu yah, oke," Mobil Mazda itu dipinggirkannya. "Turun kamu,"

Aku mengernyitkan dahi.

"Katanya lebih tua sepuluh tahun, ya sudah buat apa juga ikut sama yang lebih muda?" Ia nyengir nakal.

"Yah tapi kamu tahu sendiri, aku nggak bisa bahasa Jepang, baik bicara atau baca. Bicara sih sedikit-sedikit bisa."

Ia terkekeh. "Makanya jangan belagu kamu. Selama di Jepang ini, hanya aku yang bisa kamu andalkan tahu."

Mazda itu berjalan lagi. Aku kesal sekali mendengarnya. Harus kuakui itu. Di kantor penerbit Teru Bozoku (Nama fiktif) itu hanya tiga orang yang bisa berbahasa Indonesia - salah satunya dia. Dia jugalah yang hampir memiliki pola pikir sama denganku. Nyaris. Dua orang lainnya berusia tiga kali lipat lebih tua dariku.

Rena menatapku lagi. "Tenang saja, kalau sudah kelar, kamu akan kubawa ke Tropical Land."

"Tropical Land?" Dahiku berkerut. "Yang ada di Conan itu? Itu bukannya hanya fiksi saja?"

"Sok tahu!" semburnya. "Taman bermain itu beneran ada tahu. Baka."

Aku nyengir.

"Nggak usah nyengir nggak jelas deh, ngeri tahu."

Kelakuannya sungguh seperti remaja. Padahal usianya sudah 25 tahun. Ditambah lagi, kebiasaannya yang terkadang suka menyisipkan kata 'tahu' di ucapannya. Itu sungguh membuatnya jadi seperti gadis remaja.

"Aku janji deh, bakal bawa kamu ke sana. Taman hiburan itu favoritku banget, tahu. Jauh lebih asyik itu daripada Disneyland Tokyo."

Aku tersenyum seraya berjengit.





Yah memang benar, setelah semua acara temu penulis ini kelar, ia menepati janjinya. Ia mengajakku ke Tropical Land - yang memang terletak di kota Tokyo. Taman bermain itu jauh lebih spektakuler daripada di komik Conan. Oh iya, saat di sana, ada sesuatu yang mengusikku. Itu Rena. Aku kikuk dibuatnya, yang mendadak jadi seperti anak kecil. Selama di sana, ia terus saja memepetku dan merangkul tanganku. Telapak tanganku digenggam erat.Gara-gara itu, aku jadi pucat pasi parah separah-parahnya.

"Hey, bisa menjauh sedikit nggak?" pintaku tersenyum kaku. "Nggak enak dilihat orang."

"Rena," Bukannya menjauh sedikit, ia malah memanggil namaku. "Ada yang mau kubicarakan sama kamu."

"Apa?"

Langkah kami terhenti, persis di tengah keramaian. Kami saling bersitatap. Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Brengseknya, jantung itu tiba-tiba saja bergetar kencang. Detak jantung itu yang setidaknya terus kudengar di tengah keheningan antara aku dan Rena. Apalagi debarannya semakin menggila saja, sewaktu ia tersenyum.

"No, kamu tahu nggak?" katanya memecah keheningan. "Sebelum ketemu kamu, aku sudah jatuh cinta dengan kamu. Aku terkesan banget, tahu, dengan permainan kata-katamu. Tiap aku menerjemahkan tiap kata demi kata, terutama di beberapa bagian, entah kenapa aku terbayang wajah kamu yang sering kulihat di akhir buku. Hingga aku berdoa pada Tuhan sesuatu yang tak masuk akal: berharap bisa ketemu langsung sama kamu, kencan berdua, dan..." Ia berhenti. Pipinya bersemu merah.

"Dan apa?"

"Jangan paksa aku bilang, tahu." semprotnya. "Kamu itu kan penulis novel romance, harusnya kamu tahu apa yang kurasakan."

Aku nyaris mau tergelak. "Aku penulis, tahu - " Kutiru gaya bahasanya. " - bukan cenayang. Mana bisa kuterka isi otak seseorang."

"Iya, kamu benar." Ia membenarkan. Kepalanya tertunduk. Pipinya merah. "Oh iya, aku mau tahu, selama ini, kamu anggap aku apa?"

"Hmm...." Kenapa yah dia bertanya seperti itu? "...yah kamu itu editorku, penerjemah novelku dalam edisi Jepang, dan kamu editor yang terbaik dari semua editor yang pernah bekerja sama denganku. Nggak banyak orang yang bisa tahan dengan sifatku yang kata orang keras kepala dan pemarah. Buktinya kamu selalu tersenyum padaku, waktu aku marah-marah gara-gara dibangunin buat ke meet and greet."

Ia tersenyum. Senyum malu-malu. "Kamu percaya takdir nggak?"

Aku mengendikan bahu. "Percaya nggak percaya sih."

"Kamu sadar nggak, kalau kisah di novelmu itu mirip sama..." Ia menggigit bibir bawahnya. "...sama pertemuan kita ini."

"Mirip dimananya? Aku hapal mati, kok, apa yang kutulis. Di  novel itu kan ceritanya tentang seorang pemuda kantoran yang harus ke Tokyo untuk mewakili perusahaannya. Lalu si pemuda itu bertemu dengan seorang wanita yang akan jadi penerjemahnya, dan..."

Aku berhenti, tercenung. Ia menatapku seperti menantikan sesuatu yang saat itu tak kupahami.

"Aishiteru, No." ucapnya blak-blakan, tersenyum, lalu mendadak cemberut. "Aku benci mengatakannya lebih dahulu. Inginnya sih, laki-lakinya duluan yang bilang lebih dahulu, tapi kayaknya laki-lakinya..." Jeda. "...yah gitu deh..."

Aku terkekeh. Kali ini tertawa kaku. Aku tahu apa itu aishiteru. Kata itu kali pertama kudengar dari band Indonesia, dan termasuk kata yang jarang diucapkan oleh orang-orang sini. Selain itu, aku juga bingung harus apa. Aku memang penulis romance, tapi kisah cintaku nol besar. Kebanyakan cintaku bertepuk sebelah tangan dan berkali-kali harus patah hati. Juga ini kali pertamaku ditembak lawan jenis.... di Jepang, yang katanya anti-romantis.

Kupandangi foto Rena lekat-lekat. Tak terasa hubungan kami mau menginjak dua tahun. Ia bahkan pernah meneleponku dan menanyakan kapan aku bisa membawanya ke altar gereja. Aku tak tahu, dia saja belum pernah bersua dengan kedua orangtuaku, padahal sebaliknya aku sudah. Aku ingat pula, kala ia menembakku, balasanku adalah:

"Kamu tahu, aku dari dulu ingin sekali bisa melihat masa depan, dan kalau diijinkan Tuhan bisa melihat masa depan, aku ingin bisa melihat siapa jodoh aku..."

"Terus?" selanya yang sepertinya sudah tak sabar.

"... masa depan yang ingin kulihat itu kamu... dirimu...."





* Cerpen ini terinspirasi dari cerita yang dibuat oleh seorang blogger bernama Keven.

Comments

  1. permasalahannya apa yo? hiihi
    klo japanese aq agak susah nulisnya :D

    ReplyDelete
  2. Uwaaaahh... Cerpennya GUE BANGET. Menyihir pembaca baca sampe abis.. Kereenn...

    Cita2 nya, keinginannya hampir sama kek gue.. Hehehe

    ReplyDelete
  3. wow..impiannya melanglang jauh hingga kenegri jepang, ..nice story teman...luarbiasa,
    btw-aku juga lagi buat GA, dicari 32 orang blogger yg suka nulis dan corat coret untuk jadi pemenang buat dapatkan gift unik dari Makassar, Tana Toraja dan Martapura Kalimantan Selatan.....salam :-)

    ReplyDelete
  4. Ceritanya menarik, cuma agak terkesan diburu2 karena lu mau mengcover segitu banyak rentang waktu di dalam sebuah cerpen singkat. Jiayou, terus menulis ya, supaya suatu hari bisa ketemu sama Rena...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sih, baru sadar juga, terkesan terburu2. Tapi untungnya dari awal udah pakai konsep flashback, jadi sedikit terampuni... Wakakakaka... :D

      Delete
  5. semenjak kerja, ga sempet baca tulisan panjang2 kayak gini.. hahahaha

    ReplyDelete
  6. inspirasinya dari keven toh ternyata :)

    ReplyDelete
  7. Aaaah... romantisnya. Seandainya.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, gue sendiri merasa ini kok nggak romantis yah? Hahahaha

      Delete
  8. haha cuma cerpen ataukah sambil curhat?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, tapi baca lagi yah tulisan paling akhir.. Hahaha...

      Delete

Post a Comment

Pembaca yang baik adalah yang sudi mau meninggalkan komentar. ^_^
Nice reader is the one who will leave lot of words in the comment box. ^_^

PLACE YOUR AD HERE

PLACE YOUR AD HERE
~ pasang iklan hanya Rp 100.000 per banner per 30 hari ~